"Aku menikah hari ini, bagaimana kabarmu dan Zayn?"
"Aku baik, Zayn baru saja tertidur. Istirahatlah nampaknya kamu yang tidak baik-baik saja"
Telpon terputus, entah siapa yang ia telpon. Nathan membanting handphonenya ke kursi belakang.
Jalanan yang lenggang memberikan kesempatan bagi Nathan memacu mobil dengan seenaknya. Dibukanya jendela, ia hirup udara malam kota Rotterdam dengan puas. Sejenak ia merasa tenang, tak lama kemudian memukul setir dan mengucapkan sumpah serapah.---
Dziya membuka matanya, ditatapnya ruang kosong disampingnya, tidak ada orang. Benar dugaannya, Nathan tidak pulang semalaman.
Keluarga Nathan sudah berada di dapur menyiapkan sarapan. Dziya merasa tidak enak karena bangun kesiangan.
"Ehh.. ehh.. ehh.., pengantin baru dikamar saja, tidak usah turun" ejek Romy, kakak perempuan Nathan, yang mengundang gelak tawa yang lainnya.
"Dimana Nathan?" Tanya Melinda.
Dziya tidak tahu harus menjawab apa, dan dia juga tidak mungkin memberitahu sang mertua bahwa Nathan tidak pulang semalaman.
"Morning" sapa Nathan dan mulai bergabung.
Ia sudah segar dengan handuk yang bertengger di bahunya, ia duduk di samping Dziya.
"Syukurlah Nathan datang tepat waktu, jadi aku tak perlu memberikan alasan apapun" batin Dziya
Mereka mulai sarapan sambil bercerita ringan tentang apa saja yang terjadi kemarin. Suasana seketika menghangat bersama keluarga. Hal yang tidak Dziya dapatkan di Indonesia. Dziya juga senang melihat Nathan makan dengan lahap dan mulai bercerita diselingi tawa. Meskipun tanpa melibatkan Dziya didalamnya sekalipun pada keluarganya sendiri.
"Ngomong-ngomong kemana kalian akan berbulan madu?"
Dziya tidak jadi menyuapkan makanan, ia taruh kembali sendok dan mulai menunduk. Bingung. Tidak tau harus menjawab apa. Ia melirik pada Nathan, Nathan yang menyadari itu langsung menjawab pertanyaan sang kakak perempuan secara asal
"Dubai"
"Oh ayolah Nathan, apa kau tak bosan terus kesana? Carilah referensi lain. Indonesia or Japan? Itu bisa dicoba, kau tau kan Indonesia memiliki banyak tempat wisata" protes Romeo.
"Aku ingin tempat yang sepi, di Indonesia aku akan sibuk meladeni foto para fans"
"Kau benar, bukannya berlibur malah hancur. Kalau begitu cepat putuskan kalian akan pergi kemana"
Nathan melirik pada Dziya yang menunduk
"Baiklah, kita akan pergi ke Swiss" pungkas Nathan."Swiss? Boleh juga." Lirih Dziya tanpa sadar.
---
Dziya mendapati Nathan sedang menata beberapa pakaian di kasur saat ia membuka pintu kamar. Menanyakan keberadaan Nathan semalam rasanya bukan waktu yang tepat. Ia memutuskan untuk mendekati Nathan.
"Berangkat besok malam" ucap Nathan sebelum Dziya membuka percakapan.
"Ke mana?"
Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Nathan melewati Dziya menuju laci untuk membawa beberapa barang.
"Swiss"
Swiss, negara yang terkenal dengan kebersihan juga keindahan alamnya. Dziya tidak menyangka ia akan benar-benar pergi ke Swiss bersama suaminya. Iya SUAMINYA.
"Biar aku selesaikan" Dziya mengulurkan tangannya untuk membantu Nathan.
"Tidak, aku bisa sendiri" ucap Nathan sembari mengambil kembali pakaian yang berada di tangan Dziya. Dziya bergegas melakukan hal yang sama, menyusun pakaian. Namun sejenak gerakannya terhenti, ia tidak tahu harus membawa berapa pasang pakaian.
"Berapa hari kita disana?" Tanya Dziya
Tidak ada jawaban.
"Mungkin dia juga bingung akan berapa hari kita disana" batin Dziya.
"Tiga" putus Nathan sembari meninggalkan Dziya.
"Oke" lirih Dziya hampir tidak terdengar.
---
Mereka benar-benar berangkat malam hari. Dziya kira hanya Nathan dan dirinya yang akan pergi berbulan madu layaknya suami-istri. Namun dugaan hanya sebatas dugaan, nampaknya Nathan tidak bisa pergi tanpa teman-temannya. Kini, ia sudah mendapatkan teman baru sesama warga negara Indonesia. Ada Justin, Ivar dan Rafael. Masuk akal, tentu Nathan tidak ingin ia dan Nathan hanya berduaan saja.
Kini Dziya sudah duduk di dalam pesawat jet yang dimiliki Nathan. Beberapa kursi dan meja berwarna cream dan abu-abu berjajar saling berhadapan. Dziya memilih kursi paling belakang yang menghadap toilet. Lebih baik membelakangi laki-laki kan, lagipula matanya kini mulai meredup.
Dibalik jendela kaca, ia melihat Nathan tertawa lebar bersama teman-teman. Ada yang menarik seulas senyum Dziya, ia melihat suaminya mendorong koper miliknya. Koper merah yang dibelikan kakak nya, Jay. Senyumnya terus tertahan hingga Nathan tak nampak lagi, dan kini Mereka sudah duduk di dalam pesawat.
Justin memastikan semuanya sudah masuk ke dalam pesawat. Setelah dirasa semuanya aman pesawat mulai lepas landas menuju negeri indah dengan segala kedamaian nya.
Dziya mulai merasakan kantuk menyerangnya, ia melirik ke depan. Para laki-laki itu masih asik berbincang dengan canda tawa yang menggema di dalam benda berbentuk tabung itu. Dirasa kantuk yang semakin berat, Dziya hendak memejamkan matanya. Namun ia urungkan saat melihat kumpulan cahaya kuning dibalik jendela yang memanjakan mata.
Ia abadikan momen indah tersebut, potret cahaya lampu indah yang dipandang dari atas langit, membuat siapapun kagum akan keindahan tersebut.
Justin menuju ke sebelah Dziya untuk mengambil beberapa camilan dan softdrink yang berada di lemari pendingin. Ia melirik Dziya yang seperti kesakitan.
"You okay?" Tanya Justin khawatir.
"Ya aku baik-baik saja, hanya mengantuk sedikit"
Justin mengulurkan tangannya kebawah kursi yang sontak membuat Dziya menjauhkan kakinya.
"Sorry, ini untuk meluruskan kaki mu agar lebih nyaman" beberapa saat kemudian kursi Dziya mulai memanjang sehingga ia bisa meregangkan badannya.
"Ah ya, terimakasih"
"Camilan kalau kau lapar" Justin menyodorkan beberapa camilan kemudian meninggalkan Dziya dan kembali bersama yang lain.
Diantara teman Nathan, hanya Justin yang perduli terhadapnya. Bahkan Nathan tidak melirik nya sama sekali selama perjalanan ini.Hallo guys, thank you for your support. Jika kalian memiliki ide cerita boleh disampaikan di komentar ya, pasti aku akan tampung dan ide cerita kalian akan aku tulis di cerita.
Pure love❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...