Basagita baru bisa menghempaskan dirinya di kasur kapuk, setelah lebih dari satu setengah hari dia menghabiskan waktunya untuk beristirahat di kursi penumpang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam, sudah dini hari hitungannya. Kini lelah mendera badan Gita, pegal sampai sendi-sendinya, tapi dia tiba-tiba teringat satu hal ketika hendak memejamkan mata.
Ah, majikannya tersebut yang tadi dia janjikan akan segera mengabarkan sesaat setelah sampai ke rumah, tapi sayang Gita lupa karena tadi langsung mengantarkan neneknya berobat ke rumah sakit daerah.
Neneknya itu sudah sepuh, penyakit tuanya banyak; hipertensi, asam urat, sampai lemah jantungpun ada. Di usianya yang senja yang hampir menginjak 85, dia sebenarnya masih digolongkan kuat, menyapu dan membersihkan rumah, berkebun, bahkan membersihkan kuburanpun, dia masih bisa, tapi ya begitulah, ada saatnya dia tak kuasa dan harus berdiam diri di kasurnya jika penyakit itu kembali kambuh secara tiba-tiba.
Basagita ambil telepon selularnya di atas meja, dia mulai menyentuh-nyentuh touchscreennya dan mencari kontak Jevi di WA, tapi dia dilanda kebingungan untuk meneleponnya, karena mungkin saja pria itu sudah terlelap di ranjangnya. Sudah tengah malam soalnya.
Baiklah pesan singkat saja yang akan dia kirimkan untuk mengabarkan Jevi jika dia lupa, biar besok hari tak diserang jika tuan muda itu teringat jika Gita pernah berjanji padanya.
Gita : Om sorry, Gita lupa hubungin Om tadi, soalnya Gita harus nganterin Nenek berobat dulu ke rumah sakit.
Sukses terkirim, ceklis dua, tapi tak kunjung dibaca. Kesimpulannya, ya berarti tuan muda itu sedang mendengkur di ranjangnya.
Gita pejamkan matanya di rumah berdinding papan ini. Kasurnya memang tak ada empuk-empuknya, udara panas juga melingkupi ruangan, belum lagi nyamuk-nyamuk raksasa yang bertebangan kesana kemari yang sepertinya sudah tak ampuh diusir oleh obat nyamuk yang dibelinya di warung tadi.
Kamar pembantu di rumah Jevi di Ibukota tentu saja ratusan kali lebih bagus dibandingkan kediamannya ini. Sejak Ibunya sakit dulu memang banyak harta banyak yang terjual, rumah permanen sebagai tempat dia menghabiskan masa kecilnya juga digadaikan untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolah, tinggallah rumah semi permanen yang atapnya sering terbang, pasaknya sering bergoyang, jika badai dari lautan sedang menyerang.
Hanya dua kamar kecil-kecil untuk satu keluarga. Cika dan Amri tidur di ruang depan seperti kebiasaan mereka berdua. Kata mereka sih lebih nyaman, tetapi alasan sebenarnya adalah adik-adiknya itu trauma menyaksikan Ibu mereka sakratul maut di tempat yang Gita tiduri ini.
Gita pejamkan matanya, mimpi menjemputnya dalam keheningan malam, dan segala ketidaknyamanan yang kembali dia rasakan dapat larut dalam semua respon biologis tubuhnya yang menandakan jika dia benar-benar dalam kelelahan maksimal.
---
Sebelum subuh, masih jam 4 pagi, tubuh Gita digoyang-goyang oleh Cika yang sepertinya tak sabar dengan berita yang akan dia sampaikan. Gita awalnya susah sekali terjaga karena energinya belum pulih seutuhnya, tapi tak lama, adik bungsunya itu berinsiatif menjewer telinganya sehingga dengan cepat gadis itu langsung membuka mata.
"Kak, Nenek nggak bisa dibangunin buat tahajud, Nenek meninggal nggak ya?"
Gita langsung melompat dari kasur dan berlari ke luar kamar. Cika mengikutinya dari belakang, dan sekarang mereka berdua sudah berada di ruangan tempat Nenek mereka berbaring di ranjang.
Gita cek denyut nadi Neneknya itu, syukurlah masih ada. Tapi sepertinya jantung wanita tua ini kembali lemah sehingga dia pingsan.
Gita suruh Amri memanggil beberapa orang yang ronda untuk minta pertolongan, semoga saja Neneknya ini bisa dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan dengan segera.
Panik, tetapi dapat diatasi dengan cepat. Untung saja ada mobil yang bisa dipinjamkan oleh salah satu warga, dan sekarang mereka bertiga sudah berada di ruangan UGD rumah sakit tersebut. Dan ketiganya berdoa agar Nenek mereka masih bisa diselamatkan.
---
Jevi baru membuka pesan singkat Gita yang dikirimkan lewat Wa saat jam makan siang. Pesan itu memang tertimbun dengan pesan-pesan yang lain yang datangnya belakangan.
Jevi : Kalau ada biaya ekstra lu bilang aja, gue pasti transfer.
Gita segera menanggapi pesan tersebut, karena handphone lagi ada di genggamannya.
Gita : Nggak masalah Om, ada jaminan kesehatan dari pemerintah daerah untuk Nenek Gita. Insyaallah nggak keluar biaya sama sekali selama di rumah sakit ini.
Tinggi sekali ternyata harga diri pembantunya ini. Lagian Jevi tau persis keadaan tempat tinggal beserta bagaimana kesusahannya hidup gadis itu di kampung halaman. Dulu saat menjemput Gita di situ, dia pun tak tega sebenarnya hanya mengangkut Gita seorang diri. Dia bersedia menampung satu keluarga yang masih tersisa itu, tapi apa daya Neneknya keberatan diajak ke kota. Wanita tua itu ingin tiap pagi membersihkan makam suami dan anaknya yang sudah berpulang duluan, sembari menunggu waktunya dipanggil yang kuasa dan tanah melebur jasadnya.
Jevi panggil Gita sebelum dia menghabiskan semua makan siangnya. Segera diangkat oleh wanita tersebut untungnya. Sekarang terdengar suara serak diiringi oleh kebisingan orang yang berlalu lalang di rumah sakit tersebut.
"Halo Git?"
Jevi sedikit meninggikan nada suaranya, agar Gita dapat dengan jelas mendengarkannya.
"Halo Om Jev, ada apa?"
"Ntar lagi gue kirim uang ke rekening lu. Jangan lupa lu beliin segala perlengkapan adik-adik lu, Nenek lu, dan tolong makan makanan yang bergizi biar kalian sehat semua."
Ah, isu sangat sensitif jika menyangkut segala masalah perduitan. Gita sebenarnya tak mau berhutang terlalu banyak dengan majikannya tersebut.
"Om, Gita nggak mau ngutang lagi, udah ya Om, Gita usahain bayar yang lama dulu!"
"Yang bilang ngutang siapa? Gue ngasihnya cuma-cuma, jangan banyak komplain deh elu, sekarang tugas lu pastikan mereka semua dalam keadaan baik-baik saja."
Gita menahan napasnya. Rasa agak tidak enakkan pada majikannya tersebut segera menyelimutinya di antara perasaan curiga yang sudah mengacaukan isi kepala.
"Om nggak nyuruh Gita buat kecup bibir Om lagi kan?" Gita pelankan suaranya agar tak didengar oleh lalu lalang orang di sekitar bangsal.
Laki-laki itu kembali memastikan apa yang barusan di dengarnya.
"Apa Git? kecupan?"
Gita malu sendiri, mukanya segera merona merah muda. Jika diingat lagi terlebih saat berada di kolam renang itu, alangkah memalukan sebenarnya. Saat itu dunia terasa milik berdua, meskipun Gita melakukan tanpa cinta, tapi respon tubuhnya seolah-olah menandakan jika dia menginginkan Jevi seutuhnya. Satu jam mereka di kolam renang, melakukannya tak hanya tiga menit sesuai perjanjian, tapi berkali-kali bahkan dibawa bercandaan. Berpelukan, saling berdekapan, dan diakhiri dengan saling melumat. Rasanya Gita mulai terbiasa dengan bibirnya dijamah meski tanpa perasaan. Diapun tak bisa menerjemahkan apakah itu suara bentuk perilaku murahan atau memang hasratnya saja yang terlalu menginginkan pagutan bibir hangat dari majikannya tersebut.
"Ah, nggak usah kirim deh Om, intinya Gita nggak mau hutang budi sama Om."
"Santai aja kali Git, gue setelah melihat apa kebutuhan biologis lu dan gue sadar nafsu lh besar juga, jadinya pasrah-pasrah aja lu mau apain gue juga. Asal ya, jangan lu minta gue merawani lu, karena gue akan mundur duluan. Jangan ..."
Tut Tut Tut
Gita segera mengakhiri panggilan Jevi tersebut. Gabut amat majikannya itu menyebut-nyebut semua yang sudah berlalu. Tapi di sisi lain, jantung Gita sudah terasa cenat-cenut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Romance"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...