Dziya dengan setia menunggu Kakaknya dan Nathan mengobrol berdua. Ia melamun di sofa, sibuk memikirkan keputusan yang akan ia ambil. Hatinya semakin ragu untuk berpisah terlebih saat mengetahui Nathan dan Lisa sudah berpisah dan Zayn bukan anak Nathan. Sejujurnya ia tidak tega calon anaknya nanti lahir dan tumbuh tanpa figur seorang ayah.
Suara pintu terbuka membuat Dziya menatap ke depan. Terlihat Jay berada di depan dan Nathan dibelakangnya dengan mata sembab.
"Sudah selesai, Kakak?" Dziya bertanya pada kakaknya.
"Sudah, Dek" Jay mengusap rambut adiknya lembut.
"Dek, Kakak akan keluar sebentar. Kamu sama Nathan dulu ya" Jay hendak memberikan waktu berdua bagi pasangan yang tengah berjuang ini.
"Kemana Kakak?" Tanya Dziya, karena ia takut untuk ditinggal kakaknya.
"Beli makanan, kamu mau nitip?" Alasan logis dikeluarkan Jay.
"Aku nitip burger dan kentang goreng saja Kakak, aku ingin memakannya nanti" pesan Dziya.
"Baiklah, nanti kakak belikan" Jay pamit, sebelum itu ia mengecup kening Dziya dan menepuk pundak Nathan.
Suasana hening menyelimuti mereka berdua, ragu-ragu menguasai mereka untuk mengungkapkan kata.
"Dziya"
"Nathan" ucap mereka berbarengan."Kamu duluan" Nathan mempersilahkan Dziya untuk berbicara terlebih dahulu namun dibalas gelengan kepala oleh perempuan itu.
"Kamu saja" perintah Dziya.
"Baiklah, begini. Dziya, besok adalah jadwal mediasi, aku mohon pikirkan baik-baik keputusan yang akan kamu ambil. Jujur aku tidak ingin berpisah denganmu dan aku tahu kamu juga mulai ragu untuk berpisah kan? Terlihat dari pancaran mata kamu yang memancarkan keraguan. Tolong pikirkan matang-matang, jangan hanya karena ego kamu untuk berpisah denganku kamu sampai melupakan ada malaikat kecil yang harus kita berdua jaga, bagaimana pun ia butuh ayah, Dziya." Ucap Nathan sembari mengelus perut Dziya yang masih rata.
"Nathan.." lirih Dziya. Ia merasa tenang saat Nathan mengelus perutnya, entah kenapa hati yang semula beku itu kini mulai mencair kembali namun bersamaan dengan luka-luka yang kembali menghantui.
"Aku tahu luka kamu begitu dalam aku torehkan, namun percayalah aku juga yang akan menjadi obat bagimu. Maafkan aku, ya? Pikirkanlah baik-baik." Nathan menggenggam kedua tangan Dziya, dikecupnya lama tangan yang dulu selalu membelainya.
"Aku pamit, sekali lagi pikirkan baik-baik." Nathan bangkit, ia keluar dari apartemen Dziya.
Kini Dziya menangis tergugu, ia kembali merasakan kehangatan dari Nathan. Ia memang merindukan sikap-sikap Nathan juga perlakuan baiknya, ia nyaman diperlakukan seperti itu. Ditatapnya bekas kecupan di punggung tangannya, ia memeluk tangannya sendiri seolah ia memeluk Nathan. Dikecupnya punggung tangan tepat di bekas bibir Nathan,
"Aku merindukanmu, Nathan." Isaknya.
"Aku memang tidak ingin berpisah denganmu, namun luka-luka ini kembali menganga saat aku menatap wajahmu" isakan itu semakin terdengar pilu.
Keesokan harinya, Dziya sudah siap dengan tampilan rapinya. Dress selutut berwarna cream dengan gradasi putih menutup tubuhnya, dengan rambut yang dibiarkan terurai menjadikannya wanita anggun nan menawan. Jay dengan setia mendampingi sang adik, ia berjalan di sampingnya dengan kaos putih, celana dan jaket hitam juga topi yang bertengger di kepalanya. Ia memang tidak suka warna-warna cerah.
Mereka berjalan di lobby apartemen, terlihat Nathan yang sudah duduk di mobilnya.
"Nathan" tunjuk Dziya
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...