Baru jam 12 malam Gita bisa naik kereta. Setelah lebih satu jam menunggu di stasiun. Tak banyak yang dia bawa, hanya satu tas ransel berisi dua pakaian ganti, ATM Jevi, beserta satu cincin tunangannya yang kini melekat di jari manisnya di sebelah kiri. Gita dudukkan tubuhnya di salah satu kursi pada gerbong kelas ekonomi. Dia akan berusaha tidur dengan nyaman malam ini. Sambil berharap agar adik-adiknya tidak mencari-cari, dan semoga dua orang itu bisa hidup cukup dalam dua hari dengan uang yang sudah Gita sediakan di laci lemari.
Deru kereta api sudah terdengar, peluit sudah ditiup, saatnya alat transportasi ini berjalan lagi. Ah, rasanya Jakarta akan menjadi tempat yang asing, setelah lebih dari setengah tahun tak Gita singgahi. Tapi demi anak ini, Gita akan berjuang sampai mati. Minimal Jevi harus mengetahui Gita hamil sehingga nanti Gita tak menduga-duga lagi apa ekspresi laki-laki itu untuk ke depannya. Semoga nanti Gita akan temukan sesuatu yang berbeda, laki-laki bajingan itu bersedia menikahinya meski dengan banyak resiko anak ini akan dibully karena masa lalu ayahnya. Namun tak mengapa, jika dibanding harus membebani majikannya yang sekarang untuk menanggung semua tanggung jawab yang harus mereka berdua emban. Gita tau jika Keenan teramat kasihan terhadapnya, dia tak mau jika mereka harus menikah tanpa cinta dan perasaan, tapi hanya dipaksa oleh keadaan.
***
"Jev, lu musti ke Belanda. Kalau si Andira itu berani buat visum atau cek DNA anaknya baru ntar lu pulang. Gue yakin manusia kayak gitu mah emang suka bikin kacau hidup lu aja. Ingat Jev, apapun yang terjadi, kalau tak ada laporan dari pihak yang dirugikan, lu jatohnya tetap aman. Lagian kalian ngelakuinnya atas suka sama suka kan? Jadi harusnya nggak ada masalah di hukum pidana!" ucap Yudi meyakinkan Jevi yang sepertinya ragu untuk terbang siang ini.
"Iya sih. Mami juga bilang gitu ke gue tadi malam. Tapi Mami gue kayaknya ngidam cucu deh, suka banget bilang anak Andira itu. Masa itu terus yang diulang-ulang. Nyebelin sih, lagian itu juga belum tentu anak gue. Jika wanita macam Andira dipercaya, maka rukun iman akan nambah satu. Tapi ya gitulah Mami. Nggak senang kalau hidupnya sepi. Tapi ya udah, gue jelasin mending kesepian dibandingkan berternak parasit. Dan lu tau apa kata Mami gue, dia ingin punya cucu. Andaikan itu anak bisa gue download lewat aplikasi, gue download dah, dibanding dengerin Mami ngomongin itu tiap hari."
Yudi tertawa saat mendengarkan penjelasan Jevi. Emang sepupunya ini ada lucu-lucunya meskipun image yang dia tunjukkan selalu metroseksual dan perfeksionis.
"Yowis, selamat berpindah negara ya Jev, lu kalau bingung bahasa mereka bisa pakai aplikasi. Tenang semuanya gampang. Gue yakin lu bisa melewati semuanya!"
Jevi perhatikan kembali bagasi-bagasinya pagi ini. Sebenarnya tak terlalu banyak, hanya ada dua koper dan satu tas ransel. Begitupun Tresna yang dulu ribet berpergian jarak jauh sekarang hanya membawa barang seperlunya agar tak terlalu repot. Lembaran baru akan segera dibuka. Semua rencana sudah tersusun rapi di benak dan siap untuk terlaksana.
"Aman, gue bakal survive di negeri orang. Muka gue kan menjual, ntar kalau tersesat pun tinggal deketin aja cewek-cewek bule yang lagak-lagaknya pengen sama gue. Gue yakin urusan gue akan dipermudah."
Yudi menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini menariknya sisi hidup Jevi, selalu senang membanggakan diri sendiri, padahal Yudi tau betapa uring-uringannya sepupunya itu menghadapi masalah ini.
"Gue yakin lah kalau urusan menaklukkan wanita itu keahlian elu. Tapi safe flight ya, kabarin ntar kami-kami ini kalau lu udah sampe. Ntar sopir lu udah gue suruh ke sini buat nganterin lu ke bandara. Lu dan Mami lu di mobil satu sama Azam, gue sama keluarga gue di mobil satunya lagi, ntar Avika dan Risna di mobil pribadi mereka. Gue mau nyuruh mereka siap-siap dulu kalau gitu!"
"Ok!"
***
Gita sampai juga ke tempat yang dia tuju saat senja hampir saja berakhir. Semburat jingga yang dihasilkan matahari yang belum sempurna tenggelam, menghiasi cakrawala di langit yang sebentar lagi temaram. Gita perhatikan suasana komplek ketika angkot menurunkannya di gerbang perumahan. Dia tarik napasnya, rasanya di sepanjang perjalanan banyak sekali kenangan nostalgia yang terbayang-bayang. Rasanya baru kemaren dia datang pertama kali ke Jakarta, dibawa Jevi dari kampung halaman naik kereta malam, rasanya baru kemaren dia mengabdi menjadi pembantu rumah tangga, rasanya baru kemaren dia pertama kali menyadari ada sensasi tersendiri ketika disentuh Jevi, rasanya baru kemaren, dia berdebat, bersenang-senang, bahkan saling mengulurkan tangan saat dia atau bapak anaknya ini kesusahan. Dan sekarang, semua kenangan itu ingin dia ulang. Dia berharap banyak ke calon ayah anaknya ini. Semoga nanti saat Jevi dia temui, hati pria itu bisa terbuka menerima kehamilan Gita dan bisa bertanggung jawab atas itu, meski artinya Gita harus siap-siap mencari perkara dengan wanita lain yang ngaku-ngaku hamil karena tunangannya tersebut.
***
Gita berhenti di depan rumah yang di pagarnya tertera tulisan besar-besar jika rumah itu dijual dan ada nomor yang yang bisa dihubungi jika berniat untuk membeli. Gita dekati gerbang rumah tersebut. Gita pencet berkali-kali bell yang melekat disitu. Sudah sepuluh menit, tapi pintu tak kunjung dibuka. Sepertinya rumah ini benar-benar tak berpenghuni, tampak sedikit gorden depannya terbuka agar rumah itu tetap terkena cahaya saat ditinggalkan pemilik lamanya itu.
Sebenarnya Gita teramat kecewa, sudah jauh-jauh ke Jakarta dia malah tak bertemu dengan tunangannya tersebut. Matanya sekarang berkaca-kaca, lima menit dia tambahkan waktunya menunggu. Dia turunkan ranselnya yang berat ke bawah agar punggungya tak terlalu terbebani dengan beratnya barang bawaan. Dia ambil secarik kertas di situ, lalu ditulisnya nomor yang tertera dan memasukkan kertas itu kembali ke dalam tas.
Sebuah mobil melintas lalu parkir tak jauh dari rumah Jevi. Gita merasa pernah melihat wanita yang sedang mengendarai mobil itu dan sekarang wanita itu turun dan menghampiri Gita yang masih mengingat-ingat sambil menatap matanya yang tak asing tersebut.
"Nyari Jevi ya Mbak?"
Gita mengangguk, suaranya sama persis dengan orang yang menyekapnya dulu.
"Andira ya?"
Wanita itu mengangkat bahu. Lalu tak lama dia berbicara.
"Siapa Andira? Saya calon istrinya Jevi, kenalin saya Nadia. Mbak ngapain ke sini?"
Calon istri? Ini siapa lagi yang ngaku-ngaku calon istri. Kenapa wanita di kehidupan Jevi yang pernah Gita temui, banyak sekali yang mengaku menjadi calon istri.
"Oh iya Mbak, saya dari kampung. Cuman ingin silaturahmi aja, dulu saya kerja di sini, jadi pembantunya Om Jevi!"
Andira tertawa dalam hati, bisa juga anak kampung ini berdusta. Lagian mana mungkin dia hanya silaturahmi ke sini, pasti lebih lah, minimal itu silaturahmi kelamin.
"Oh, saya disuruh buat jagain rumah ini sih, tapi saya cek dulu kunci rumahnya, ada nggak ya di mobil saya?"
Hati Gita teremuk, ternyata hubungan Jevi dan calon istrinya itu sudah sedekat itu. Benar, selama ini Gita dibohongi.
"Kalau Gitu saya permisi ya Mbak, kapan-kapan lagi kalau gitu saya kesini! Selamat sore!"
Gita berbalik pergi, air matanya kembali membasahi pipi. "Maaf Nak, di saat lahirmu nanti, ayahmu tak akan turut menyertai. Semoga kamu sehat sampai ibu bisa liat kamu nanti!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Romansa"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...