Dua orang itu sekarang tampil berbeda. Iya, lain dari pakaian biasa yang mereka gunakan saat berangkat ke kampus dan nongkrong di kafe. Azhar memakai pakaian dengan tema denim, jeans panjang dipadukan dengan jaket jeans dengan lapisan kaos polos di dalamnya. Sedangkan Gita memakai dress floral selutut dengan lengannya yang sampai siku.
Mereka bertemu di depan rumah tempat Gita mengabdikan diri. Azhar juga menjemput gita dengan mobil yang tergolong mewah. Ya, walaupun itu kepunyaan Ayahnya, tapi kendaraan itu sengaja dipinjamkan Husein agar proses perkenalan antara anaknya dan Gita dapat berjalan dengan lancar tanpa harus terkendala pada masalah transportasi. Lagian hari juga sudah malam, sehingga rawan jika mereka nanti pulang terlalu larut.
Satu kalimat yang menggambarkan Gita saat ini untuk Azhar yang sedang fokus menyetir adalah sosok malaikat yang turun ke bumi yang kehilangan kedua sayapnya sehingga tak bisa lagi naik ke langit. Iya, wanita yang sedang menyatukan tangannya kiri dan kanan karena salah tingkah itu benar-benar sosok nyata dari Bidadari. Menurut Azhar, Gita cantik sekali, kelakuan gadis itu juga baik, dan tentunya dapat membuat Azhar susah sekali berkedip saat tak sengaja menatap matanya lebih dari lima detik. Kini mereka berdua diam seribu bahasa, bingung menyusun kalimat terbaik apa yang bisa mereka sampaikan saat sekarang ini juga.
"Ehem, Git kamu udah makan?" Azhar merasakan mulut dan tenggokannya kering, karena sedari tadi otaknya terlalu banyak bermonog, tapi kata-kata masih terlalu sedikit keluar dari mulutnya.
"Kan tadi kita di rumah masing-masing, kita udah makan dulu Har!"
Begini ternyata rasanya saat banyak kata-kata yang sebenarnya tersusun di otak, tapi mental tak terlalu kuat untuk menyampaikannya. Akibatnya, pertanyaan yang tak penting dan sudah diketahui jawabannya jadi ditanyakan berulang-ulang.
"Maaf ya Git, aku tadi lupa!"
Gita mengangguk, lalu kembali menatap ke arah jalan raya yang cukup padat merayap.
"Hmmm, kamu tadi di rumah ngapain aja Git?" tanya Azhar dengan suara yang bergetar.
"Aku habis les, pulang ke rumah, mandi, makan, shalat, bersih-bersih sedikit, habis itu jalan bareng kamu."
Azhar sebenarnya sudah tau, tapi di otaknya itu sudah mulai berantakan tema pembicaraan yang akan dia tanyakan. Lidahnya kelu sehingga pembicaraannya terlalu kaku.
"Oh iya," Itu adalah kalimat terakhirnya sampai dia memarkirkan kendaraan dan mengajak Gita keluar untuk berjalan ke arah pasar malam.
***
Pasar malam ini cantik karena dihiasi oleh lampu-lampu beraneka warna yang bercahaya diantara malam yang semakin gelap menggulita. Sepasang muda mudi berjalan di antara kerumunan orang-orang yang menyesaki pasar malam ini dengan langkah yang tidak beriringan. Gita selalu berjalan di depan Azhar agar gadis itu bisa dipastikan selalu aman dari siapa-siapa yang berniat jahat terhadapnya. Belum ada kontak fisik yang terjadi di antara mereka berdua hari ini, bahkan menyentuh sedikitpun Azhar tak berani. Jangankan menyentuh, menatap Gita lebih dari 5 detik saja Azhar merasa jantungnya sudah tak bisa diajak berkompromi.
"Git, kamu mau naik bianglala?"
Azhar sepertinya tau sekali dengan kesukaan Gita. Dia seolah-olah peka dengan pertanda kenapa gadis itu berhenti sebentar untuk melihat-lihat saat berada di wahana tersebut.
Gita menoleh ke arah Azhar di belakang, lalu mengangguk mengiyakan. Dan mereka akhirnya memesan dua tiket buat naik wahana tersebut. Dan sekarang dua orang itu antri untuk menunggu putarannya berhenti.
Berdua di ruang kecil yang bernama kabin penumpang itu, membuat dua-duanya kembali diam seribu bahasa. Gita yang selama ini lebih aktif berbicara sekarang membisu dan suka buang muka. Azhar apalagi, di 2 menit pertama kincir bianglala berputar tak ada satupun kata darinya yang terdengar, rasanya dia sudah tenggelam dalam gelombang cinta sebelum bisa memainkan ombaknya dan berselancar di atas sana.
"Itu kampus kita nggak sih Har?"
Gita yang dari tadi diam, akhirnya bersuara saat bianglala tersebut berhenti berputar tepat saat kabin mereka berada dipuncak tertinggi. Azhar seketika itu juga melihat ke arah tempat yang ditunjukkan oleh orang yang dicintainya itu.
"Iya ya Git, jadi keliatan jelas di sini, soalnya kan jaraknya juga dekat dari sini!"
Gita tersenyum, Azharpun begitu.
"Git, kamu sesuka apa sama bianglala?"
Mata Gita berubah antusias, netra yang malu-malu tadi sekarang seperti mengeluarkan percikan api karena ada gesekan dari kerja otaknya yang tiba-tiba cepat dalam merambat.
"Suka banget, kamu tau nggak sih Har, bianglala menunjukkan kalau kehidupan itu ada perputarannya, kadang di bawah kadang di atas. Aku percaya tak ada di dunia ini kebahagian ini yang sampai terlalu meletup-letup, maupun sedih yang sampai terlalu berdarah-darah. Semua itu ada gilirannya. Ya saat kita di atas, coba ingatlah ketika kita nanti punya giliran di bawah, begitupun sebaliknya."
Gita mulai luwes dalam mengucapkan semua yang ada di otaknya. Mungkin materi ini yang pantas untuk dua orang kaku yang berkencan di pasar malam.
"Good, bagus juga filosofi kehidupan kamu dari biang lala," puji Azhar pada gadis yang duduk di depannya itu.
"Kalau kamu apa Har?" tanya Gita pada lelaki tersebut dengan tingkat penasaran yang tinggi.
"Sebenarnya aku hanya suka berada di atas kayak gini Git, soalnya aku tipe pemilih masalah yang harus aku hadapi. Semua masalah aku liat dulu dari tempat yang paling tinggi sehingga semuanya kelihatan, lalu baru aku pilih deh mau ngerjainnya dari yang mana duluan. Ya aku kurang sistematis sih orangnya," beber Azhar.
Gita mengangguk saat bianglala kembali berjalan. Mereka berdua sekarang menjadi terombang ambing saat kabinnya turun dan mendaki. Gita bertanya satu hal yang menyesaki pikirannya selama ini.
"Har, kalau suatu saat kita ada masalah, kamu bakal gimana ke aku Har? tanya Gita penasaran.
"Masalahnya seperti apa Git?"
"Apa saja!"
"Tergantung, tapi aku bisa nerima semuanya Git, kecuali satu yakni ada orang ketiga di antara kita berdua, dan kamu mengkhianati kepercayaan aku!"
Tatapan Azhar mulai serius dan di setiap kalimatnya tersebut ada penekanan yang kuat.
"Kenapa kamu nggak mau maafin kalau ada orang ketiga Har?"
"Aku menganggap cinta itu masalah komitmen Git, jadi kalau seseorang wanita atau pria sudah berkomitmen maka itu artinya dia sudah siap melepaskan semua rasa kepanasarannya, ingin dicintai laki-laki atau wanita lainnya, ataupun bermain-main dengan kehidupannya. Jadi menurut aku ya, kamu musti bisa seperti itu Git, tapi aku akan berusaha menjadi seperti yang kamu minta kok. Tenang saja, aku sadar resiko nikah muda itu banyak, salah satunya masih labil dalam menghadapi masalah dan rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap kehidupan yang bebas di luar. Tapi kita lewati sama-sama ya Git?"
Tepat dua putaran buat Azhar menyelesaikan kalimatnya yang membuat Gita sedikit tersentil. Menikah benar-benar bukanlah sesederhana yang Gita pikirkan, karena di umur segini masih banyak daya tarik dari dunia luar yang senantiasa mengundang untuk didekati dan dijelajahi.
"Maaf ya Git, aku memang orangnya pencemburu. Bahkan saat kamu bilang dulu almarhum Fares pernah dekatin kamu aja aku cemburu. Bahkan ke Om kamu aja aku juga cemburu karena kalian dekat meskipun tak ada pertalian darah. Aku sempat bertanya sama Ayahku kenapa kamu dekat dengan dia bertepatan saat kasus Sugar Babu itu merebak, kata ayahku karena dulu Mbak Sumi juga begitu sama Om Jevi. Aku sekarang mengerti kalau itu menyangkut masalah hutang budi."
Bibir Gita terangkat sedikit, pembicaraan ini seperti warning untuk Gita agar tak lagi bermain-main fisik dengan Jevi. Apa jadinya jika Azhar tau semua yang mereka lakukan selama ini, bisa batal rencana pernikahan ini.
"Turun yuk Git, udah habis waktu kita, ayo ke tempat lainnya sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Storie d'amore"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...