Nathan menarik kopernya menuju hotel, tak ia hiraukan Dziya yang tertinggal di belakang. Beruntungnya Justin setia menemani Dziya. Ini pukul 1 dini hari. Mereka sampai di hotel dan langsung beristirahat.
Dihempaskan tubuhnya ke atas ranjang, Nathan menghela nafas. Dziya yang selesai membersihkan diri melirik ke arah Nathan.
"Apa yang ia pikirkan? Seperti ada beban yang berat. Apakah aku penyebabnya?" Ucap Dziya dalam hati.
"Siapkan dirimu, siang nanti kita akan pergi ke luar" ucap Nathan sebelum memejamkan matanya.
Matahari sudah terbit beberapa jam lalu, kini Nathan dan yang lainnya sudah berada di dalam limusin hitam yang mewah. Menyusuri jalan aspal Jenewa yang mulus tanpa lubang. Sebelah kanan dan kirinya bukit yang menakjubkan.
"Indahnya", puji Dziya pada penampakan alam indah nan menawan itu.
"Kita akan pergi kemana, Nathan?"
Diam, hanya keheningan tanpa jawaban.
"Kita akan pergi ke sebuah danau, Dzi. Disana ada sebuah tempat makan outdoor". Bukan, itu bukan Nathan yang menjawab melainkan Justin.
"Baiklah" lirih Dziya.
Rafael dan Ivar hanya melirik kasihan kepada Dziya.---
Tampak di depan mata. Hamparan danau yang indah, dikelilingi pepohonan yang rindang. Asli sangat memanjakan mata.
Rafael, Ivar, Justin dan Dziya tidak bisa menahan hasrat untuk ingin berfoto. Mereka berempat sibuk berfoto bersama, hanya Nathan yang sibuk sendiri dibawah pohon sambil memainkan handphonenya.
Puas berfoto kini mereka berada di restoran outdoor yang indah. Dziya dan Nathan duduk berdampingan.
"Pesanlah makananmu" ucap dingin Nathan sembari menyodorkan buku menu pada Dziya.
Dziya hanya mengangguk. Begitupun ketiga teman Nathan lainnya mereka memesan makanan masing-masing.
Makanan datang, kebanyakan yang dipesan adalah makanan khas Swiss. Ada Birchermuesli, Raclette, hingga cheese Fondue. Kemudian mereka menikmati makanan yang ada.
"Ah, sungguh makanan ini enak sekali" puji Ivar untuk Raclette pesanannya.
"Tidak tidak, Birchermuesli punyaku lebih enak. Cobalah Ivar," tawar Justin
"No, no. Ini lebih enak, makananmu sama sekali tidak menggugah selera" tolak Ivar yang disambut tatapan mendelik dari Justin.
"Hey ayolah berhenti berdebat. Asalkan kalian tahu ya, menurutku makanan ini terasa kurang sedap. Dan pastinya makanan Indonesia juara nya." Rafael memberikan penilaian sekaligus menengahi perdebatan kedua kawannya.
"Haha, itu tidak perlu diperdebatkan rafaaa, sudah pasti enakk". Balas Justin dan Ivar bersamaan.
Nathan dan Dziya hanya memandangi 3 sekawan yang berdebat itu. Dengan sesekali Dziya melirik pada Nathan. Ia terpesona pada senyum tipis pria itu.
Selesai makan mereka kini mereka mengunjungi beberapa tempat perbelanjaan yang menjual barang-barang branded. Justin, Ivar dan Rafael sibuk memilih. Sedangkan Dziya hanya melirik pada Nathan yang dari tadi diam saja.
"Kau tidak ingin berbelanja, Nathan?" Dziya membuka percakapan.
"Tidak, kau saja. Pilihlah barang yang kau inginkan." Balas Nathan. Setelahnya ia pergi ke luar dengan handphonenya.
"Ada apa dengan Nathan? Kenapa ia hanya fokus pada handphonenya. Apa arti bulan madu ini?" Dziya lirih berucap dalam hati.
Puas berbelanja, kini matahari sudah terbenam. Mereka kembali ke hotel, hanya Dziya yang kembali ke kamarnya. Nathan entah ke mana.
---
Selesai membersihkan diri, Dziya kini membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia putar musik agar sedikit mengusir kesunyian hingga tanpa sadar ia kini sudah terlelap.
Nathan berdiri mematung melihat Dziya tertidur pulas untuk yang pertama kali. Melihat gadis yang mencintainya pertama kali. Gadis yang selalu membuatnya merasa bersalah atas keputusannya, atas keadaannya, dan atas kebimbangannya.
Nathan menyugar rambutnya kasar, bagaimana mungkin ia membiarkan gadis didepannya seorang diri setelah ia menyandang gelar seorang istri. Namun, disisi lain ia menyanggah pemikirannya bahwa Dziya bukanlah sosok pendamping yang ia pinta pada tuhan.
Dengan berat hati Nathan berbaring disamping Dziya, ia menatap Dziya beberapa saat setelahnya ia mematikan musik dan tidur.
---
"Apakah ini mimpi.... Tidak ini bukan mimpi... Tapi bagaimana mungkin... Pasti aku bermimpi" racau Dziya dalam hati.
Matanya melebar, jantung berdebar. Dziya begitu terkejut begitu ia bangun melihat pemandangan indah disampingnya. Nathan yang tertidur dengan tenang.
Dalam hatinya terus berperang, apakah ini sebuah mimpi, jika benar jangan bangunkan ia dari mimpi itu. Namun jika ini kenyataan, maka tetaplah seperti ini, jangan berubah.
Bulu mata yang lentik, bibir merah dengan jambang dan kumis tipisnya, serta rambut tebal yang sekarang sudah cukup panjang menjadi pemandangan indah yang Dziya dapatkan. Setelah puas memandangi mahakarya tuhan yang paling indah, Dziya berlalu untuk membersihkan diri.
Tok tok tok
Pintu berbunyi, Nathan yang merasa terganggu langsung membukanya dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih.
"Hallo, Dziya" Sapa orang di balik pintu.
Nathan membelalakkan mata, seketika emosi memuncak begitu melihat orang yang berdiri di depannya.
"Ehh halo Harry, how are you? Long time no see" Dziya muncul dari balik punggung Nathan.
Nathan memandang istrinya, bagaimana istrinya itu kenal dengan orang ini.
"Siapa orang ini?" Datar Nathan.
"Hallo, saya Harry. Teman semasa kuliah Dziya", harry mengulurkan tangannya. Namun tangan tersebut hanya mengambang di udara tanpa ada niatan dijabat oleh orang didepannya.
"Aku tidak bertanya padamu, aku bertanya pada istriku" ketus Nathan pada Harry.
"Tunggu, dia bilang aku istrinya? Dia sudah mengakui ku?" Pipi Dziya bersemu merah mendengar Nathan menyebutnya sebagai istri.
"Seperti yang dikatakan Harry, dia teman kuliahku dulu" jawab Dziya.
"So, Harry bagaimana kau ada disini, dan bagaimana kau tau aku ada disini?""Aku sedang ada perjalanan bisnis disini kebetulan juga aku bersama beberapa teman kuliah kita dulu, dan kemarin aku melihat mu di danau dan ya seperti kamu lihat, aku menemukan mu disini. Karena kebetulan kita satu hotel" jelas Harry panjang lebar.
"Ohh, ya ya. Sudah lama kita tidak bertemu, aku jadi rindu mereka"
"Bagaimana kalo hari ini kita makan siang bersama?"
"Mmmm" Dziya melirik pada Nathan, yang di lirik hanya memalingkan muka.
"Baiklah aku akan pergi" putus Dziya.
Harry tersenyum, ia melirik pada Nathan yang menatapnya tajam. Nathan pergi ke dalam kamar untuk mengambil handphonenya kemudian ia pun pergi keluar meninggalkan dua orang yang membuat moodnya kacau.
---
"Hallo, Babe. Aku rindu padamu. Setelah dari Swiss aku akan menemui mu di sana" ucap Nathan lewat panggilan pada seseorang yang ia sebut Babe.
Setelah melakukan panggilan tersebut Nathan merasa sedikit tenang, melihat senyum dan tawa orang yang dia sayangi meski dalam sebuah rahasia. Sesaat kemudian Nathan kembali teringat pada kejadian sebelumnya. Emosinya kembali naik, ia memukul setir mobil kemudian menghempaskan tubuhnya kebelakang. Wajah itu, wajah yang menyebabkan kehancuran di masa lalu. Dan ia benci itu.
"AARGHHHHHHHH" teriak Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...