Infus di tangan Gita sudah lepas. Tepat siang tadi jam 11 gadis itu sudah keberatan jika jarum infus itu tetap menancap di pergelangan tangannya. Dia merasa sudah baik-baik saja, makanpun dia bisa, minum dia juga sudah leluasa, memang ada sedikit ada luka di lambungnya dan infeksi juga, tapi itu tak terlalu parah adanya. Asalkan ke depannya makannya diatur dan dijaga, sekaligus minum obat juga, dia bisa kembali lagi ke keadaan sehat seperti semula.
Gita sudah menyuruh Jevi untuk meninggalkannya dan pergi berkerja, tapi laki-laki itu keukeh dan masih setia berada di kamar apartemennya. Gita sebenarnya butuh beristirahat, tapi itu mustahil dilakukan jika kedua tangan Jevi masih menjerat tubuhnya dengan erat. Ntah karena Jevi over protective atau karena hasratnya saja yang belum terlepas, sehingga majikan Gita itu suka sekali dekat-dekat.
Laki-laki itu kini sangat suka mencium bau rambut Gita yang masih tersisa karena mandi kemaren senja, bau tubuh gadis juga masih wangi karena parfum yang dikenakannya tahan lama, dan kini dia memeluk Gita dari belakang dengan posisi mereka berdua sama-sama berbaring di ranjang luas.
"Om, Gita mau tidur, tapi Gita nggak bisa tidur kalau posisi Om kayak gini. Gita nggak konsen Om!" keluh Gita.
"Alah bukan pertama juga, rileks aja kali Git! Gue hanya mau memastikan lu sembuh cepat. Bukan aneh-aneh kok, sehingga lu nggak perlu masukin ke buku hutang lu!" kelit Jevi.
"Tapi jantung Om itu debar-debar dan kerasa di punggung Gita. Gita nggak bisa tenang kalau kayak gitu Om!"
Jevi menarik tubuhnya agar tak bersandar di punggung gadis yang dicintainya itu. Meskipun detak jantung Jevi sudah tak terasa ditubuhnya, Gita tetap tak bisa bernapas lega, karena dipikirannya Jevi akan menggaulinya setelah ini.
"Tidur Git, jangan bangun terus, 'itu' gue juga bangun karena lu. Imajinasi dan fantasi gue jadi tambah liar karena lu terjaga."
Gita segera sadar arah pembicaraan Jevi ke mana. Dia segera pejamkan matanya tapi tetap saja rasanya tak tenang-tenang juga.
"Mau gue bikin capek dulu nggak, sayang?"
Jevi menjilati kuping Gita sembari berbisik mesra, sepertinya setan sudah mulai mempengaruhi tujuan tulus sebelumnya.
"Om, jangan!"
Semudah itu untuk memporak porandakan niat Jevi. Dari sekadar memastikan keadaan Gita agar baik-baik saja, sampai sekarang malah menginginkan sentuhan fisik yang lebih intensif.
"Git, lu nggak boleh nganggap gue hanya pengganti ayah lu, karena bagaimanapun juga Mbak Sumi nggak menikah dengan gue. Lagian lu mana rela Ibu lu nikah sama Jevi yang selalu bikin lu terengah-engah ini."
Gita menoleh ke belakang saat pelukan Jevi semakin erat. Dia susah payah mengubah posisinya tersebut.
"Lu pengen?"
Jevi menatap Gita lekat. Gadis itu menyisir rambut Jevi dengan jemari tangannya.
"Om, kenapa ya saat Gita kecupan sama Azhar yang teringat malah Om? Padahal dia nggak semenggairahkan Om jika melakukan itu?" jujur Gita apa adanya.
Jevi benar-benar melambung ke angkasa. Dipuji demikian, laki-laki itu merasa yakin Gita suatu saat akan jatuh ke pelukannya yang hangat.
"I love You Git, itu artinya lu sebenarnya udah jatuh cinta ke gue tapi lu selalu menampikkan saja selama ini karena kehadiran dua cecunguk itu. Emang gitu prosesnya, agak ribet karena kita beda generasi, gue terlalu tua buat lu. Lagian kita selama ini hubungan kita diawali dari partner mendesah sebelum jadi partner hidup untuk menikah!" papar Jevi.
Gita manyun, lalu merapikan kembali rambut messy Jevi dengan jemarinya yang lentik. Sebenarnya hal itu dia lakukan agar nafsunya yang harusnya akan segera meledak dapat dijinakkan untuk sementara waktu.
"Lu suka rambut gue?"
Gita mengangguk, rambut Jevi memang lebat dan berkilau tapi bukan itu tujuan sebenarnya dia menelusuri rambut majikannya itu dengan jemarinya yang hangat.
"Gue juga suka rambut lu sayang. Maaf ya, karena gue yang bikin rambut lu setengahnya harus dipotong karena kasus pembullyan itu."
Jevi mengusap rambut Gita yang ikal. Dia juga sedang menahan apa yang memberontak pada hasratnya.
"Om, kalau nanti Om punya anak. Om ingin punya anak berapa?"
"Istri gue elu kan tapi?"
Gita tak bisa memutuskan. Bagaimanapun di otak gadis itu sudah terinstal jika Jevi berbicara hal tersebut ke semua wanita yang tidur dengannya.Jadi tak ada yang dapat dispesialkan.
"Untuk siapa aja wanita yang nanti jadi istri Om. Om pengen punya anak berapa?"
"Kalau sama orang lain gue nggak bisa mengimajinasikannya Git, soalnya gue nggak cinta. Tapi kalau sama lu, gue pengen punya anak banyak kalau lu sanggup. Kan lu baru 19 tahun masih di masa-masa produktif ngasilin anak. Lagian lu kan juga keibuan, bisa ngurus anak meski ntar gue pasti tambahin baby sitter untuk bantuin ngurusin anak-anak kita. Gue sebenarnya nggak suka anak-anak tapi sejak kenal Cika, juga Lala dan Rara yang berubah karena elu, gue yakin aja anak-anak pasti akan jadi sosok menyenangkan karena dididik sama elu."
Jevi jujur mengungkapkan hal tersebut. Gita tersentuh dan kembali ingin meraba pria itu di bagian tubuhnya yang lain.
Ah, nakal. Tangan Gita merayap ke kancing kemeja Jevi dan melepaskan buah baju yang melekat itu satu persatu. Laki-laki itu memperhatikan tingkah Gita tersebut dengan wajah yang sangat bernafsu.
Ah, tangan itu kini menyelip ke dalam kemeja Jevi yang sudah menganga. Halus sekaligus menggelikan, sehingga Jevi tak tahan jika hal ini tak dilanjutkan ke keadaan yang lebih menggairahkan.
Gita menurunkan tubuhnya. Lalu bibirnya meraih dada Jevi yang sedikit berbulu.
Di mana gadis polos ini belajar dengan memuaskan pria dengan melakukan mandi kucing? Seperti yang dia lakukan sekarang meski dengan gerakan yang masih ragu-ragu.
"Hisap sayang! Kerasin!"
Gita segera menindih Jevi, lalu melakukan apa yang Jevi minta dengan sangat, sangat, sangat menggairahkan. Jevi merintih, terengah, dan di dalam celananya sudah menegang terlalu tegang.
"Ah, lu idaman gue Git, lu sem ... pur ...na, ah!" kata Jevi sembari mendesah.
Bagaimana bisa Gita tau titik syaraf yang berada di puncak dada Jevi yang bidang dan berotot? Semakin lama lidahnya bermain di sana, Jevi semakin tak tahan untuk tak mengerang.
"Kita gantian Git!"
Jevi mengalihkan posisi Gita dengan secepatnya. Gadis itu sekarang di bawah, dan Jevi segera menaikkan pakaian gadis itu agar dapat lolos dari kedua tangan Gita yang pasrah.
"Om, Gi .. Ta—" ucapan Gita terpotong.
"Ka–kak!"
Kedua tamu yang baru masuk ke apartemen itu tercekat dengan apa yang barusan mereka lihat. Gita dan Jevi benar-benar terjerat dan harus menjelaskan ini semua dengan tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Romance"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...