Jangan berbicara tentang perhatian kepadaku, karena aku sudah lama kehilangan arti sebuah perhatian tulus setelah kepergian mamaku
- Leoni Arella
🍂🍂🍂Mobil milik Zevan melaju membelah jalanan di tengah padatnya kendaraan yang berlalu lalang. Hari ini dia dan Vandra akan menuju ke butik untuk mengambil pesanan baju pernikahan mereka.
"Apakah kamu tidak masalah jika pernikahan kita diadakan secara sederhana?" tanya Zevan.
"Bukankah ini hanya pernikahan kedua? Aku tidak mempermasalahkan itu, Mas." balas Vandra menatap Zevan.
"Baiklah kalau begitu."
Zevan kembali fokus menyetir mobilnya, Vandra memandangi jalanan dari kaca mobil.
"Mas, ada yang ingin aku tanyakan."
"Katakan saja apa yang ingin kamu tanyakan, balas Zevan sambil menyetir mobilnya.
"Kenapa kamu mau menerima permintaan Viona untuk menikahiku? Bukankah kamu sangat mencintai Viona?"
Zevan terdiam mendengar pertanyaan Vandra. Ia juga tidak tau alasannya, pria itu hanya ingin mengabulkan permintaan terakhir istrinya. Ia tidak ingin Viona kecewa dengannya. Mungkin sekarang dirinya terlihat seperti menjadi laki-laki brengsek. Karena dalam hatinya masih sangat mencintai Viona tetapi ia mengambil keputusan untuk menikahi Vandra.
"Maaf, Van." akhirnya kata itu terlontar dari mulut Zevan.
"Aku mengerti, Mas. kamu jangan merasa bersalah. Aku tau selama ini kamu berusaha untuk menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuk Ara. Aku tidak masalah jika kamu belum mencintaiku sepenuhnya."
Zevan menatap ke arah Vandra. Dirinya semakin merasa bersalah, mengapa wanita di sampingnya ini sangat baik dan pengertian? Apakah ini alasan mengapa Viona meminta dirinya untuk menikah dengan Vandra.
"Terima kasih atas pengertianmu." ucap Zevan. Ia mengambil tangan kanan milik Vandra lalu menggenggamnya.
Vandra yang diperlakukan seperti itu tersentak kaget. Dia menatap bola mata milik Zevan lalu tersenyum
"Sama-sama, Mas."
.
.
."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Ara menatap Qila.
Ara dan Qila sedang berada di taman belakang sekolah. Qila menarik tangan Ara saat gadis itu baru saja masuk ke dalam kelas. Bahkan, Ara belum sempat menaruh tas di bangkunya. Sungguh sangat menyebalkan.
"Gue bakal to the point, lo jangan berharap bisa ngambil perhatian bunda."
Ara mengerutkan keningnya, lalu dia menghela napas. Mengapa Qila berpikiran seperti itu?
"Mengambil perhatian bundamu? Tanpa aku melakukannya, bundamu sendiri yang memberikan perhatiannya untukku," ucap Ara tersenyum remeh.
"LO!" Qila menunjuk Ara dengan menggunakan jari telunjuk tepat di depan wajah gadis itu.
"Kenapa? Benar begitu bukan? Aku tau kamu juga sadar akan hal itu."
Qila memalingkan wajahnya ke samping. Ara menyeringai melihat Qila terdiam karena ucapannya. Hey, dirinya tidak haus akan perhatian orang. Karena dirinya sudah kehilangan akan arti sebuah perhatian tulus setelah kepergian mamanya. Jika pun dirinya masih mendapat perhatian, itu 'Perhatian di dalam kata tapi'.
"Buang pikiranmu yang tidak berguna itu. Kamu hanya terjebak dalam ketakutanmu sendiri." ucap Ara datar.
Setelah dirasa sudah tidak memiliki urusan lagi, Ara pergi meninggalkan Qila untuk menuju ke kelas karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
"Kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya bukan?" ucap Qila setelah Ara pergi, lalu melangkahkan kaki meninggalkan taman.
.
.
.Ara melangkahkan kakinya ke dalam kelas, lalu disusul Qila di belakangnya. Azza yang melihat itu mengerutkan keningnya.
"Dari mana aja, lo?" tanya Azza.
"Cie... Kamu kangen ya sama aku?".balas Ara sambil mendudukkan dirinya di bangku.
"Dih, najis gue kangen sama lo!" ucap Azza bergidik ngeri karena ucapan Ara. "Btw, kenapa lo bisa masuk kelas bareng si Qila?"
"Kenapa ya? Rahasia!" ucap Ara terkikik geli.
Azza mendengus sebal. Dirinya penasaran ada urusan apa sahabatnya itu dengan Qila. Ia merasa Ara menyembunyikan sesuatu dari dirinya.
"Lo percaya sama gue kan, Ra?"
Ara menatap Azza, dia tau seharusnya tidak menyembunyikan hal ini dari sahabatnya. Tapi, dia juga sadar tidak semua harus diceritakan. Azza pasti merasakan bahwa dirinya sedang menyembunyikan sesuatu. Karena Azza sudah berteman dengannya sejak kecil.
"Maaf Za, kali ini aku belum siap ceritain. Aku harap kamu ngerti." ucap Ara menundukkan kepalanya.
Azza menepuk bahu Ara, lalu dia tertawa melihat ekspresi sahabatnya itu. Ia puas berhasil menjahili Ara.
"Hahaha... Muka lo jelek banget, gue cuma bercanda Ra. Gue tau, kalau lo udah siap cerita, pasti lo bakal cerita."
Ara mencubit tangan Azza, dia sudah takut bahwa Azza akan marah. Ternyata, dia hanya menjadi korban kejahilan anak itu.
"Aww! Kok dicubit sih, Ra?" Azza meringis kesakitan, karena Ara mencubit tangannya dengan kuat.
"Kamu ngeselin! Aku kira kamu bakal marah beneran."
"Ya nggaklah, lo kan juga punya privasi.
"Azza emang pengertian deh." ucap Ara memeluk Azza. Azza membalas pelukan Ara, "ouh... pasti, gue ini emang pengertian." ucap Azza dengan nada sombongnya.
Terima kasih yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini👐🏻☺. Jangan lupa Vote and comment yak👌🏻. Kritik dan saran kalian akan sangat membantu
.
.
.Semangat dan jangan lupa untuk Bahagia !!!💕👋🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Peran (REVISI)
Teen FictionLuka enam tahun masih menganga. Kini harus berusaha untuk menyembuhkan luka yang sama. Menjalankan perannya sendiri dan berusaha untuk dapat menggantikan peran yang hilang. Leoni Arella, seorang remaja yang mendekap lara. Mencoba sembuh agar lebih b...