16

51.9K 3.9K 90
                                    

Cairo menangis sesenggukan di pinggir kolam ikan yang berada di taman rumah sakit. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terus menangis, suara tangisnya terdengar pilu juga menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

"Dia jahat..pria tua itu jahat, Ma.. suamimu jahat..ambil dia juga..jangan nenek...ayah jahat, Ma." Rancaunya tidak beraturan karena tangisnya.

"Tuan muda?" Hengky datang menyusulnya setelah melihat pria kecil itu langsung pergi menghilang di balik lift. Hengky bahkan sampai berkeliling rumah sakit mencari keberadaan Cairo dan akhirnya ketemu di taman belakang.

"Paman, dia jahat sekali paman..aku membencinya..aku tidak mau memiliki ayah sepertinya..aku berharap dia saja yang mati, bukan mama." Kembali dia luapkan sakit hatinya dengan perkataan yang terdengar jahat.

Dia sadar, mengatakan kata-kata tidak pantas seperti itu kepada orang tua adalah salah. Namun rasanya sesak sekali mengetahui ayahnya seegois itu terhadap dirinya. Juga nenek.

"Iya, tuan muda, iya." Hengky yang tidak tau harus merespon apa itu pun hanya mengiyakan apapun yang Cairo ucapkan, membiarkan pria kecil itu meluapkan emosinya.

Hengky mendudukkan dirinya disebelah Cairo. Mengusap punggung pria kecil itu pelan, berusaha meredakan tangisnya.

"Paman, ayo cari mama, paman, aku ingin bersama dengannya saja, aku tidak mau disini bersama dengan pria itu." Hengky menatap sendu Cairo kecil yang tengah menatapnya penuh harap, dengan wajah yang sepenuhnya sembab.

Ini pertama kalinya Cairo menangis seperti ini, bahkan saat tuan Bennedic dinyatakan meninggal, Cairo tidak menangis sedalam ini. Apa yang membuat Cairo sesedih ini? Apa karena nyonya besar? Atau karena emosi tertahannya yang sangat ingin ia luapkan pada sang ayah? Mencurahkan unek-uneknya selama ini.

"Maaf tuan muda, tidak bisa." Cairo meluruh ke senderan bangku taman. Seminggu itu sangat lama, ya? batinnya.

"Kalau begitu ayo kita susul mama, paman. Cuma dia yang bisa membuatku tenang. Pria itu juga tidak menyayangiku, jangankan peduli, dia menatapku saja seperti jijik. Jadi.. ayo kita pergi Paman, ayo pergi susul mama." Hengky hanya diam dan membiarkan Cairo merancau hingga dia tenang. Bahkan melihat bagaimana pria kecil itu berusaha tetap bersuara diselangi sesenggukan membuatnya semakin iba. Apa yang bisa dia lakukan? Mengapa waktunya sangat tidak tepat.

Hengky mengadah menatap langit yang hampir orange, membiarkan Cairo merancau dan menangis hingga dia tenang.

"Dasar, monster berdarah dingin pembenci semua keluarga. Pantas saja mama pergi meninggalkannya, dia sangat buruk." Rancaunya lagi dalam rangkulan Hengky. 

Sepertinya dia sudah tenang, terdengar dari nada suaranya.

"Tuan muda, bolehkah saya berbicara? Menceritakan kisah antara dua orang manusia yang sedang jatuh cinta?"

"Pasti paman mau menceritakan kisah cinta orang tua ku lagi kan? Saat ini bukan waktu yang tepat, itu tidak akan mengubah bagaimana buruknya dia di mataku." Iya, Hengky selama ini menceritakan beberapa penggalan ingatannya tentang cerita kenangan cinta Theo dan kekasihnya. Hal itu sangat membatu karena dengan cara itu, sang ibu dapat 'hidup' di pikiran Cairo. Berkhayal dan mengimajinasikan bagaimana wataknya yang baik hati.

"Tidak tuan muda, kali ini, ada bagian yang terlupakan."

"Maksud paman?"

"Tidak, bukan terlupakan, tapi memang sengaja saya tidak ceritakan mengingat usia anda masih terlalu kecil."

"Jangan beralasan seperti itu! Usiaku kecil tapi aku selalu dianggap dewasa karena di tinggalkan di mansion sendirian setiap hari. Jadi, cepat cerita. Aku butuh hiburan." Hengky prihatin namun tidak bisa dia pungkiri bahwa dia sedang merasa gemas dengan ucapan sok dewasa yang Cairo ucapkan.

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang