RASA JADI IBU

742 82 5
                                    

Dua minggu setelah sadarnya Dziya, kini kondisinya semakin membaik. Navya pun begitu, berat badannya sudah sesuai dan perkembangan fisiknya semakin membaik. Jay sudah kembali ke Italia seminggu yang lalu karena jeda kompetisi telah berakhir. Sama halnya dengan Jay, Nathan pun telah mengikuti latihan dengan klubnya, meski dengan hati yang berat karena terus memikirkan keadaan Dziya di rumah sakit. Romeo dan Melinda dengan setia menunggu sang menantu di rumah sakit, dengan sesekali mengunjungi sang cucu di ruangan khusus. Kini hari memasuki waktu senja, Nathan telah kembali dari latihannya. Menemani sang istri yang lukanya masih belum sembuh itu, setia menungguinya bahkan mengurusnya dari makan, mandi dan tidurnya. Mereka saling bertatapan, cinta yang terpancar dengan rindu rindu yang sedikit bersarang.

"I love you, sayang" Nathan mencium dalam bibir Dziya, merasakan kembali bagaimana rasa cinta mereka tersalurkan.

"I love you more, Mas" Dziya membalas setelah pagutan mereka terlepas.

--

Pagi menjelang, matahari mulai menampakkan sinarnya bersamaan dengan burung yang berkicau disekitaran rumah sakit. Nathan memandangi wajah sang istri yang masih terlelap tenang, hari ini ia libur latihan. Kesempatan ini ia gunakan untuk menghabiskan waktu mengurus sang istri dan menunggui anaknya yang masih berada di ruangan bayi. Mengecup kening sang istri sekilas kemudian membenarkan letak selimut yang tak menutupi badannya. Namun gerakannya malah membuat Dziya membuka matanya secara perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Matanya terus mengerjap, hingga terbuka secara sempurna dan melihat pria tampan yang tersenyum kearahnya. Bibirnya mengkurva, tangannya terulur untuk mengelus rahang sang suami yang bersih. Sepertinya ia mencukur bulu halus disekitarnya.

"Selamat pagi, Mas" sapa Dziya. Nathan tersenyum, balik mengelus pipi sang istri dan mengecup bibir itu dalam. Cukup lama mereka melakukan hal itu hingga suara pintu terbuka membuat mereka melepaskan pagutannya.

"Selamat pagi Nyonya Dziya, bayinya sudah bisa diajari untuk menyusu, ya" ucap suster yang mendorong box bayi. Mereka berdua tampak kikuk saat memandang suster tersebut, takut perbuatan mereka tadi terlihat olehnya. Nathan menggaruk tengkuknya, meringis sedikit kemudian bangkit dari duduknya. Memandang sang malaikat kecil yang amat cantik nan lucu, ia ingin sekali menggendongnya namun masih takut akan menyakiti sang anak.

Dziya tampak senang, ia kini dapat melihat secara langsung wajah sang anak. Biasanya ia hanya bisa melihatnya dari layar ponsel hasil video atau foto yang Nathan dapat, namun kini ia dapat melihat secara langsung bagaimana cantik dan lucunya wajah sang anak, Navya.

"Mas, anak kita Mas" ucapnya riang. Nathan yang mendengar itu tersenyum.

"Iya, sayang" jawabnya.

Suster mengangkat tubuh bayi Dziya yang mengulet, lalu memberikannya kepada Dziya yang sudah siap menyambutnya.

"Mari, Nyonya. Biar saya ajarkan bagaimana cara peletakan saat bayi menyusu." Dziya mengangguk, Nathan menggeser tubuhnya memberikan sedikit ruang untuk suster tersebut menjalankan tugasnya. Matanya terus memandangi Dziya yang sedang belajar menyusui si kecil Navya.

Dziya ingin sekali menangis, ia terharu. Kini dirinya merasakan bagaimana menjadi ibu sesungguhnya, melihat bagaimana sang anak menggeliat dengan mulut yang bergerak mencari keberadaan puting miliknya. Matanya mengembun, apalagi ketika sang anak berhasil menemukan putingnya dan mulai menyesapnya.

"ASI-nya sudah keluar Bu?" Suster bertanya karena melihat bayi yang seperti kesusahan ketika menyusu.

"Sudah, Sus. Namun masih belum keluar banyak." Dziya melirik anaknya dan Nathan bergantian.

"Tidak apa-apa, nanti keluar dengan sendirinya. Ini juga efek dari kondisi tubuh nyonya yang sempat koma jadi terhambat. Tetap susuin adek meskipun ASI-nya sedikit ya, Nyonya. Bisa juga dibantu dengan Tuan untuk melakukan pijatan agar merangsang kelenjar ASI-nya." Kata Suster.

Nathan tersenyum,. mendengar kalimat terakhir yang diucapkan suster menjadi bagian yang amat ia suka.

Setelah menjelaskan panjang lebar, suster itu pergi meninggalkan ruangan Dziya. Nathan kembali mendekat, lalu mengelus pipi putrinya yang sedang belajar menyusu.

"Sakit?" Tanya Nathan pada Dziya yang sesekali meringis ketika Navya menyusu terlalu kencang.

Dziya menggeleng. "Lebih sakit ketika kamu gigit, Mas"

Nathan terkekeh geli, ia menatap Dziya dengan serius.

"Nanti aku bantu pijat, ya?" Tawar nya dengan alis yang dinaik turunkan.

"Ini bukan modus kan?" Dziya menelisik wajah Nathan, ia curiga pada suaminya ini.

"Modus dikit, sayang. Gantian sama Navya" jawabnya ngeselin. Dziya mendelik, membuat Nathan tertawa.

"Mas!"

Nathan tergelak lalu mengecup pipi Dziya gemas bergantian dengan putri mereka.

"Aku menyayangi kalian, separuh jiwaku" Nathan memandang penuh cinta pada kedua wanita kesayangannya. Mengelus pipi keduanya dengan lembut dan kembali mengecupnya.

Kini Nathan dan Dziya sama-sama memandang Navya yang masih menyusu. Anaknya itu seperti enggan melepaskan puting sang ibu, dirinya terus menyusu seolah-olah ia benar-benar tidak ingin terpisahkan.

"Nak, Navya sayang. Jadilah anak yang penurut ya, sayang sama Mama. Mama kamu sudah mempertaruhkan nyawanya hanya demi kamu lahir dengan selamat ke dunia ini. Jadilah anak pintar dan sayang pada sesama ya, Navya" pesan Nathan pada anaknya yang masih menyusu itu. Dikecupnya pipi yang bulat itu, mengelusnya dengan lembut dan bergantian mengecup sang istri.

Dziya terharu pada perkataan yang diucapkan sang suami, ia hampir meneteskan air matanya namun sebuah jari berhasil menghapusnya sebelum air itu menetes mengenai sang anak.

"Jangan menangis, kamu harus bahagia" ucap Nathan tulus.

--

Pintu terbuka, seseorang datang untuk mengantarkan makanan untuk Dziya. Tak lupa dibelakangnya ada perawat yang mengantarkan obat-obatan untuk Dziya konsumsi.

"Ini ada pelancar ASI nya, nanti jangan lupa dikonsumsi ya" pesan perawat tersebut.

"Baik, terimakasih Sus"

Dengan telaten Nathan menyuapi sang istri. Navya sudah tidak menyusu lagi, ia kini tengah tertidur di box-nya. Nathan terus menyuapi Dziya hingga makanannya itu tandas tak bersisa lalu dilanjutkan dengan minum obat.

Selesai dengan makannya, suasana menjadi hening. Dziya kini tengah menatap sang anak yang terlelap. Teringat bagaimana perjuangannya saat mengandung. Harus menelan luka bahwa sang suami memiliki wanita lain, kemudian memutuskan untuk pergi dari rumah dan hidup berdua bersama sang kakak. Masa-masa ngidam yang harusnya bersama Nathan, namun semua itu dipenuhi oleh sang Kakak. Lalu mereka mulai kembali, menjalani sidang dan akhirnya memutuskan untuk bersama. Mulai menjalani hidup sebagaimana pasangan suami-istri yang hendak memiliki anak. Lalu masalah mulai datang ketika surat ancaman yang diterima Nathan, hingga akhirnya Dziya mengalami penculikan saat ditaman. Ia masih ingat saat kembali dari Helena dan hendak mendekati Nathan, mulutnya dibekap oleh seseorang hingga ia kehilangan kesadarannya. Dia juga ingat bagaimana perlakuan Lisa ketika menyekapnya hingga akhirnya ia berhasil diselamatkan namun dengan luka tusukan yang bersarang diperutnya.

Dziya meraba perutnya yang sakit, seolah diremas-remas. Dia meringis, namun untungnya Nathan tak menyadarinya. Dia akan menyembunyikan hal ini, tidak ingin membuat suaminya kerepotan lagi.

Kini pandangan kembali tertuju kepada Navya, entah kenapa ia merasakan sedih yang mendalam ketika melihat sang anak. Ia berharap Tuhan memberikannya umur panjang agar bisa melihat anaknya tumbuh besar hingga ia memiliki cucu. Dziya menangis, membuat Nathan panik.

"Sayang, kenapa?"

Dziya buru-buru menghapus air matanya, menggelengkan kepala dan tersenyum.

"Tidak apa-apa, Mas. Hanya terharu saja. Begini ya rasanya menjadi seorang ibu" ucapnya lirih disusul tangisan yang cukup membuatnya tergugu.

NATHAN TJOE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang