Sudah tak terasa, minggu demi minggu berlalu, sekarang usia kehamilan Gita sudah 18 minggu. Gita coret tanggal pada agendanya, lalu dia hitung-hitung kapan bayi ini akan dilahirkan. Antara antusias dan ketakutan bercampur dalam satu kesatuan. Apalagi sampai sekarang, Gita belum bersiap-siap mencari daerah yang tepat untuk mereka pindah nanti.
"Kak, Amri mau bicara!"
Amri tiba-tiba mendorong pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Gita reflek memasukkan agenda itu kembali pada tasnya.
"Iya Ri, kenapa ya!"
Muka Amri langsung berubah seperti akan menghakimi. Matanya sudah merah dan menatap ke arah Gita setajam belati.
"Kak, kakak jujur deh, kakak hamil kan? Bukan sembelit aja? Amri ini punya mata kak, perut kakak itu membesar, bukan karena gendut itu mah!"
Gita menahan napasnya. Dia masih tak siap ditodong pertanyaan seperti itu.
"Nggak Ri, kakak nggak hamil!"
"Buka lemari Kakak sekarang! Dua bulan yang lalu Amri sengaja masukin tambahan pembalut ke dalam sana dan Amri hitung jumlahnya masih sama sampai sekarang. Apa mungkin Kakak nggak datang bulan dalam dua bulan ini? Atau Kakak nggak pernah ganti pembalut selama ini?"
Amri berteriak tapi untung saja Cika tak terbangun dari terlelap. Sudah jam 11 malam tapi remaja laki-laki ini masih punya tenaga ekstra untuk berteriak selantang itu.
"Kak jawab Amri, Kakak hamil atau tidak?"
Amri menaikkan suara teriakannya menjadi lebih keras. Gita menjadi terintimidasi.
"Nggak, kan datang bulan kakak tidak teratur. Kakak cuman lebih berisi saja badannya sekarang Ri, makanya perut Kakak keliatan buncit!"
Amri sesak napas dengan semua usaha Gita yang terus berdusta.
"Tes pakai ini, buruan kakak sekarang ke kamar mandi! Ntar cawannya Amri sediain!"
Tangan Gita gemetaran saat menerima alat tes kehamilan tersebut. Napasnya sudah kalang kabut.
"Kok Kakak takut, takut ketahuan ya?"
"Nggak!"
"Buruan Amri tunggu di depan kamar mandi!"
Gita menghempaskan testpack itu ke bawah lantai. Sudah tak ada yang mampu dia sembunyikan. Dia tak akan bisa mengelak degan cara apapun lagi. Mengecek dengan testpack itu hanya buang-buang waktu.
"Iya, kakak hamil!" ucap Gita singkat dengan jantung yang berdegup kencang.
"Murahan, siapa ayahnya Kak, laki-laki bajingan itu kan yang jadi ayahnya?"
Amri memukul dinding papan rumah ini. Jika Gita jujur, pasti Amri bisa saja nyari keributan di Jakarta.
"Bukan dia!"
"Kakak berhubungan dengan siapa aja sih? Kenapa bisa semurah ini? Kakak emang mental-mental wanita simpanan ya? Sampai pikiran kakak rusak dan menginginkan berhubungan dengan banyak laki-laki!"
Pak! Satu tamparan Gita alamatkan ke pipi Amri, adik laki-laki itu langsung tersentak dan tak percaya. Baru kali ini Gita berani main fisik sampai seperti ini.
"Jaga ya ucapan kamu Ri, kakak tak semurah itu!"
"Terus anak siapa itu? Anak siapa? Emang kakak dicabuli saat pulang malam-malam sama bapak-bapak pos ronda, enggak kan? Siapa kak?" teriak Amri semakin keras.
"Pak Keenan, ini anak Pak Keenan."
Ntah dari mana Gita dapat kalimat itu, tapi Amri sepertinya percaya dan langsung mundur dari perdebatan itu.
***
"Gita kamu menutupi perutmu dengan korset itu? Emang kamu kena masalah di otot punggun? Ntar sirkulasi darah anakmu terganggu loh!"
Keenan tiba-tiba muncul mendorong pintu yang ternyata tidak rapat. Korset yang ingin Gita balutkan ke tubuhnya tersebut jadi terjatuh ke lantai. Dan wanita itu segera mungkin menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Gita, kamu mau nyakitin bayi kamu dengan pakai korset seketat ini?"
Muka Gita memucat saat menatap mata Keenan yang sudah membulat. Dia sekarang gemetaran terlebih saat Keenan membuang korset tersebut ke tong sampah.
"Apa lagi sekarang Gita? Kamu nggak yakin mempertahankan dia? Saya nggak habis pikir kenapa kamu jadi penjahat seperti ini!"
Gita tergugu ketika melihat Keenan sampai marah-marah seperti itu. Rasanya hatinya hancur, tapi sekarang dia harus jujur.
"Amri sudah tau tentang kehamilan saya Pak, dia sengaja menjebak saya dua bulan ini dengan meletakkan pembalut di dalam lemari. Dan kemaren dia serang saya karena perut saya membesar waktu ke waktu dan menyuruh saya pakai testpack dan saya akhirnya mengaku hamil!"
Keenan mengembuskan napasnya frustasi. Bertambah kompleks masalah ini.
"Terus buat apa kamu pakai korset itu, buat apa? Kan dia udah tau semua!"
"Dia nggak mau warga sekitar tau kalau saya hamil Pak, jadi dia kasih korset ibu saya ke saya tadi pagi. Karena jam kerja saya sudah berakhir, saya terpaksa pakai karena saya mau pulang ke rumah!"
Keenan pening, sepertinya tekanan darahnya kembali naik, dia tinggalkan Gita di ruangan pembantu. Dia langsung masuk kamarnya untuk meminum Captropil, dia merasa semuanya terlalu kacau untuk dihadapi.
Tok tok tok
"Masuk!"
Gita mendorong knop pintu. Keenan tau wanita itu kembali memakai benda itu di perutnya agar tak kelihatan membuncit. Wanita ini terlalu keras kepala waktu diperingatkan akan sesuatu.
"Gita, kamu tau bagaimana istri saya dulu mendapatkan anak? Delapan tahun kami harus menunggu, berobat ke sana ke mari tiap minggu, bahkan waktu bayi tabung pun kami sampai gagal dua kali. Buka benda itu, buka sekarang Gita!"
Keenan memang punya kebencian yang berlebihan pada wanita yang berusaha menyakiti kandungannya sendiri. Kebencian itu sangat menggebu-gebu ketika dia ingat perjuangan istrinya dulu yang bersusah payah demi mendapatkan seorang bayi.
"Saya tak ingin masyarakat tau Pak, kalau saya hamil. Nanti saya diusir dari kampung. Adik-adik saya malu. Saya harus bagaimana?"
Keenan padahal sudah menawarkan solusi terhadap wanita ini. Namun Gita tetap berkeras hati, sehingga solusi tersebut tak dia terima sama sekali.
"Buka korset itu Gita. Buka!"
Gita masih terisak sampai napasnya sesak. Keenan maju lalu menghampiri wanita tersebut dengan secepatnya. Dia lepaskan satu demi satu kancing seragam Gita yang kebesaran. Gita sempat menahan tangan laki-laki itu tapi tak bisa. Bagian perut seragam itu sudah terbuka sempurna.
"Pak, jangan!"
Keenan tak akan mundur walaupun Gita sekarang terlihat memberontak. Dia lepaskan pengait dari perut pengasuh anaknya tersebut. Dia perhatikan perut Gita yang sudah membuncit. Dia cium dengan haru dalam posisi berlutut.
"Maafkan Bundamu ya Nak, dia khilaf, besok Ayah akan marahi jika dia menyakitimu lagi. Baik-baik di dalam ya sayang. Ayah sayang kamu!"
Gita benar-benar terenyuh. Mulutnya kini terkatup rapat-rapat. Laki-laki di depannya ini seperti malaikat penyelamat, Gita semakin tergugu, dia jangkau Keenan yang berlutut. Dia peluk laki-laki itu dengan teramat erat.
"Maaf Pak, Gita salah!"
Hanya kalimat itu yang bisa dia utarakan lalu bibir Keenan sudah mengecup bibir Gita sesaat, dan hati Gita sudah mencoba menerima kehadiran Keenan lebih dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Romance"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...