Bagian 48

45 5 0
                                    

Happy Reading.
.
.
.

Azza menatap bangku sebelah kirinya, ia menghela nafas pelan. Sudah dua minggu lebih, orang yang menduduki bangku tersebut masih setia menutup kedua matanya, seperti enggan untuk kembali membuka matanya. Ia sangat merindukan sahabat kecilnya itu.

"Ekhem! Boleh nggak gue duduk di sini?"

Lamunan Azza buyar saat mendengar suara seseorang yang tidak asing di telinganya. Ia melirik sekilas lalu mendengus.

"Yaelah... Masih aja cuek gitu. Gue kan udah insyaf kali, Za" ucap qila sambil memutar bola matanya malas

Semenjak Qila mengakui kesalahan yang ia perbuat ke Ara, Vandra terus mencoba menyakinkan putri kandungnya itu untuk tidak lagi takut kehilangan perhatian dari Vandra. Qila juga sudah meminta maaf ke sahabat Ara atas kesalahannya waktu kejadian di lapangan saat olahraga praktek passing atas. Dimana ia melemparkan bola voli hingga mengenai wajah milik Ara.

Walaupun pada awalnya, susah untuk mendapatkan maaf dari mereka. Namun akhirnya, karena ucapan Qila yang terlihat tulus, mereka mau memaafkannya.

"Ck! duduk tinggal duduk, ganggu lo!"

Qila mendudukkan diri di bangku sebelah kiri Azza, dimana bangku itu adalah milik Ara. Qila melirik ke arah Azza, terlihat wajah gadis itu murung.

"Muka lo kenapa ditekuk gitu? Dikira bagus kali"

Azza hanya menatap jengah remaja di sampingnya itu.

"Kangen Ara?"

"Hm, gue kangen banget. Kapan dia bakal bangun la? Gue takut, tante Viona nahan Ara buat nggak kembali sama kita" lirih azza

"Dia bakal bangun lagi, kalau nggak gue bakal paksa dia buat bangun!" balas qila sambil menarik pelan azza masuk ke dalam pelukannya

Azza membalas erat pelukan Qila, tangan Qila mengelus lembut punggung Azza. Qila tersenyum tipis, beruntung sekali Ara mempunyai sahabat kecil setulus Azza. Tanpa sadar, Qila menitikkan air matanya. Saat ia masih bersekolah di Bandung, ia tidak pernah mendapatkan teman yang tulus. Oleh karena itu, ia sempat iri ke Ara. Tapi itu dulu, sekarang ia sudah mendapatkan teman yang tulus yaitu ketiga sahabat Ara.
.
.
.

"Lo mau ngomong apa?" tanya galen ke raina

Saat Galen dan ketiga sahabatnya berjalan menuju ke kelas, mereka berpapasan dengan Raina. Tangan kanan milik Raina menarik Galen dan saat ini mereka sedang duduk di bangku taman belakang sekolah.

"Eum.... Kak Al" panggil rain ragu

Galen menatap ke arah Raina, sedikit canggung karena Rain memanggil nama kecilnya dulu.

"Hm, kenapa Ra?"

"Rara mau minta maaf Kak" Rain menundukkan kepalanya

Galen menaikkan alisnya, kenapa Rain meminta maaf kepadanya.

"Untuk?"

"Rara udah bawa-bawa Ara masuk ke dalam urusan Rara, padahal Ara nggak tau apa-apa tentang masa lalu kita" rain mendongakkan kepalanya menatap galen

"Kenapa waktu itu, lo nggak ngomong langsung ke gue kalau lo itu Rara?" balas galen

"Aku kira, Kak Al bakal inget, ternyata nggak. Aku juga lihat Kak Al deket sama Ara"

Galen menghela nafasnya mendengar ucapan Rain.

"Sorry, gue nggak ngenalin lo. Wajah lo banyak berubah, Ra"

"Sekali lagi maafin aku juga ya, Kak?"

"Gue udah maafin lo. Jangan ngelakuin hal bodoh kaya gitu lagi Ra. Dan maaf, gue nggak bisa balas perasaan lo. Dari dulu, gue udah anggap lo kaya adek gue sendiri"

Saat di rumah sakit, Rain sempat jujur tentang perasaannya ke Galen. Awalnya, Galen sempat terkejut dengan pengakuan Rain. Tapi, setelah mendengar penjelasan dari gadis itu, ia bisa memakluminya. Ini juga salahnya, dulu ia memang sangat perhatian ke Rain dan ternyata perhatian itu dianggap lebih oleh Raina.

"Makasih Kak, iya gapapa kok aku ngerti. Hati kakak udah ke kunci buat satu perempuan yang saat ini masih belum membuka matanya"

"Jangan nangis, lo juga punya tempat tersendiri di hati gue Rara" galen membawa rain ke dalam pelukannya

Raina membalas pelukan Galen dengan erat. Pada akhirnya, titik tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan.

Galen melepaskan pelukannya, kedua tangannya menangkup wajah milik Raina.

"Jangan berharap apapun lagi ke gue ya? Karena di sana, sudah ada laki-laki lain yang sedang menunggu lo"

"Siapa Kak?"

"Nanti lo akan tau"
.
.
.

Nathan memandang kosong pemandangan kota dari atas rooftoof sekolah. Semenjak Ara koma, sikap pemuda itu bertambah dingin. Ia kembali merasakan kekosongan.

"Aila, gue mohon jangan bawa Nala buat jadi temen lo ya? Bilangin ke dia biar cepet balik"

Ketakutan selalu hinggap di dalam benaknya, ia takut akan kembali merasakan kehilangan perempuan yang ia sayang. Saat pertama kali pertemuannya dengan Ara di rooftoof, pemuda itu langsung merasa nyaman. Sama seperti yang ia rasakan bersama Aila.

"Gue pengin bawa Nala ke makam lo, tapi kayaknya dia udah ketemu sama lo ya?" nathan terkekeh dengan ucapannya sendiri

Pemuda itu menyeka air mata di sudut matanya. Ia sangat merindukan suara Nala, ia rindu menatap bola mata coklat terang yang menenangkan jika dipandang.

"Ya Allah, aku mohon jangan ambil Nala seperti dulu Engkau mengambil Aila dari genggamanku" doa nathan
.
.
.

"Ini sudah saatnya kamu kembali, sayang" Viona mengelus lembut surai milik putrinya

"Tapi...."

Viona tersenyum ke arah Ara, ia menarik anak perempuannya kedalam pelukannya.

"Kembalilah, kamu sudah terlalu lama di sini"

Ara melepaskan pelukan Viona, dia menatap mama dan adeknya secara bergantian. Fulan dan Viona menganggukan kepalanya.

"Masuklah ke dalam cahaya itu, dan kamu akan keluar dari tempat ini" tunjuk viona ke arah cahaya yang berbentuk lingkaran

Walaupun sebenarnya Ara tidak ingin meninggalkan mama dan adeknya, tapi benar kata mamanya, ini bukan tempat untuknya. Dengan ragu, ara mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam cahaya itu, Ara melambaikan tangannya ke arah Viona dan Fulan. Perlahan, tubuh Ara menghilang bersamaan dengan cahaya itu.

.
.
.

Zevan merasakan tangan Ara bergerak dalam genggamannya. Ia sedikit tersentak, rasa haru dan bahagia menjadi satu.

"Vandra, lihat ini. Tangan Ara bergerak!"

Vandra langsung mendekat ke brankar milik Ara, ia mengucap syukur sebanyak-banyaknya, akhirnya Allah mengabulkan doanya.

"Iya Mas, Alhamdulillah" balas vandra sambil menghapus air matanya

Mata cantik itu perlahan terbuka, objek yang pertama kali dia lihat adalah wajah milik sang ayah dan bundanya. Dia tersenyum tipis, hanya dia yang tau karena senyuman itu tertutup oleh masker oksigen yang menutup mulut dan hidungnya. Mamanya benar, mereka sudah menunggu dia untuk kembali.

"a-ayah, b-bunda" lirihnya

.
.
.

Tbc

Sampai jumpa next chapter~

Semangat dan jangan lupa bahagia !!!👋🏻💕

Dua Peran (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang