SEMUANYA SUDAH NIHIL

296 6 0
                                    

Hujan jatuh dari langit, lebat, turun begitu saja tanpa ada gerimis. Seperti ikut serta berduka dengan Gita yang sedang mengurai tangis. Gita coba meneduh untuk beberapa saat, berdiri dekat pos satpam penjaga portal. Lalu menunggu hujan berhenti dan nanti baru melanjutkan perjalanan panjang untuk balik ke kampung halaman.

"Eh Neng. Ketemu lagi, sekarang kerja di mana? Masih jadi asisten rumah tangga? Makin sehat aja nih Neng, gemukan gitu badannya sekarang. Makin makmur berarti ya?"

Seorang pria paruh baya keluar dari pos tersebut, menyapa Gita yang sedang berteduh. Wanita itu segera memaksakan bibirnya tersenyum lebar, lalu memberikan salam yang sopan.

"Eh Pak Rahmat, saya sekarang jadi pengasuh anak Pak di kampung. Bapak apa kabar?"

Pak Rahmat mesem-mesem tak jelas. Memang begitulah ciri khas laki-laki yang sudah lama menyandang status duda ini. Suka kegeeran kalau diperhatikan daun muda yang cantik. Padahal baru ditanya kabar doang, tapi sudah merasa melambung tinggi.

"Baik Bapak mah Neng, ngapain ke sini Neng? Ketemu Pak Jevi?" tanya Rahmat lagi.

Gita mengangguk, rasanya setiap nama itu disebut dia menjadi kram perut.

"Iya Pak, tapi rumahnya kok udah dijual. Om Jevi kemana?" tanya Gita dengan tingkat kepenasaran yang meletup-letup.

"Oh Pak Jevi, kan hari ini pindah ke Belanda Neng. Sejak Pak Jevi namanya jadi heboh, emang jarang di sini dia Neng. Lebih sering di rumah Maminya. Ya mungkin nenangin diri kali ya?"

Gita terpaku. Langitnya seperti akan segera runtuh. Semakin jauh jarak yang memisahkannya dan calon ayah dari bayi yang dikandungnya tersebut.

"Bapak boleh Gita pinjam HP-nya sebentar? Gita mau hubungin Om Jevi. Ntar Gita bayar pulsanya!"

Bapak-bapak itu segera memberikan telepon selularnya. Gita dengan sigap menerimanya dan mengeluarkan secarik kertas di dalam tas ranselnya. Jantung Gita berdegup-degup saat panggilan itu terhubung. Hujan semakin jatuh dengan deras, dia harap bisa mendengar suara Jevi saat ini dengan jelas.

"Halo selamat malam, apa yang bisa kami bantu?"

Ternyata bukan, itu bukanlah nomor Jevi yang baru. Sepertinya tuan muda itu memakai jasa tangan ketiga untuk menjual properti yang dia punya.

"Halo Mbak, selamat malam! Ini bukan dari Pak Jevi ya Mbak yang jual rumah di komplek Auri?" tanya Gita ragu.

"Maaf Ibu. Kita hanya sebagai penjual saja untuk menjual properti yang ditunjuk klien."

Gita mengerti. Lalu tak lama dia menutup panggilan itu dengan sopan. Sekarang rasanya dia jatuh dari ketinggian sehingga menjadi berkeping-keping.

"Pak Makasih ya, ini saya bayar," ucap Gita menyodorkan telepon selular Pak Rahmat tersebut.

"Alah Neng, nggak usah dibayar, kayak saya penjaga wartel aja deh ah. Dulu kan Neng sering nyapa saya kalau pulang kampus, anggap aja itu sebagai silaturahmi sesama teman. Eh Neng, nomor HP nya berapa sekarang?"

Gita menggeleng sekaligus terharu. Di hatinya yang gusar ternyata masih ada nikmat Tuhan memberikan penghiburan.

"Saya nggak ada HP pak. Kemaren HP saya habis diambil orang. Jadi belum beli lagi. Ntar kapan-kapanlah saya beli."

Pak Rahmat menjadi sendu. Rasanya sedih mendengar musibah itu, meskipun wanita cantik ini hanya kehilangan telepon selularnya.

"Oalah, yang tabah ya Neng, terus Neng mau kemana sekarang? Balik lagi ke kampung?"

"Iya Pak. Bapak ada nomornya Om Jevi nggak?"

Bapak-bapak itu segera memberikan hpnya lagi. Gita disuruh menghubungi.

"Nomor yang anda tuju tidak terdaftar!"

Pesan operator itu membuat hati Gita sendu. Lalu dia segera menggeleng dan memberikan HP itu kembali ke Pak Rahmat.

"Kalau Pak Nugraha ada nggak Pak?"

"Neng nggak tau ya kalau Pak Nugraha sudah meninggal dari beberapa bulan yang lalu. Beberapa hari sebelum Pak Jevi menikah dengan pengantinnya yang kabur itu, Pak Nugraha meninggal karena serangan jantung mendadak. Ya kasihan sih ya, Pak Jevi itu bukan jatuh tertimpa tangga lagi namanya, tapi sudah jatuh tertimpa tangga, tersiram cat, terpeleset saat mencoba berdiri tegak. Kemaren kasusnya nambah karena ada perempuan yang ngaku-ngaku hamil itu, mungkin akhirnya wanita itu juga ikut serta ke Belanda. Emang Neng Gita nggak ngikutin kasusnya?"

Gita menjadi sangat simpati sekaligus benci. Ternyata hidup tunangannya itu sungguh tragis, berarti wanita yang tadi dia temui juga punya masalah yang sama dengan Jevi.

"Saya nggak kepo sampai segitunya Pak, seperlunya saja. Saya cuman ingin bersilaturahmi ke sini karena Om Jevi gimanapun juga pernah jadi mantan majikan saya. Dan kebetulan juga saya libur, jadi ya nyempat-nyempatin lah!" dusta Gita.

Pak Rahmat mengangguk. Lalu tak lama ada taksi kosong yang masuk ke komplek. Gita memutuskan menyetopnya setelah mengucapkan salam perpisahan ke Pak rahmat dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Saatnya berdamai dengan pupusnya harapan, anak ini akan dilahirkan tanpa sosok ayah yang seharusnya ada saat dekapan pertama.

***

Air mata itu sudah seharusnya kering, tapi tak semudah itu karena dia selalu menjadi mata air abadi. Gita kusut, lelah, kecewa, dan menunggu kereta yang akan berangkat lagi malam ini pukul setengah sembilan nanti. Di tangannya terdapat roti, di sampingnya ada segelas air mineral, dia makan malam dengan harapan yang sudah pupus dan sekarang harus menerima nasibnya tragis. Stasiun ini tak terlalu sesak, lagian untuk kereta jauh, di hari kerja seperti ini peminatnya tak banyak. Dan Gita pasti kebagian bangku meskipun membeli tiket secara offline di stasiun.

Tak lama, wanita itu masuk ke gerbong setelah kereta datang tak lama. Dia cari tempat duduknya dengan tiket kereta yang tergenggam di tangannya. Dia pangku tasnya dan mengedarkan pandangan. Rotinya masih tersisa sedikit, dia paksa memakannya meski sudah cukup kenyang. Dia tak ingin anaknya kekurangan nutrisi dalam perutnya. Gita tau anak ini di jam-jam segini, pasti suka dikasih lolipop strawberry yang sudah Gita stok banyak di kamarnya. Namun mau bagaimana lagi, semoga ngidamnya tak menjadi-jadi. Gita lupa membawa makanan itu dari laci.

Gita pejamkan mata, lalu tak lama suara kereta api menderu nyaring. Gita tak bisa terlelap, tapi di otaknya kini ada semacam rancangan, mau kemana dia jika kandungannya ini semakin membesar. Apa dia akan mengasingkan diri ke suatu tempat yang jauh sampai melahirkan nanti, mengingat Gita punya ATM Jevi yang nominalnya sangat fantastis. Apa Gita harus jual cincin pertunangan yang harganya mahal ini untuk membesarkan anaknya? Rasanya boleh juga, karena bagaimanapun laki-laki yang memberikan semuanya juga ikut serta menjadi orang tua meski tak berperan aktif. Gita ingin kembali menata, memulai hidupnya yang baru, sampai nanti setelah fisiknya kembali stabil dan anak ini lahir, dia akan bekerja kembali dan menghidupi keluarga kecilnya yang tak lengkap dan sempurna.

Dalam mata yang terpejam, lagi-lagi air matanya menitik, malam ini dingin, dingin sekali.

Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang