Gita diantar sampai di depan rumahnya, mengundang dua pasang mata melongok dari jendela karena kedatangannya. Muka Gita masam saat menghadapi majikannya itu dalam kendaraan, seperti sedang terkena hantaman kehidupan, padahal aslinya dia hanya kena mental akibat cercaan dari majikannya yang menghakiminya seperti pengadilan Tuhan.
Sebenarnya cercaan Keenan intinya positif, hanya menyuruh Gita menjaga dirinya beserta kehormatannya, tapi ujung kata-kata pria itu loh yang berbahaya, menghakimi wanita itu dengan kata-kata 'murahan, terbawa perasaan, bodoh, dan mau-maunya dimanfaatkan'. Rasanya waktu 6 menit bersama laki-laki itu di dalam mobil seperti neraka jahannam, penuh siksaan, dan semua omongan menjatuhkan itu terpaksa harus Gita terima meski hatinya tak rela.
Gita turun kendaraan yang Keenan kendarai tanpa kata terima kasih meskipun kalimat basa-basi. Yang pasti ketika mobil itu berhenti, Gita langsung berlari di tengah hujan, meskipun Keenan juga tergesa-gesa untuk mengejar dan berharap bisa memayungi wanita tersebut. Gita tak peduli dengan majikannya itu, dia benar-benar terluka dan ingin menjauh dari laki-laki itu segera. Sehingga saat pintu rumah dibuka Cika, Gita langsung masuk dan menguncinya rapat-rapat dan tak mengizinkan Keenan menyusulnya ke dalam rumah.
Wanita itu tarik napasnya dalam-dalam dan tak membuka pintu saat pintu itu diketuk. Dia instruksikan adik-adiknya yang masih kebingungan agar tak bergerak, tetap diam, sampai majikannya itu benar-benar pergi dari depan rumah itu.
Dua menit, gedoran pintu itu berhenti, mobil sudah bergerak lagi, Keenan sudah beranjak dan Gita akhirnya dapat sedikit tenang. Dia keluarkan uang senilai dua ratus ribu dari sakunya. Dia berikan uang tersebut pada adik perempuannya yang kini menatapnya dengan pandangan penuh keraguan.
"Cik, ini uang buat beli buku sama bayar uang kas yang masih ngutang. Cukup-cukupin ya?"
Cika berubah ekspresi menjadi teramat ceria, dia melonjak kegirangan menerima uang yang kini ada di hadapannya. Hanya Amri yang terlihat curiga asal usul uang itu dari mana.
"Ri, ini 100 ribu buat kamu, beli bahan makanan ya ke pasar. Kita —"
"Dapat uang dari mana Kak? Uang halal kan ini?"
Gita yang emosinya belum stabil akibat penghakiman buruk dari majikannya itu, benar-benar tersulut emosi akibat kecurigaan dari Amri.
"Bisa nggak sih Ri, kamu nggak mencurigai kakak apapun lagi. Kakak capek, kakak lelah, nyari uang biar kita semua bisa makan. Please, ngerti!"
Gita lemparkan uang itu ke muka adik laki-lakinya itu. Cika tersentak, Amri masih tak percaya jika Gita bisa semarah itu padanya. Kakak mereka berdua itu benar-benar sudah tak bersikap biasa, Gita langsung berlari ke kamarnya, mengunci pintu rapat-rapat, mencoba tak menjawab setiap panggilan adik-adiknya yang menyuruhnya makan malam, tapi tangisnya selalu memecah di sela-sela bunyi hujan yang menghajar atap seng rumahnya yang sederhana.
***
"Om, Om nganggap Gita murahan ya selama ini? Kata Pak Keenan, Om memanfaarkan Gita karena mau-maunya nyerahin keperawanan Gita ke Om!"
Wanita itu tumben-tumbenan menghubungi Jevi di siang bolong. Tapi sayang, bukan kata romantis sebagai pembuka percakapan, tapi langsung ke tuduhan yang sepertinya sedang Gita resahkan. Sebelumnya padahal tak ada satupun kalimat Gita yang menyesali jika dia kehilangan kehormatan, tapi ntah mengapa sekarang wanita itu menyalahkan Jevi atas semuanya.
"Apa sayang? Masa sih gue tega nganggap lu murahan hanya karena lu ngasih kehormatan lu ke gue? Gue nggak sekejam itu kali Git. Gue janji akan nikahin lu kok. Sabar ya, di sini si Dahlia makin menggila, gue pengen racun sebenarnya tuh Mak Lampir tapi masih mikir-mikir kalau ntar gue bisa masuk penjara karena dia."
Gita tetap manyun, sembari mengawasi Alvaro yang sedang menaiki tangga perosotan di taman bermain ini. Hatinya belum tenang dari malam tadi sampai sekarang.
"Om nggak boong kan Om?" tanya Gita meragukan.
Jevi yang tadi sedang berdiri langsung mencari kursi. Dia butuh rileks mendengarkan keluh kesah kekasihnya tersebut. Beginilah susahnya menjalani hubungan jarak jauh jika salah satu pasangan mudah sekali terprovokasi omongan oleh pihak lainnya.
"Git, Gue nggak boong! Ya Tuhan, gue akan jelasin saat kita bertemu nanti. Sabar ya?" ucap Jevi dengan helaan napas teramat dalam sesudahnya.
"Kapan?"
Gita menggigit ujung kukunya, setelah hampir tiga minggu ini dia dan Jevi tak bertemu pandang, rasanya hanya pertemuan yang sangat dibutuhkan untuk menghalau semua kegalauan dan keresahan hatinya.
"Gue kabarin ntar ya Sayang, gue ada meeting bulanan sebentar lagi. Ntar gue hubungin lagi ya?"
Jevi segera mematikan telepon tersebut saat sekretarisnya menginstruksikan jika ruang meeting sudah dipersiapkan semuanya. Laki-laki itu dituntut harus bisa memisahkan antara kehidupan percintaannya dengan dunia pekerjaannya. Harinya di kantor masih setengah jalan Di sisi lain, Gita kesal dengan Jevi sejadi-jadinya karena membiarkan pertanyaannya menggantung begitu saja.
***
Alvaro melemparkan kerikil pada Gita yang terlihat gundah gulana berayun-ayun sendiri pada bangku taman. Anak kecil itu memang senang sekali melemparkan apapun untuk menarik perhatian. Tidak sopan sebenarnya, tapi Gita sebagai nanny-nya sudah terbiasa menerima perlakuan itu dan dengan tingkat pemakluman yang tinggi.
"Gita, ayo kita pulang. Tapi beliin dulu es krim ya di minimarket?"
Baru minggu kemaren Gita dimarahi ayah Alvaro karena membelikan bocah ingusan ini es krim coklat. Lagi-lagi Gita di posisi sulit untuk memutuskan, soalnya jika Alvaro tidak diikuti apa maunya dia bisa saja marah dengan meledak-ledak.
"Varo, beli roti coklat aja yuk, ada toko roti baru buka loh di sekitar sini, dijamin enak!" ucap Gita membujuk.
"Nggak mau, aku mau es krim. Aku mau es krim, nggak mau yang lain!"
Alvaro mulai menghentak-hentakkan kakinya untuk melampiaskan kemarahannya. Biasanya jika masih tak dituruti, anak ini akan misuh-misuh dan mencakar Gita dengan brutal, atau bisa juga dia berguling-guling di pasir untuk menarik perhatian orang-orang, agar Gita sebagai Nanny-nya dianggap tak becus dalam merawatnya.
"Tapi Varo musti minum dan makan yang banyak sama gosok gigi ya kalau Gita beliin es krim. Kalau Varo mau, Gita beliin dua sekaligus. Tapi jangan sampai ketahuan Ayah ya, dan jangan bilang kalau Gita yang beliin Varo es krim!"
Alvaro mulai luluh saat mendengar dua es krim yang akan dibelikan untuknya. Akhirnya bocah yang hampir tantrum itu menerima kesepakatan itu.
"Tiga ya Gita?"
"Esok satu lagi, Gita beliin asal makan dan minum yang banyak sama gosok gigi!"
Anak laki-laki itu menggenggam tangan Nannynya itu dan melonjak kegirangan. Uang jajan Alvaro yang dititipkan pada Gita akhirnya sebagian terpakai untuk jajanan terlarang. Gita sudah siap dengan resikonya asalkan anak kecil ini senang dan tak kembali menyerangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Storie d'amore"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...