OM JEVI DATANG!

952 16 0
                                    

Dua bulan kemudian

Gita sudah dapat kerjaan, di warung nasi depan pasar tradisional. Tugasnya sebenarnya sederhana, yakni mencuci perlengkapan makan tetapi sangat melelahkan karena kedai ini selalu ramai pengunjung. Gajinya dihitung harian, dihargai 3 lembar uang 10 ribuan, bekerja dari pagi jam 6 pagi sampai jam 6 sore, atau sehabisnya barang dagangan. Kadang bisa lebih cepat atau lebih lambat untuk Gita pulang ke rumah.

Upahnya kecil memang, pekerjaannyapun harus dilakukan tiap hari, tapi kadang dia sering mendapatkan makanan sisa dari kebaikan hati bos kedai nasi itu. Ya meski hanya sebungkus atau dua bungkus lauk, namun lumayan juga untuk mengganjal perut sekeluarga saat makan malam.

Gita tak sepenuhnya jadi tulang punggung, Amri juga ikut serta menjadi peringan beban keuangan keluarga. Laki-laki remaja itu mengajar di taman pendidikan Alquran dari senin sampai jumat setelah pulang sekolah. Meski hanya dihargai 15 ribu untuk 1.5 jam pertemuan, tapi Amri sangat senang melakukan tugasnya sebagai pengajar.

Untuk urusan keluarga, Amri dan Gita harus bagi tugas, Gita bertanggung jawab dengan semua urusan rumah tangga, sedangkan Amri bertanggung jawab untuk urusan ke luar termasuk memberikan Cika jajan untuk sehari-hari.

Secukupnya, meski aslinya mereka kekurangan, bahkan untuk buku sekolah di ajaran barupun mereka tak mampu membeli sepenuhnya. Kertas-kertas kosong di buku lama dijilid kembali ke tempat potokopian lalu digunakan lagi meski tiap lembarnya tak seragam.

Untunglah kedua adik Gita itu sadar kondisi, Cika tak banyak menuntut dan Amri pun mulai mencari pekerjaan lain sebagai pengrajin ketupat di malam hari kalau ada tawaran dari tetangga. Walaupun intensitasnya itu terhitung jarang, tapi lebih menenangkan dibanding remaja laki-laki itu harus melaut lagi untuk menyambung kehidupan.

Gita pulang selalu dalam kondisi kelelahan yang berarti. Hampir 12 jam dia berdiri setiap hari, dan bersentuhan dengan sabun yang mempunyai daya iritasi yang tinggi. Tangannya yang halus dulu sekarang tampak berkerut dan pecah-pecah. Wajahnya juga begitu, cukup banyak ditumbuhi jerawat karena mukanya berminyak, dan tentunya tubuhnya lebih kurus karena hanya dijatah 1 kali makan siang selama bekerja dari pagi sampai petang.

Cika selalu menunggu Gita pulang tentunya setelah shalat maghrib di masjid. Dia akan duduk di depan rumah, rela dikerubungi nyamuk jahat, demi melihat secercah senyum kelelahan dari Gita yang hampir 12 jam bekerja. Tapi pelukan hangat antara mereka berdua mampu menghilangkan semua keluh kesah, apalagi kalau Gita membawa buah tangan seperti sekarang. Akan melonjak-lonjak Cika karena kegirangan.

"Kak, pakai lauk apa tuh?"

"Tempe bacem sama tahu semur. Baik banget bapak pemiliknya ke kakak, alhamdulillah!"

Gita masuk ke rumahnya, disambut Amri dengan muka yang sudah masam karena mendengarkan percakapan mereka berdua.

"Kak, kakak nggak jadi simpanan Bapak pemilik kedai nasi kan? Kok sering banget kakak dapet makanan dari dia? Tadi Amri tanya Mbak Ria malah jarang dapat makanan!"

Gita menarik napas panjang, dia tak ingin memperpanjang debat. Amri memang masih sering membahas hal tersebut berulang-ulang. Kecurigaannya memang sering bikin Gita kesal tapi mau diapakan lagi, kecuali dihadapi dengan kesabaran.

"Ria sering nggak dapat karena hanya kerja paruh waktu Ri, kakak sepenuh waktu. Kakak rela nunggu sampai semua bagian kedai bersih agar dapat makanan sisa yang enak. Bukan karena Kakak jadi simpanan Bapak Budi."

Amri belum sepenuhnya lega, Gita lalu mengeluarkan uang yang didapatkannya hari ini dan menyetorkannya pada Amri yang besok akan pergi membeli beras dan lauk ke pasar. Cika juga bergegas membawa periuk nasi dan piring untuk makan malam mereka bersama. Saat makanan itu sudah ada di hadapan masing-masingnya, mereka melantunkan doa, lalu menghabiskan makan malam mereka dengan penuh sukacita.

***

Gita membaringkan diri di atas kasur kapuk untuk menjemput kantuk. Badannya kelelahan, tapi matanya belum bisa berkompromi agar tertidur lelap. Pikirannya mengembara ke mana-mana, salah satunya berpikir apa yang terjadi di kota. Setelah dibayangkan berlama-lama, ternyata dia pernah menikmati indahnya surga dunia, saat semua kebutuhannya dulu terpenuhi tanpa harus banting tulang seperti ini. Meskipun majikannya yang dulu itu sering bikin rusuh tapi tetap saja Gita merasa lebih merasa diperlakukan manusiawi dibanding harus bekerja 12 jam hampir tanpa henti dan selalu bergelut dengan busa-busa beserta piring kotor disertai bau pasar yang busuk.

Gita rindu Jevi dengan semua kerumitan hubungan mereka yang lebih dari hanya sekadar pembantu dan majikan. Laki-laki itu menjelma sebagai penyelamat sekaligus pembunuh hidupnya. Seperti sosok seorang Ayah meski terkadang terlalu diktator dalam mendidiknya sehingga tak jarang Gitapun sering kesal dibuatnya. Tapi laki-laki itu manis juga, hangat juga, tapi dalam waktu bersamaan juga banyak kepura-puraan yang dia tunjukkan.

Laki-laki yang terlalu banyak main wanita memang punya banyak kerumitan di hidupnya. Alasan mereka bermacam-macam, mulai dari membunuh kesepian, melepaskan dendam, kesenangan, atau bisa juga sedang berusaha melepaskan trauma. Tapi untuk Jevi semua alasan itu ada, itulah yang membuat Gita tak sepenuhnya percaya dengan pernyataan cintanya.

Cika datang mengendap-ngendap, membuka pintu yang rapat itu sepelan mungkin agar Amri yang tidur di ruangan tengah tak terjaga, lalu menemui Gita yang sudah berbaring di ranjangnya.

"Ada apa Cik?"

Cika menempelkan telunjuknya ke bibir. Menyuruh Gita memelankan suaranya.

"Kak, Cika mau ngasih kabar sesuatu!"

Cika bergerak mendekati kakaknya, kemudian naik ke ranjang agar bisa membisikkan sesuatu ke Gita yang siap mendengar.

"Om Jevi?"

Cika mengangguk.

"Tadi Om Jevi datang Kak, bawa banyak barang ke sini. Tapi diusir Kak Amri, dab dia akhirnya pergi."

Jantung Gita memompa lebih cepat. Sudah lama memang dia tak mendengar kabar pria itu secara lebih dekat.

"Om Jevi tetap ganteng, tapi matanya sekarang berkantung, kayaknya dia kurang tidur. Kasihan ya kak?"

"Terus dia ngapain lagi Cik?"

"Tadi dia ngasih tau ke Cika dia nginap di hotel Mulia di dekat pantai wisata. Terus dia ke rumah kita, dia ngajak Cika bicara, dan dia ngeluarin barang-barangnya. Tapi Kak Amri datang buat nyuruh dia pergi dan ambil lagi barangnya Kak, sambil bentak-bentak juga kak Amri. Kasihan dia kak!"

Gita tersenyum sekilas, ternyata majikannya yang dulu itu masih ingat dengan dirinya itu, padahal hampir tak ada lagi media komunikasi yang bisa membuat mereka terhubung lagi. Amri sudah mengganti nomornya begitu juga dengan Gita. Bahkan Hp gadis itu tak lagi memakai teknologi android. Setelah telepon selularnya benar-benar rusak, kini dia memakai Hp Ibunya yang jadul dengan keypad tapi masih bisa dipakai untuk berkomunikasi sms dan telepon. Tapi sayangnya kontak Jevi sudah tak ada lagi

"Kira-kira besok dia masih ada di sana nggak ya. Kakak ingin tau kabar majikan kakak dulu, cik!"

"Semoga sih kak. Ciee, kakak ketemu Om Jevi lagi. Kakak suka Om Jevi ya? Cieee!"

Gita mencubit pelan Cika, lalu gadis kecil itu turun dari ranjang dan pergi ke ruang tengah untuk beristirahat sampai pagi menjelang.


Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang