Di part kali ini lebih banyak diceritain tentang POV nya Gabriel yak 😁Happy reading and enjoying 🤙
****
Yang paling kebanyakan orang benci adalah penyesalan. Karena masanya ada di akhir, bukan di awal yang lebih bisa dimaknai sebagai cobaan. Mereka tidak dapat lagi memilih ketika waktu yang diberi sudah mencapai batasnya. Kecuali ada satu kesempatan yang bisa digunakan untuk memperbaiki kesalahan. Kemungkinan rasa sesal yang ada bisa diminimalisir, meski tak sepenuhnya dapat dimaafkan.
Bukan tak dapat dimaafkan sebenarnya. Orang-orang punya waktu untuk menyembuhkan luka dari segala pedih dan perih dari si penyebab yang memberikan rasa sakit. Orang yang teraniaya berhak memberikan batasan saat si penyebab rasa sakit mengejar kata maaf darinya. Kadang luka di fisik bisa sembuh cepat oleh waktu, karenanya ada obat resep dari dokter yang menunjang kesembuhan untuk menangani pemulihan.
Sedangkan luka perasaan?
Apa yang mau disembuhkan dari sesuatu yang tak tampak di mata? Tidak dapat diraba, tidak dapat dijangkau pula. Hanya dapat dirasakan kalau keberadaannya membenarkan wujudnya itu ada.
Luka perasaan ini sembuhnya lama. Entah kapan, tidak bisa menjamin dan memberi pasti. Prosesnya pun sulit, karena bagian dari mengikhlaskan adalah rantai paling menyiksa tapi memberi perasaan lega bagi siapapun yang berhasil melewati fase melepaskan untuk menerima. Menerima apa? Semuanya. Keadaan, waktu, juga luka-luka yang tidak seharusnya mendekam pada ruang paling gelap di dalam hati.
Membiarkan luka perasaan itu bebas supaya tak ada lagi sesak yang harus dipendam diam-diam. Adalah bentuk penerimaan mu sudah berhasil.
Dan Gabriel adalah salah satu orang yang menyesal itu. Dia juga si penyebab rasa sakit—ah, bukan.. bukan lagi penyebab, tapi pemberi rasa sakit untuk gadis tulus baik hati yang sudah pergi karena memang ia memilih menyerah tepat ketika dirinya membentak dan mengusirnya jauh-jauh supaya tidak terlihat lagi oleh pandangan.
Gabriel akui, ia benar-benar menyesal. Setiap malam dalam tidurnya mimpi-mimpi buruk selalu menghantui tanpa jeda. Bahkan delusi yang di ciptakannya sendiri berhasil memancing adrenalin jantung miliknya berpacu lebih cepat seirama oleh perasaan takut akan kehilangan dan ditinggalkan seolah benar-benar terlihat sangat nyata.
Laki-laki itu rasanya mau menjadi gila. Perasaan cemas, takut dan gelisah terus mendobraknya. Mengobrak-abrik perasaan sesal Gabriel tanpa henti.
Raut wajah sayu dengan mata panda yang sudah benar-benar menghitam itu tidak pernah memberikan jeda tubuhnya untuk beristirahat. Bahkan jambang tipis di permukaan area dagunya mulai terlihat. Sekiranya, sudah hampir dua Minggu ini ia mencari keberadaan Kayra diseluruh penjuru kota Jakarta. Orang-orang bawahannya ia tempatkan diberbagai daerah yang berbeda untuk memudahkan pencarian. Dan hasilnya pun nihil. Tidak menemukan pertanda apapun.
"Fuck! Lampu merah sialan!" Umpatnya keras saat lampu lalu lintas berubah warna jadi merah tanda berhenti. Gabriel membanting diri sebentar pada kursi kemudi. Memejamkan mata sesaat, mengusir rasa kantuk. Ia capek tapi tak boleh berhenti.
Mencari seseorang di luasnya Bumi membentang ini tidaklah mudah. Gabriel aku itu. Dia membanting setir mobil dengan perasaan dongkol luar biasa. Dari pagi buta hingga menjelang pagi lagi, ia tidak berhenti mengemudikan mobilnya untuk menelusuri area jalanan Jakarta. Berharap Kayra akan lewat di manapun nantinya hingga terjangkau oleh penglihatan Gabriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benefit 21+
RomanceKonten Dewasa 21+ BOCIL DILARANG MENDEKAT!! DOSA TANGGUNG SENDIRI KALO MASIH MAU NYEKROL SAMPE BAWAH :D Hubungan kita hanya sebatas kontrak--antara tuan dan pelayan pemuas nafsu. Perasaan ini salah jika ingin berlabuh pada tempat yang ku inginkan...