12

51.2K 4.1K 22
                                    

Pentas pun telah usai, tirai merah itu terlepas dari kedua sisinya dan menjadi penutup penampilan mereka hari ini. Setelah menunduk 90 derajat kepada audience dan tirai sudah tertutup sempurna, tanpa basa-basi dia langsung melenggang pergi. Berlari kencang menuju tempat wanita itu berada.

Bruk!

"Mama!" Pekiknya seraya memeluk pinggang Azlyn erat. Pelukan Cairo pun di sambut tidak kalah erat oleh wanita itu, melepas rindu.

Sehari sebelum Valentine, Cairo meminta untuk pulang. Azlyn dapat menangkap tindakan Cairo sebagai bentuk rajukannya pada Azlyn yang tidak dapat menghadiri acara pentingnya. Bahkan hari itu untuk pertama kalinya Cairo tidak mampir dan bermain di toko bunga Azlyn, membuat Azlyn semakin merasa bersalah.

Tanpa mau menyakiti hati yang polos itu, dia pun membatalkan penerbangannya dan mengatur ulang meetingnya dengan kolega bisnisnya. Jadwal yang mengaharuskannya untuk hadir siang ini dia ubah menjadi malam hari. Setidaknya dia akan menemani Cairo hingga acara ini selesai dan langsung pergi.

"Mama datang!"

"Tentu aku datang, aku tidak mau melewatkan suara nyanyian pria kecilku yang lucu ini." Azlyn mencubit kecil hidung Cairo, membuat pria kecil itu tertawa geli. Hengky tersenyum sendu melihat interaksi dua manusia berbeda usia itu. Cairo terlihat sangat senang dan lebih hidup setelah bertemu Azlyn. Apa ini artinya bahwa wanita inilah yang seharusnya menjadi pendamping tuan besar?

"Terima kasih, terima kasih banyak!" Cairo kembali merengkuh leher Azlyn erat.

"Para orang tua wali, di mohon untuk mengambil tempat karena acara menggambar bersama akan segera kita mulai." Mendengar pengumuman itu, Azlyn dan Cairo pun menyudahi pelukan mereka dan mengambil posisi meja paling belakang karena meja depan semua sudah penuh.

"Tuan Hearst, duduklah bersama kami." Ajak Azlyn pada Hengky yang tetap setia berdiri di belakang Cairo.

"Tidak perlu nona. Nikmati waktu kalian, saya akan kembali ke perkumpulan para supir yang lain. Permisi." Belum sempat Azlyn membantah, Hengky sudah pergi meninggalkan auditorium. Jangan salah, itu karena sebelumnya tatapan Hengky dan Cairo bertemu dan pria kecil itu seakan memberikan kode untuk Hengky pergi agar dia bisa bersama dengan Azlyn lebih lama tanpa ada yang mengganggu.

"Mama, kita akan menggambar apa ya?" Cairo mengalihkan perhatian Azlyn.

"Kamu ingin menggambar apa?"

"Aku ingin menggambar... mama." Sahutnya dengan cengiran kelewat lebar. Azlyn mengangkat satu alisnya.

"Bisa? Aro pintar menggambar, ya?"

"Tentu saja, perhatikan ya, ma." Cairo langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri meja panjang yang berisikian alat-alat menggambar. Cairo mengambil selembaran kertas putih berukuran A4, alas, pensil, rautan dan penghapus. Hanya itu.

Melihat peralatan yang dibawa Cairo, Azlyn sedikit bingung. Bukankah anak seusia ini harusnya lebih suka crayon, pensil warna dan cat air? Kenapa dia hanya mengambil pensil? Batin Azlyn mulai penuh rasa penasaran.

"Mama, tersenyumlah." Ucapnya tanpa meminta Azlyn melakukan hal-hal nyentrik yang biasanya seniman minta pada muse-nya. Azlyn menunduk menahan tawa sebentar, berdehem dan mulai tersenyum menghadap Cairo yang sedang menyangga kertas lukis dan alasnya.

Melihat tatapan serius dari bola mata Cairo membuat Azlyn merasa familiar. Terlihat profesional juga penuh ketelatenan yang terlihat ringan, seperti sudah terbiasa. Apa anak ini memang gemar menggambar? Kenapa aku tidak tau? Batinnya.

Azlyn terus memperhatikan bagaimana manik itu bergerak melihat dirinya dan kertas gambar itu bergantian.

Jika memang Cairo pintar menggambar sama sepertinya, apa itu juga hanya kebetulan?

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang