41. Bangunan itu runtuh

56.5K 2.2K 740
                                    

Kalau gue punya banyak waktu, gue pengen sering-sering nulis ah~ 😭 ngedraft yang banyak gitu, kalau ga bosen eeaakk 🗿

Sayang beribu sayang, banyak banget waktu yang harus i jalani. But i happy kok, yg gak heppi tuh pas banyak tugas kerja, kuliah numpuk jadi satu, di deadline yg sama. Bejirrr rasanya pengen meledak tuh kepala 😔 untung masih kuat 🗿 di kuat kuatin padahal mah.

Dunia dewasa terlalu menyeramkan. Tapi di hepiin ajah 🫠😁

______________________________________________________

Maaf sempat unpublish sebentar karena perlu di revisi sebab ada typo besar besaran hehe 🙏😋

____________________________________

Happy reading and enjoying 🤙

***

"Huwek!"

Gedor! Gedor! Gedor!

"Sayang?!! Lama banget di kamar mandinya, kamu ngapain aja?!"

Gadis di depan westafel kamar mandi tidak menghiraukan teriakan barusan. Badannya terasa lemas, sampai kakinya berubah menggelenyar bagai jeli-jeli yang tidak mampu dia bedirikan dengan tegak.

"Huwek!"

Lagi, lagi hanya cairan putih yang dia tumpahkan dari isi perut yang sedang bergejolak. Kecurigaan gadis itu merambat dari ragu jadi sebuah keyakinan

Dia tatap pantulan cermin yang sedang menampilkan dirinya. Mata sayu, rambut berantakan, wajah putihnya pun semakin memucat. Hanya kemeja putih berlengan panjang sebatas menutup sampai paha. Yang gadis itu pakai sebagai penutup tubuh. Bukan pakaian milik dia, ini pakaian kekasihnya yang gadis itu pinjam beberapa saat lalu.

"Sayang? Are you oke?"

Gadis cantik bersurai pirang tersebut akhirnya menyahut pelan. Entah orang di luar itu akan mendengar suaranya atau tidak, yang penting dirinya sudah berusaha membalas meksi badan rasanya tersedot habis jadi lemas.

"I'm fine, sayang. Sebentar lagi aku keluar. Kamu tunggu di depan aja."

Keadaan menghening. Hanya ada suara keran westefel yang di nyalakan. Baru saja gadis itu memutarnya.

Sepertinya berhasil. Kekasihnya di luar tidak menyahut atau bertanya apapun lagi. Gadis yang tidak lain adalah Helena itu meraup air di tangan kemudian dia basuh pada wajah yang terlihat semakin pucat.

Dia putar keran westefel untuk di sudahi. Tubuhnya tidak sanggup menopang, sampai akhirnya badan itu meluruh di lantai yang terasa sangat dingin ketika bersentuhan dengan kulit kaki yang gadis itu selonjorkan.

"Kayaknya gue hamil," monolog Helena pada dirinya sendiri, "Kalaupun iya, pasti dia anak si Juna." tangan mungil itu bergerak mengusap perut rata yang berbalut kemeja putih milik sang kekasih.

"Atau anak Tama? Haha! Mana mungkin?! gue baru main tiga kali sama dia," Helena menghela nafas panjang. "Anak Gabriel pun kayaknya enggak, dia yang bakalan curiga nanti. Gue baru aja main semalem masa langsung jadi, kan aneh?"

Bayangan menohok tentang penolakan melintas di benak Helena. Dia tersenyum miring. Nasib dirinya yang terlalu mudah melemparkan tubuh pada seorang laki-laki. Dia hanya tempat pembuangan pemuas sperma oleh nafsu yang tidak terkendali.

Helena sadar. Dari kedua belah pihak sama-sama ingin dan menyukai. Kalaupun dia harus menyalahkan Tuhan sebab mendapatkan perlakuan bejat dari seorang laki-laki yang enggan bertanggung jawab, itu konteks yang salah besar. Dia dalam kondisi sadar saat menyerahkan tubuhnya dengan cuma-cuma. Yah, mungkin ini adalah ganjaran yang harus Helena terima.

Benefit 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang