Bagian 30

45 6 0
                                    

Mengapa di dalam Surat Al - Ikhlas tidak ada kata "Ikhlas" didalamnya? Karena mengikhlaskan tidak semudah saat diucapkan
- Ara

Langit sore nampak cerah, hembusan angin menyapu lembut dedaunan. Seorang remaja berjongkok di sisi nisan orang yang telah mempertaruhkan nyawa untuk dapat melahirkankannya ke panggung sandiwara ini.

"Assalamualaikum, Mama"

"Maaf ya Ma, ara baru bisa ziarah ke makam mama lagi" Ara mengusap nisan mamanya sembari menghapus lelehan kristal bening yang mengalir dari kedua pelupuk matanya

Ara menengadahkan kedua tangannya. Dia membacakan surat Yasin dan Ayat kursi dengan khusyuk. Lalu setelahnya membaca doa untuk mamanya. Dia benci saat sedang rapuh seperti ini, tapi biarlah hari ini dia melepas sejenak topeng yang dia gunakan untuk menutupi semuanya.

"Ara bingung mau cerita apa, Ma" Liquid bening miliknya luruh dari kedua pelupuk matanya, rasa sakit kembali menggerogoti relung hatinya

Setelah mulai tenang, Ara menghapus sisa air matanya dengan ibu jari tangan kanan miliknya. Dia mengambil nafas dalam - dalam, lalu kembali membuka suaranya.

"Ayah mau menikah lagi. Ara bingung harus bahagia atau sedih, Ara egois ya ma? Harusnya ara juga mikirin ayah. Tante Vandra emang baik, ara jadi ngerasa jahat banget belum bisa menerima tante Vandra sepenuhnya"

Ara kembali menitikkan air matanya, ikhlas memang tidak semudah itu. Apalagi dulu dirinya sangat dekat dengan mamanya. Bagi ara, mamanya bukan hanya menjadi sosok seorang ibu untuknya, tapi bagi dirinya mamanya adalah teman sekaligus sahabat. Mamanya adalah alasan dia untuk perlahan sembuh setelah kehilangan adeknya. Sekarang, mamanya sudah menyusul adek laki-lakinya.

" Mama udah bahagia di sana kan? Mama udah ketemu adek, kakek sama nenek"

Ara menatap nisan di samping kiri milik mamanya. Itu adalah nisan milik adek laki-lakinya.

"Assalamualaikum, adeknya kakak"

  Ara mengelus batu nisan adeknya, memorinya kembali berputar pada kejadian dulu. Bagaimana dirinya sangat bahagia akan mempunyai teman di rumahnya. Membayangkan betapa lucu adeknya, mengajak adeknya bermain, tetapi itu hanyalah angan - angannya saja.

"Terima kasih dulu sudah hadir dalam perut mama, walaupun setelahnya kamu memilih kembali kepada Sang Pencipta"

  Ara melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ternyata hari sudah cukup sore. Dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Iya, tadi ara langsung pergi ke makam setelah pulang sekolah. Sebelum berdiri, ara mengecup nisan mamanya dan adeknya secara bergantian. Setelahnya, dia berdiri lalu menepuk - nepuk rok bagian bawahnya yang kotor terkena tanah.

"Ara pamit pulang ya Ma, Assalamualaikum"

Ara mulai melangkahkan kakinya keluar dari pemakaman. Gadis itu berjalan menuju halte lalu mendudukkan dirinya di bangku. Dia menatap langit sore yang nampak indah dengan warna jingganya. Karena terlalu larut memandangi langit, sehingga dia tidak menyadari bahwa ada orang lain yang duduk di sebelahnya.

"Kakak lagi ngelamunin apa?"

Ara tersentak kaget tiba - tiba di sebelahnya sudah ada seorang bocah perempuan sekitar umur 6 tahunan.

"Eh, kakak nggak ngelamunin apa - apa kok , Dek"

" Kata papa Alin kalau bohong dosa lho~~"

Ara tertawa kecil mendengar ucapan bocah perempuan tersebut.

"Ouh... Jadi nama kamu Alin?", tanya ara

"Iya, nama kakak siapa?"

"Panggil aja Kak Ara"

"Salam kenal Kak Ara! "

Ara mengelus rambut panjang milik Alin lalu tersenyum membalas ucapan Alin.

"Iya, salam kenal juga Alin"

"Kakak belum jawab pertanyaan Alin tadi"

"Kakak lagi keinget sama mamanya kakak"

Alin menatap Ara bingung, memangnya mama kakak cantik itu kemana pikir bocah itu.

"Emangnya mama kakak kemana?"

"Mama kakak udah di Surga, Dek"

"Sama dong kaya bunda alin"

Ara kaget karena ucapan Alin, ternyata dirinya sama seperti Alin. Ditinggal ibu untuk selama - lamanya. Dia kembali menetralkan raut wajahnya.

"Kata papa, bunda Alin pergi waktu ngelahirin Alin. Jadi, Alin belum pernah lihat wajah bunda langsung. Alin cuma bisa lihat wajah bunda lewat foto"

Ara memeluk tubuh Alin, dalam hatinya dia malu ternyata ada yang lebih dulu merasakan kehilangan ibu dibanding dirinya.

"Lho kok kakak nangis?", tanya alin sembari menghapus air mata ara menggunakan jari mungilnya.

"Kakak cuma terharu, Dek"

"Jangan nangis, kata papa kalau nangis cantiknya ilang"

Ara tertawa karena ucapan polos dari Alin. Dia melepas pelukannya lalu mencubit pipi cubby milik alin.

"Kamu bisa aja"

" Hehehe "

"Alin, Ayo pulang ", panggil seorang pria yang berjalan menuju halte tempat ara dan alin duduk

"Papa!", ucap alin berlari ke arah papanya

  Papa Alin menangkap anaknya lalu menggendongnya ala koala.

"Jangan lari - lari, nanti jatuh", ucap papa alin mencubit hidung mungil anaknya

"Maaf papa"

  Papa Alin mengalihkan pandangannya menatap ke arah Ara.

"Terima kasih sudah menemani anak saya", ucapnya tulus

"Sama - sama, Om", balas ara tersenyum

"Siapa namamu?"

"Panggil saja Ara"

  Papa alin mengangguk mendengar jawaban ara.

"Sekali lagi terima kasih Ara, kami pamit pulang"

"Sama - sama, hati - hati di jalan"

"Dadah kakak cantik! Sampai jumpa lagi yaa", ucap alin melambaikan tangannya

Ara tersenyum lalu membalas lambaian tangan Alin. Mobil papa alin perlahan melaju meninggalkan halte. Tidak lama kemudian, sebuah taksi berhenti di depan Ara. Gadis itu masuk ke dalam taksi untuk pulang ke rumahnya.

Dua Peran (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang