Jay masih mondar-mandir di depan pintu UGD, ia benar-benar khawatir pada adiknya juga kandungannya.
"Semoga kamu dan calon anakmu baik-baik saja, Dek." Doa Jay lirih.
Pintu terbuka, seorang dokter keluar dari sana. Jay langsung menghampiri dokter tersebut.
"Dokter, bagaimana keadaan adik saya? Juga bagaimana kandungannya?" Jay langsung bertanya secara beruntun pada dokter yang di name tag nya bernama Minee.
"Syukurlah kalian membawanya tepat waktu, kalau tidak bisa saja ia kehilangan kandungannya. Untuk sekarang kondisi pasien baik-baik saja, fisiknya sangat lemah juga kandungannya pun lemah sekali. Saya sarankan pasien dirawat inap untuk mendapatkan penanganan yang tepat juga agar kandungannya bisa dipantau. Apalagi kandungannya masih usia sangat muda, pasien jangan terlalu capek dan pastinya jangan biarkan ia stress." Jelas dokter panjang lebar.
"Baik, terimakasih dokter. Apakah saya boleh menemui adik saya?" Tanya Jay.
"Boleh, silahkan. Kalau begitu saya pamit dulu, permisi." Setelah kepergian dokter Minee, Jay langsung masuk ke dalam ruangan rawat Dziya.
Didekati nya sang sang adik yang terbaring lemah, diusap lembut rambut sang adik dengan penuh kasih sayang.
"Kuat ya Dek, anakmu bertahan karena sayang pada ibunya. Kakak berjanji akan lebih ekstra menjagamu. Mulai hari ini, tanggung jawab terhadapmu akan kakak ambil alih kembali. Kakak tak rela kamu disakiti, dan kakak lebih tak rela jika anakmu memiliki ayah sepertinya." Jay menangis, ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak bisa menjaga adiknya.
Nathan berusaha bangkit, dengan susah payah ia pergi menuju kamarnya untuk membersihkan diri.
"Nath, kamu mau kemana?" Tanya Lisa yang sedang berbaring bersama Zayn.
"Aku mau membersihkan diri" jawab Nathan dengan datar.
"Kau yakin? Biar aku bantu, jangan mandi biar aku usap saja tubuhmu" Lisa menawarkan diri.
"Tak perlu, lagipula ini hanya luka lebam bukan luka sobekan" jawab Nathan, setelahnya ia masuk ke dalam kamar mandi.
"Nathan, Nathan. Aku harap sebentar lagi perempuan itu menggugat cerai padamu dan aku akan menjadi istrimu satu-satunya. Hahaha" batin Lisa.
Nathan keluar dari kamar, ia melihat Lisa dan Zayn yang sedang menonton TV. Dipandanginya kedua orang yang selalu menemaninya saat ia di titik terendah, canda tawa yang selalu menghiburnya kala ia bersedih, perlakuan-perlakuan kecil yang selalu mereka berikan padanya saat ia pulang latihan dan pertandingan, itu spesial. Hufttt, Nathan menghela nafasnya.
"Daddy", suara kecil yang membuat senyumnya sedikit keluar.
"Iya, Zayn sayang." Nathan mendekati Zayn kemudian menggendongnya.
"Tit? (Sakit)",tanya Zayn sembari meraba sudut bibir Nathan yang lebam.
"Nggak Zayn. Ini hanya luka kecil, tidak sakit kok kan Daddy kuat" Nathan mencium pipi anaknya, selanjutnya mereka berdua bercanda bersama sembari menonton TV.
Lisa yang melihat interaksi ayah dan anak itu semakin membuat niatnya membuncah untuk menjadi istri Nathan satu-satunya, dalam pikirannya sudah tersusun rencana yang akan ia lakukan secara diam-diam.
"Lisa", panggil Nathan.
"Eh, iya Babe?" Lisa tersentak dari lamunannya.
"Aku akan pergi keluar sebentar" Nathan mengembalikan Zayn pada Lisa.
"Kemana?" Tanya Lisa sembari bangkit mendekati Nathan.
"Menemui Dziya, aku akan menjelaskan semuanya." Nathan menuju pintu keluar.
"Tapi bagaimana dengan kondisimu? Aku khawatir kamu akan kenapa-kenapa, apalagi kakaknya Dziya pasti masih emosi padamu, aku takut ia akan menyakitimu lagi." Lisa mencoba menahan Nathan, dan disudut hatinya ia juga cukup khawatir pada kondisi Nathan.
"Tidak apa-apa, ini resiko ku" Nathan mulai membuka pintu.
"Tapi, Nathan...", belum selesai Lisa menyelesaikan ucapannya, Nathan sudah masuk ke dalam mobilnya.
"Aku pergi, kunci pintu rumah. Entah aku akan kembali kesini lagi atau langsung pulang ke Rotterdam.", Nathan menyalakan mesin mobil, ia akan pergi menemui Dziya dan Jay berharap mereka mau mendengarkan penjelasannya.
Nathan mencoba melacak handphone Dziya untuk menemukan rumah sakit tempat ia dirawat. Setelah perjalanan selama 30 menit akhirnya ia berhasil menemukan rumah sakitnya. Ia berjalan sembari membawa makanan kesukaan Dziya, martabak manis. Makanan itu ia dapatkan dari restoran Indonesia yang berada di dekat rumahnya, Amsterdam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, namun Dziya masih belum membuka matanya. Jay dengan sabar menjaga adiknya itu, diusapnya rambut sang adik dengan lembut sedari tadi.
"Bangun Dek, kamu harus kuat, setelah ini kita akan memulai hidup baru tanpa dia ya." Jay mencium kening Dziya dengan lama.
Jay merasakan sebuah pergerakan di dalam genggamannya, itu tangan Dziya. Jay buru-buru melepaskan ciumannya ia tatap wajah sang adik yang perlahan membuka matanya, senyum mengembang di bibirnya.
"Ka-kak" panggil Dziya serak
"Iya, Dek. Kakak disini" Jay menghapus air di sudut matanya,
"Kamu butuh sesuatu?" Tanya Jay yang melihat Dziya melirik kesana-kemari."A-air" ucap Dziya
"Kamu mau air? Sebentar biar kakak ambilkan." Jay bangkit, ia menuju meja. Dituangkannya air kedalam gelas kemudian membantu Dziya untuk meminumnya.
"Sudah?" Tanya Jay
"Iya, terimakasih kakak." Dziya tersenyum menatap sang Kakak. Ia amat bersyukur memiliki kakak yang sangat peduli terhadapnya.
"Rupanya ini arti mimpi semalam, mimpi yang seakan nyata itu kini menjadi kenyataan. Nathan yang pergi ditelan cahaya nyatanya ia pergi bertemu perempuan yang lain dan meninggalkan ku, sedangkan arti cincin hilang itu...., sepertinya memang ini jalannya, aku benar-benar sakit dan lelah." Dziya berucap dalam hati, ia memikirkan mimpi semalam dan itu adalah sebuah petunjuk.
"Kak..." Dziya berucap setelan beberapa saat hening.
"Iya, hmmm" Jay mengusap kepala Dziya lembut
"Ma-maafkan aku" Dziya menunduk, ia mulai menangis lagi
"Hey, kenapa? Jangan menangis" Jay memeluk Dziya kemudian mengusap air matanya.
"Maafkan aku karena aku tak pernah menceritakan masalahku dengan Nathan, dan aku menyesal hari ini" Dziya mulai sedikit tenang setelah mendapatkan perlakuan hangat dari Jay
"Jujur, kakak sedikit kecewa saat tahu kamu pernah disakiti Nathan dan kamu tidak memberitahukannya pada kakak. Kakak mengerti kamu tak ingin kakak mencampuri urusanmu dan juga kamu ingin melindungi aib suamimu. Tapi jujur Dziya, kakak begitu sakit, marah, dan muak mendengar mu melampiaskan amarahmu pada Nathan tadi. Sedangkan kakak, tak mengetahui apapun itu, dan begitu kejadian tadi kakak tak bisa menahan amarah kakak, kakak hilang kendali dan menghajar Nathan. Mungkin jika kamu tak menahan kakak, kakak bisa saja menghabisi dia." Jay mengeluarkan unek-uneknya.
Mendengar perkataan Jay membuat Dziya kembali menitikan air mata, ia terharu pada sikap Jay.
"Kak--- Nathan sudah memiliki anak..." Ucapan Dziya terpotong oleh tangisannya sendiri.
"Ya, kakak tahu, kakak kan sudah melihatnya. Lalu bagaimana keputusanmu?", Jay bertanya sembari menenangkan Dziya
"A-aku, tak ingin menjadi orang ketiga kak... A-aku tak ingin memisahkan seorang anak dari ayahnya, a-aku ingin ikut dengan kakak saja." Putus Dziya.
BRUKK
Suara benda jatuh mengagetkan keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...