Entah bagaimana caranya. Entah bagaimana kejadiannya percisnya. Semua terjadi begitu cepat, hingga disinilah dia sekarang.
Mengendarai kendaraannya dengan kecepatan penuh mengejar 5 mobil hitam yang membawa putranya.
Bagaimana ia tau? Bukan. Pertanyaan yang seharusnya adalah, bagaimana caranya ia tau?
Beberapa puluh menit sebelumnya. Sesaat sebelum ia melangkah menuju belakang aula, ia mendengar suara tembakan yang memekakan. Saking terkejutnya ia hingga membuat tubuhnya langsung membungkuk seraya menutup telinga. Dengungan juga raga yang seketika lemas karena kejut membuat refleksnya memakan waktu cukup lama untuk memproses semuanya.
Rasa khawatir pun mulai datang menggerumuni seluruh kulitnya. Ketakutan akan sesuatu yang buruk akan terjadi pun semakin terasa nyata adanya. Kejadian itu, kejadian itu, kejadian traumatis itu. Senjata api, ia membenci benda itu. Mengingatkannya pada sang ayah yang kerap mengancamnya dengan benda itu. Menarik pelatuk ke sembarang arah hanya untuk mempermainkan mentalnya. Walaupun tak pernah sekalipun peluru itu menembus kulitnya, namun di usianya saat itu, hal itu sangat membekas diingatannya.
Dengan sekuat tenaga ia mengumpulkan kekuatannya, mulai berjalan seraya berusaha menormalkan getar pada kedua kakinya agar langkahnya kembali seimbang.
"Cairo.. Cairo.." Rapalnya lemah.
Cairo pasti mendengar suara itu, kan? Asal suara yang sangat dekat dari posisinya yang artinya tembakan itu berada di belakang Aula. Apa Cairo akan mengalami trauma sepertinya? Putra kecilnya?
Tidak, Cairo pasti baik-baik saja. Hiburnya, berusaha tak ingin meracuni pikirannya dengan semua kemungkinan-kemungkinan buruk, hingga-
Azlyn menegang di tempat ketika melihat sosok pria yang sangat ia kenali itu terkapar di atas lantai. Tergeletak tak bergerak bahkan saat derap langkah kakinya mendominasi keheningan lorong gedung itu, tidak merasa terganggu sedikitpun.
"T-tuan Hearst?" Azlyn meluruh dengan seluruh ototnya yang melemas, tangannya gemetar tak tertahankan.
Darah.
Apa yang terjadi? Pikirannya mendadak kosong dan hanya menatap lurus sosok itu dengan wajah yang berangsur-angsur mulai memucat. Azlyn meremat bahu pria itu, maniknya terlihat sayu pun nafasnya terdengar lemah. Azlyn berusaha mencari ponselnya dengan tangan yang masih gemetar, ingin menghubungi ambulance. Namun aksinya tertahan melihat bibir pria itu bergetar ingin bersuara, membuat Azlyn membungkuk mendekatkan telinganya.
"Ny-nyo-nya B-barr-bara.. mmer-rek-ka me-mbawa C-Cai-ro kepa-da-nya.. to-"
Azlyn menunggu dengan sabar apa yang akan Hengky ucapkan. Namun, sedetik, dua detik dan detik-detik selanjutnya tidak ada lagi, tidak ada lagi yang terucap dari pria itu kecuali hembusan lemah darinya menjadi penutup ucapannya. Azlyn mengangkat kepalanya, menatap wajah itu dengan bulir air mata yang sudah menetes dengan deras.
Ia meremat jas hitam yang Hengky kenakan dengan kuat, kembali menunduk dan menangis kencang. Sesekali ia mengguncang tubuh itu, berusaha mendapatkan reaksi yang akan membuat air matanya tak turun lagi.
"Tuan Hearst! Bangun! Bangun!" Berharap setidaknya, setidaknya jari itu merespon panggilannya, walaupun ia tau semua hanya sia-sia.
Tubuh itu, tubuh itu mulai mendingin.
Dia pergi. Hengky, pergi selagi mempertahankan tanggung jawabnya. Melindungi seorang anak kecil yang sudah ia anggap sebagai putranya sendiri. Akan bagaimana perasaan anak itu ketika mengetahui hal ini? Bahkan Azlyn yang hanya mengenalnya beberapa bulan sudah dapat merasakan betapa tulusnya ia mengawal Cairo selama ini, mengerjakan tugas selayaknya itu sudah seperti kemauannya, bukan pekerjaannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Who Am I?
RomanceLily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langganan para kalangan atas. Dia juga pernah menerima tawaran menjadi salah satu designer yang mewakili n...