Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langganan para kalangan atas. Dia juga pernah menerima tawaran menjadi salah satu designer yang mewakili n...
Alister sedang melamun, entah apa yang dia pikirkan. Makanannya bahkan belum tersentuh, telihat tidak beraturan karena sedari tadi dia hanya mengaduk-aduknya saja.
"Ali, ada apa nak? Kamu tidak suka makanannya?" Tanya sang mama. Ini pertama kalinya dia melihat putranya tidak fokus dan lebih pendiam. Padahal biasanya dia akan mengobrol dan mengeluarkan lelucon-lelucon garing yang tidak masuk akal. Begitulah pikir Monica juga, adik bungsu dari keluarga mereka.
"Mungkin kakak sedang terlilit hutang." Jawab Monica asal yang membuat sang mama berdecak.
"Mama? Aku ingin bertanya." Untuk pertama kalinya dia tidak menanggapi keusilan sang adik. Monica dan Helen benar-benar curiga saat ini.
"I-iya, sayang. Kamu ingin bertanya apa?"
"Apa bedanya saat aku tersenyum seperti ini." Alister menunjukkan senyum manis yang membuat matanya menyipit. Mengeluarkan aura pertemanan yang hangat.
"Dan saat aku tersenyum seperti ini di hadapan seseorang." Lanjutnya, seketika mengubah senyum lebar itu menjadi tipis yang terlihat lebih menguarkan perasaan penasaran.
Monica menatap Alister sinis, ujung bibirnya mengerenyit tanda tak suka. Ternyata hanya pikiranku saja. Batinnya.
Helen terlihat bingung, jawaban apa yang sedang putra tengahnya ini ingin dengar.
"Yang pertama kakak terlihat konyol dan yang kedua kakak terlihat mesum." Jawab Monica jujur dan langsung mendapatkan sikutan dari sang mama serta tatapan ancaman dari Alister.
"Kamu diam ya bocah, aku tidak bertanya padamu." Monica pun mengangkat bahu acuh dan langsung melanjutkan sarapannya.
"Jadi, bagaimana, Ma? Menurut mama, jika aku tersenyum seperti itu, orang menilainya bagaimana?" Tanyanya lagi.
"Hmm. Kalau kamu bertanya pendapat mama sih, menurut mama senyumanmu yang pertama seperti sedang bersikap ramah saja. Seperti membuat suasan nyaman antara kamu dengan lawan bicaramu. Dan senyuman kedua lebih terlihat seperti...mengagumi? Ketertarikan, semacam itu." Alister meletakkan alat makannya dan memangku dagu. Berusaha mengingat-ngingat, jika benar itu maksud dari senyumannya, apa pernah dia tersenyum seperti itu di depan Maya? 6 bulan ini? Sepertinya...tidak.
"Thanks jawabannya ma, aku berangkat ke kantor sekarang." Alister pun memutuskan untuk menyudahi sarapannya, mengecup singkat pipi Helen dan langsung melenggang pergi.
"Habiskan sarapanmu dulu!" Teriak Helen, namun Alister sudah hilang di ujung teras.
Sepertinya dia memang harus memastikannya sendiri. Manakah dari dua perasaan ini yang lebih mendominasi. Rasa tertariknya pada sosok penjual bunga atau rasa sukanya pada guru daycare. Kedua rasa itu memang terdengar sedikit mirip, namun sadarkah kau? Rasa tertarik akan sosok asing membuatmu gelisah dan perasaan ingin tahu tentang dirinya terasa membuncah hingga membuatmu tidak bisa fokus melakukan segala hal yang awalnya lancar-lancar saja kini menjadi berantakan? Itulah yang dia rasakan akhir-akhir ini.
Sedangkan rasa suka, hal lumrah seperti menjalankan hari-hari yang awalnya terasa monoton berubah menjadi berbunga-bunga sudah kerap dia rasakan selama hampir 28 tahun ini. Itulah bedanya, itulah yang membuatnya hampir gila karena tidak bisa tidur memikirkan wanita itu.
Dan dia sudah memutuskan, dia harus mencari tau, sampai semuanya jelas.
Selama perjalanan, dia terus berpikir, apa yang akan dia katakan ketika bertemu lagi dengan penjual bunga itu?
"Tunggu. Kenapa aku bingung?" Monolognya.
Seorang Alister? Yang dengan sangat gampangnya dapat meluluhkan hati wanita manapun ini bertanya-tanya tentang apa yang akan dia ucapkan? Alister terkekeh kecil tak habis pikir.
Bukankah inu semakin jelas?
Merasa tidak sabaran, Alister kembali menancap gas ketika lampu lalu lintas berubah hijau.
Bahkan ini pertama kalinya dia mengebut tidak ingin merasa terlambat untuk menemui seorang wanita. Benar-benar gila aku dibuat. Batinnya.
Sesekali ia menyugar rambutnya, tertawa kecil menyadari aksinya.
Ckiittt!!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Alister memarkir mobilnya di pinggir trotoar. Dia sedikit bercermin untuk memperbaiki penampilannya. Setelah merasa tampan, dia pun keluar dan berlari kecil memasuki toko bunga bertuliskan Bloemen itu.
Kring!!
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"
~
Anak-anak tengah melakukan kegiatan menggambar. Tema menggambar hari ini adalah keluarga. Mereka diminta untuk menggambar seseorang terdekat dari keluarga mereka.
Maya sesekali menghampiri dan membantu mereka menentukan warna. Dari sekian banyak anak-anak yang berkumpul menggambar bersama, hanya Cairo yang menepikan diri. Dia tetap duduk di kursinya tanpa mau ikut berkerubung di dalam lingkaran yang teman-temannya buat.
"Cairo, kamu menggambar siapa?" Dion datang menghampiri Cairo, mendudukkan dirinya di kursi sebelah kiri. Dion adalah putra dari rival Theo di dunia bisnis, dan Dion selalu menjadi yang kedua setelah Cairo, dalam segi kepintaran maupun fisik.
"Kakek dan nenek." Jawab Cairo sekenanya. Dion memiringkan tubuhnya, berusaha melihat gambaran Cairo, namun Cairo menarik kertasnya, menyembunyikannya dari Dion.
Dion memutar matanya kesal.
"Kenapa? Kamu malu hanya bisa menggambar kakek dan nenekmu saja?" Mendengar itu Cairo mulai terpancing. Dia tau apa yang dimaksud oleh Dion, pertanyaan simple yang justru bermakna mengolok.
"Di mana ayahmu? Apa dia terlalu sibuk di kantor makanya tidak masuk dalam gambaranmu?" Sindirnya lagi seraya tersenyum polos, membuat kedua temannya yang lain berbisik menahan tawa. Namun, Cairo masih berusaha menahan emosinya.
"Apa pohon itu mama mu?" Tanyanya kali ini ketika berhasil mengintip sedikit kertas dibalik bahu kecil Cairo. Suara tawa Dion dan kedua temannya kini memenuhi pendengan Cairo. Ekspresi tawa mereka sungguh membuat tangan Cairo gatal ingin sekali menggaruk wajah mereka.
Dengan amarah yang sudah tidak terbendung lagi, Cairo merampas selembaran yang Dion genggam dan merobek hasil karyanya tanpa perasaan.
"Begitulah gambaran kehidupanmu dan akulah penyebabnya." Ucapnya dingin tanpa ekspresi menatap Dion yang sudah terlihat emosi.
"Jangan pernah menghina mama ku!" Lanjutnya dan langsung mendorong Dion. Dion yang tidak terima karena gambarannya di robek dan tubuhnya di dorong pun membalas Cairo dengan hal serupa.
Perkelahian mereka memancing kegaduhan di kelas. Tidak sedikit dari para murid itu menangis dan berlari keluar kelas. Maya dengan cepat berusaha memisahkan keduanya, dia menarik tubuh Cairo agar melepaskan cengkramannya pada seragam Dion hingga akhirnya seragam itu pun robek.