Gita berdiri di depan ATM dengan kebingungan, satu kartu dari plastik digenggamnya kuat-kuat. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu kaca menunggu seseorang keluar dari sana dan selesai bertransaksi elektronik.
Gita masih berusaha menghalau pikirannya berkecamuk, rencananya yang tak akan memakai uang pemberian Jevi sepertinya tak akan terlaksana, menjadi pengasuh anak pria blasteran itu Gita baru dibayar di akhir bulan sehingga beberapa hari ini dapurnya jarang mengepul. Kalau bukan uang Amri yang didapat dari upah mengajar mengaji, maka mereka tak akan makan sama sekali. Lima belas ribu sehari, 5 hari seminggu, cukup membuat mereka bertiga harus mengencangkan ikat pinggang untuk menahan lapar dan berdamai dengan segala keinginan yang tak akan terpenuhi.
Gaji Gita memang lumayan di tempat kerjanya sekarang, tapi upahnya tak mungkin dibayar harian. Selama bekerja menjadi tukang cuci piring di kedai nasi, Gita juga tak punya banyak tabungan, bahkan jumlahnya kurang dari ratus ribuan, sisa uang terakhir itu sudah beberapa hari yang lalu habis, dan malam ini Cika butuh membeli buku untuk ujian tengah semester nanti, satu-satunya harapan ya kartu sakti yang bernilai 50 juta ini, yang beberapa minggu yang lalu dipaksa Jevi untuk Gita kantongi.
Ah, sebentar saja sebenarnya. Saat masuk ke ruangan yang berbentuk persegi itu, Gita segera mengambil uang 300 ribu tak kurang dan tak lebih. Tapi hatinya gelisah dan merasa bersalah. Dia seperti mengingkari komitmennya sendiri.
Tak lama telepon selularnya berbunyi, panggilan dari Jevi. Sepertinya laki-laki itu tau jejak penarikan kartu ATM Gita dari pemberitahuan bank yang baru masuk ke HP-nya.
"Halo sayang, kok ngambilnya cuman 300 ribu aja? Berjuta-juta kek. Gue nggak mau lu kurus dan tak terurus loh ya kalau kita ketemu nanti!"
Gita langkahkan kakinya menjauh dari ATM itu, lalu siap menjelaskan ke Jevi apa alasannya menggunakan uang itu.
"Om, Gita pinjam duitnya ya, Gita belum gajian dan Cika butuh uang untuk ujian mid semester. Iya ya Om?"
"Git, uang itu hak lu, jangan sungkan mulu kenapa sih. Gue kalau ngedengar lu hidup susah juga nggak enak hati kali. Bukan apa-apa, gue ingin bahagiain lu dengan semuanya, tapi sekarang cuman materi yang bisa gue kasih karena gue jauh —" ucap Jevi dengan semangat tapi dipotong oleh Gita.
"Udah Om, jangan berdebat mulu kenapa sih. Gita ini di jalan pulang. Gita matiin ya Om, takut ntar malah ketabrak mobil. Udah ya Om. Ntar Gita sms Om waktu Gita di kamar ya?"
"Ya udah! See you sayang!"
Panggilan terputus. Gita berjalan terus, sampai hujan lebat memaksanya berteduh di emperen toko. Rumahnya masih jauh lagi, kira-kira lebih satu kilometer dari sini.
"Dari mana, Git?"
Satu suara berasal tak jauh dari tempat Gita berada. Seseorang lelaki berdiri di sudut luar toko beserta para peneduh lainnya.
"Saya dari ATM dekat sini Pak!"
Gita lalu menundukkan wajahnya, darahnya tersirap, orang yang ditakutinya setiap hari sekarang berada di dekatnya.
"Emang kamu ada uang? Kan kamu belum saja gaji bulan ini?"
Laki-laki itu menghampiri Gita dan menerobos beberapa orang yang sedang berteduh. Gita ketakutan seperti sedang dihampiri malaikat maut.
"Saya pinjam uang dari ... Dari teman saya Pak!"
Keenan yang memakai pakaian serba hitam sepertinya meragukan. Gita menggenggam kuat tangannya sendiri agar ketakutannya dapat diredam.
"Nyuri?"
Apa lagi ini Tuhan, kenapa laki-laki ini sekalipun tak pernah cari damai, dan suka sekali nyari perkara.
"Pak, saya dapat uang ini halal, dan orang yang meminjami saya juga memperbolehkan saya makai uang dia."
Tatapan Gita berubah tajam. Meskipun dia miskin, dia tak akan melakukan cara murahan seperti mencuri untuk mendapatkan materi.
Keenan tertawa pelan, tatapannya masih melecehkan pengasuh anaknya tersebut.
"Emang kamu ada teman?"
Gita mulai terganggu, ah, seharusnya tadi dia katakan saja uangnya berasal dari tunangannya. Dan laki-laki ini musti tau juga, jika tunangannya itu adalah Jevi, salah satu orang paling kaya di ibukota sehingga tak perlu menuduhnya macam-macam lagi.
"Pak, saya pulang dulu ya Pak, besok kita ketemu lagi di rumah Bapak! Permisi!"
Gita mengambil ancang-ancang untuk meninggalkan pria blasteran ini. Rupa sama tingkah laku Keenan memang tak singkron. Mukanya sih menawan tapi kelakuan macam setan.
"Hujan, kalau kamu memaksakan pulang ntar bisa bikin kamu sakit besok hari. Dan kalau kamu sakit ntar anak saya siapa yang jagain? Apa kamu mau potong gaji lagi?"
Jedaaarrr....
Petir seketika menyambar. Gita menghentikan langkahnya untuk menembus hujan dan reflek bersembunyi ke belakang Keenan dengan segera. Bukan sekali, tapi ada petir susulan dalam waktu berdekatan yang membuat Gita tak sengaja memeluk Keenan dari belakang. Beberapa orang di sekitar mereka berdua melihat tingkah laku Gita itu dengan pandangan aneh dan tak biasa.
"Maaf Pak! Saya minta maaf karena telah nyentuh Bapak!"
Gita akhirnya keluar dari persembunyiannya, kembali menunduk dan meminta maaf karena kelancangannya. Keenan memandangi wanita itu dengan satu alis terangkat ke atas lalu mengusap-ngusap jaketnya yang digenggam Gita tadi.
"Kamu pulang sama saya! Saya antar kamu ke rumah!"
Gita ingin menolak, tapi Keenan sudah mengembangkan payungnya saat hujan masih lebat menjatuhi bagian bumi. Dia pegang tangan wanita itu sehingga membuat Gita semakin canggung.
***
Jika bisa memilih basah kuyup karena hujan atau duduk barengan dalam mobil dengan majikan sialan ini, maka Gita pasti akan memilih basah kuyup dibanding harus menghadapi keadaan yang canggung-canggungan. Bukan canggung saja masalahnya, tapi juga ada ketakutan yang memaksa Gita berharap agar bisa cepat sampai ke kediaman. Berdua dengan orang yang selalu membentaknya setiap hari ini pada mobil ini, memang membuat batin Gita tersiksa. Dia berharap agar tak ada percakapan yang terjadi sampai dia turun dari kendaraan ini.
"Gita, kamu sudah nggak perawan ya?"
Gita melongo, pertanyaan apaan ini. Kenapa laki-laki ini bertanya hal yang seharusnya menjadi privasi setiap manusia.
"Apa Pak?" Gita ingin kembali memastikan apa yang baru didengarkannya.
"Iya, kamu udah nggak perawan ya?"
"Maaf Pak, harus saya jawab pertanyaan Bapak itu emangnya?"
Keenan tertawa menyebalkan. Gita kesal sekesal-kesalnya.
"Kalau jaga diri saja kamu nggak bisa, gimana kamu jaga anak saya. Tapi saya salut sih kamu akhirnya bertahan lebih dari dua minggu ini menghadapi Alvaro."
Gita menguatkan tinjunya. Emosinya sudah terasa tak bisa diajak kompromi.
"Maaf Pak, itu privasi saya, bukan urusan Bapak mengurusi hal tersebut!"
"Udah rusak, galak lagi, kamu itu kenapa sih?"
Keenan menatap Gita dengan pandangan merendahkan. Gita ingin segera melompat keluar dari mobil ini. Dia tak tahan dengan laki-laki iblis seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Romance"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...