Tidak terlalu sulit bagi Jevi membawa mereka bertiga di rumah ini, meskipun di perjalanan rasanya ribet karena keluarga yatim piatu yang sering sekali berdebat ingin ke sana ingin ke sini. Sesekalinya banyak diam, ya saat mereka naik pesawat untuk pertama kali. Awalnya yang heboh saat di bis, tiba-tiba seperti meriang dan lebih banyak berdoa karena takut kecelakaan transportasi udara seperti yang sering diberitakan di tivi-tivi. Paling kediaman itu pecah saat adanya turbulensi akibat cuaca buruk karena ketiganya latah takut mati, dan saat pesawat itu mendarat, sekeluarga itu sama-sama keluar dengan muka pucat, dan Jevi yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa menganggap jika hal tersebut lucu. Rasa-rasa membawa sekumpulan makhluk primitif yang fobia akan ketinggian untuk berpindah tempat dengan cepat.
Seusainya penerbangan kedua, Jevi menghubungi salah satu karyawannya untuk menjemput mereka semua di bandara. Tak lama, armada ekslusif itu datang. Mereka yang di kapal udara lebih banyak terdiam seribu bahasa, menjadi heboh di dalam kendaraan roda empat tersebut seolah-olah terpana dengan keadaan kota dan merasa semua tempat itu akan bisa mereka jelajahi besok hari.
Gita yang seharusnya menjadi penengah untuk adik-adiknya itu karena sudah melihat pemandangan yang sama lebih dari satu kali, sekarang malah juga ikut-ikutan halu ingin kesana kemari. Sepertinya dia menemukan kawan baru di kota untuk kesana kemari karena selama ini perjalannya hanya terkukung dengan tempat yang hanya itu-itu. Memang sih ada temannya dulu, si duda beranak satu itu, tapi sepertinya hubungan mereka tak seakrap adik dan kakak, apalagi mereka juga pernah terlibat konflik berapa minggu yang lalu.
"Kak Git, rumah Om Jev bagus ya?"
Cika mulai bersuara setelah terpana dengan apa yang dia lihat saat baru keluar dari travel yang mengantarkan mereka sampai rumah ini. Dua pilar tinggi sekarang disapunya dengan matanya yang bulat, ditambah saat melihat ke bawah, lantai keramik dengan corak nebula nan berkilauan benar-benar memikat netranya. Apalagi teras dengan tempat duduk dan bunga yang indah berjejar rapi, benar-benar cantik untuk dipandangi dan tentu saja rumah panggung semi permanen mereka sebelumnya tak memiliki itu.
"Cika nggak boleh nakal ya selama di rumah ini! Cika musti rajin belajar ya, makasih dulu sama Om Jev!"
Jevi yang sebenarnya tak menyukai anak kecil, menjadikan Cika pengecualian. Siapa juga yang tak akan tertarik dengan anak perempuan hitam manis yang berbulu mata lentik tersebut, meskipun dia paling vokal untuk menanyakan hal-hal yang tidak penting, tapi tetap saja kecerewetannya itu menggemaskan serta lucu. Apalagi kalau kakaknya sudah asbun karena buntu, Jevi bisa tertawa-tawa karena Gita bingung sendiri dengan apa yang harus diucapkannya demi anak kecil itu diam dan tak bertanya berulang kali.
"Om Jev, makasih!" ucap Cika malu-malu ke pria berkemeja yang berdiri di dekatnya itu.
"Iya, Ayo masuk rumah!" Ajak Jevi sambil mengusap kepala Cika dengan gemas.
Kemudian, mereka bertiga dengan barang-barang yang dibawanya berbaris mengikuti Jevi dari belakang, benar-benar berderetan seperti anak itik pulang petang yang sedang berjalan di pematang. Jevi terdepan, Gita kedua, Amri ketiga, dan Cika terakhir sambil memeluk kaki kakak laki-lakinya itu erat-erat.
"Om, ngumpulin uang bikin rumah segini bagusnya berapa lama Om?"
Amri tercengang-cengang setelah pintu terbuka sempurna dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan depan. Lampu-lampu kristal yang menggantung, lemari keemasan yang banyak ukiran, sofa beludru yang sepertinya sangat empuk, dan meja yang yang terbuat dari kaca nan menyilaukan mata saking mengkilatnya, benar-benar memberikan kesan rumah berkonsep klasik yang mewah serta elegan.
"Ntar lu kalau udah besar musti kayak gue Ri, biar kakak lu itu bangga. Ntar gue bantuin kalau lu mau buka usaha biar lu cepat bikin rumah kayak gini!"
Jevi yang lebih dulu masuk ke rumah, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa setelah menyandar kopernya di salah satu bagian dinding.
"Makasih Om!"
Amri tersenyum lebar menanggapi pernyataan Jevi tersebut. Rasanya sekarang dia jadi tak sabar menghadapi masa yang ada di depannya.
"Iya sama-sama, sekolah yang rajin ya!" ucap Jevi sambil melepaskan jam yang mengganjal tangannya yang sedikit bengkak.
"Aku izin ke kamar dulu ya, Om!
Jevi mempersilahkan, kini anak remaja yang merupakan kopian dari Mbak sumi versi laki laki itu mengikuti kakaknya dan Cika ke arah kamar pembantu untuk meletakkan barang-barangnya.
Tak lama Jevi lalu bersiap menyiapkan ruangan lainnya untuk Amri agar mereka tidak tidur berdempetan pada satu kamar bertiga.
Sepertinya di lantai dua, ide bagus juga. Pas lah untuk kamar anak bujang yang berusia remaja.
Tapi ya terlambat, saat Jevi ke bawah, Amri sudah menggelar kasur cadangan dan beristirahat. Ntah kenapa satu keluarga ini terlihat amat bahagia, bahkan Cika yang baru tidur di kasur springbedpun tak henti-hentinya menanyakan ke kakaknya kenapa kasur itu bisa tercipta, kenapa lebih empuk dari kasur mereka biasanya, dan tentunya semua yang di ruangan ini mengundang rasa kepenasarannya. Sesuatu yang asing sedang menggelitik rasa keingintahuannya.
Jevi yang sedang menguping percakapan mereka di depan pintu yang tak dirapatkan dengan sempurna, jadi berpikir banyak karenanya. Mbak Sumi luar biasa, bisa mencetak anak-anaknya menjadi pribadi yang hangat dan kompak meski hantaman cobaan mendera mereka semua. Jevi jadi teringat masa-masa remajanya yang indah, penuh dengan suka, dan meskipun terkadang dia tak bahagia karena konflik keluarga, tapi tetap dia bisa tersenyum maupun tertawa.
Jevi mendorong knop pintu, mereka semua memperhatikan laki-laki yang memiliki tubuh tinggi itu serentak. Lalu salah seorangnya bertanya penasaran.
"Kenapa Om, kita ribut ya? Maaf ya Om!"
Pas sekali Amri yang bertanya demikian, Jevi langsung bisa ke pokok pembicaraan.
"Ri, lu tidur di atas di lantai dua."
"Lah Om, kami ingin bertiga di sini! Cukup kok bagi kami tempat ini!"
Jevi geleng-geleng kepala, bagaimana ruangan 3x3 ini bisa diisi satu keluarga.
"Emang nggak sakit punggung lu tidur di kasur busa gitu?"
"Tenang Om, biasanya aku juga tidur di lantai kayu pakai tikar, aman-aman aja Om, yang penting kami bisa sama-sama di sini!" jawab Amri yakin sekali.
"Iya Om Jev, yang penting kita tidurnya bertiga dan bersama-sama," sahut si kecil Cika antusias.
Ah, membahagiakan sekali melihat mereka akrap seperti demikian. Jevi yang sedari kecil tak punya saudara bahkan juga pernah merasa tak punya keluarga kandung, sekarang dapat merasakan arti kebersamaan. Dia langkahkan kakinya masuk ke kamar mereka bertiga sekaligus memperhatikan barang-barang apa yang sudah dipindahkan.
"Lu aman Git? Bahagia amat lu tampaknya, karena bareng adik lu lagi ya?"
Gita yang sedang memangku Cika mengaguk-angguk setuju. Rasanya semua bebannya berkurang drastis karena Jevi sudah menyelamatkan mereka sekeluarga.
"Makasih ya Om, Gita nggak tau kalau tanpa Om, Gita musti kayak gimana!"
"Iya sama-sama, Ntar habis maghrib lu ke kamar gue ya, ada yang gue bicarain sama lu!" Jevi segera berbalik badan, meninggalkan mereka di ruangan tersebut dan menutup pintu itu lagi rapat-rapat. Mereka bertiga kembali asik dengan perbincangan yang tak berkesudahan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Pembantu Seksi (TAMAT)
Romance"OM-OM BEJAT TAPI NIKMAT" itu adalah kalimat paling tepat dalam menggambarkan sosok Jevi bagi seorang Basagita Dewani. Alih-alih membantu kehidupan seorang gadis yatim piatu yang berprofesi sebagai pembantunya itu, Jevi malah menjadi laki-laki yang...