NASIHAT SAHABAT

1.2K 89 4
                                    

Nathan terus melamun. Dipandanginya langit gelap diatasnya, tidak ada bintang. Sepi, seperti hatinya kini. Tak dirasakannya udara malam yang menusuk kulit. Ia larut dalam pikirannya.

Ucapan Dziya terus terngiang-ngiang di kepalanya. "Aku lelah mencintai sendirian". Memikirkannya membuat ia semakin merasa bersalah. Teringat ucapan Justin saat latihan tadi pagi.

"Nath, bagaimana hubunganmu dengan Dziya?. Justin menutup botol minumnya kemudian duduk di samping Nathan.

"Sama seperti sebelumnya, tak ada yang spesial", Nathan menjawab sembari mengelap keringatnya.

"Tetap dingin seperti di awal?"

"Tidak, hubungan kami mulai menghangat. Aku kagum pada sikapnya yang perhatian pada kedua orangtuaku, keluargaku, juga padaku. Tutur katanya, perilakunya yang lemah lembut membuatku mencoba memberikan kesempatan untuknya."

"Hanya sebatas kagum? Lalu bagaimana dengan cinta?

Nathan tersedak oleh minumannya.
Cinta? Entahlah. Ia bingung, seakan cinta untuk Dziya? Benarkah ia sudah mulai merasakan cinta? atau hanya sebatas rasa kagum seperti kata Justin.

Nathan semakin terhanyut dalam lamunannya. Hingga ia tidak sadar Thom sudah berada di belakangnya.

"Nath, kau tidak akan masuk? Udara malam tidak baik untuk kesehatan." Thom Haye menepuk pundak Nathan. Ia menoleh, lalu kembali menatap langit.

"Kau ada masalah? Apakah ini tentang Dziya? Cerita lah padaku, aku siap mendengarkan", kini Thom duduk di sampingnya.

"Bagaimana cara kita mengembalikan kepercayaan orang yang telah kita sakiti berkali-kali?." Nathan akhirnya bersuara setelah hening yang menerpa.

"Siapa yang kau sakiti? Dziya?" Tanya Thom.

"Aku hanya memerlukan jawaban atas pertanyaan ku tadi, kau tak perlu tahu siapa orangnya. Itu privasi ku."

"Oke, maaf"

"Menurut ku, memang sulit mengembalikan kepercayaan orang yang telah kita sakiti. Apalagi bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Hatinya pasti sudah terlampau sakit. Sudah mencoba memberikan kesempatan, berharap orang yang menyakitinya berubah. Namun semuanya sia-sia. Bukan bahagia yang didapat, justru luka yang kembali harus ia sembuhkan." Thom membernarkan posisi duduknya. Nathan menghela nafas mendengar ucapan Thom.

"Namun, ada satu cara...." Lanjut Thom

"Apa itu?" Potong Nathan.

"Sabar bro, jangan memotong ucapan ku", Thom tersenyum sembari menggelengkan kepalanya melihat Nathan begitu tak sabaran.

"Caranya, kita harus benar-benar berubah. Berikan ia cinta dan kasih sayang, beri ia perhatian, tidak harus langsung yang signifikan, namun perlahan. Karena terkadang perhatian-perhatian kecil bisa membuat hati kembali bersemi, kebahagiaan mulai muncul dan pastinya kepercayaan yang awalnya hilang, perlahan akan muncul kembali. Dan pastikan hindari pembicaraan yang membuatnya kembali bersedih, selalu ajak ia berkomunikasi, puji dia, ajak ia berlibur berdua barang sebentar, ini untuk memberikan kesan romantis dan mengembalikan kepercayaan dirinya. Juga kau harus sering-sering berkontak fisik dengannya, usapan lembut, atau pelukan yang membuatnya nyaman. Perlahan-lahan ia akan kembali seperti semula."

Thom berbicara panjang lebar, layaknya orang tua yang menasihati anaknya. Nathan menyimak dengan baik, ia bertekad akan berubah dengan sungguh-sungguh.

"Bagaimana? Aku harap kau mengerti ucapan ku"

"Ya, aku mengerti. Terimakasih Thom, aku akan melakukan semua yang kau ucapkan". Nathan menatap sahabatnya itu dengan senyuman. Senyuman yang sejak tadi hilang entah kemana.

"Baiklah sama-sama. Aku harap masalahmu cepat selesai. Ayo kita masuk, udara semakin dingin. Kita harus beristirahat, besok latihan terakhir sebelum bertanding." Thom bangkit dari duduknya, ia mengajak Nathan masuk.

"Oke, ayo" Nathan menurut. Kini mereka sudah terlelap.

Sementara di apartemennya, Dziya sedang termenung. Ia memikirkan permintaan maaf yang Nathan ucapkan.

Entah apa yang harus ia perbuat, disisi lain ia ingin memaafkan suaminya. Sedangkan di dalam hatinya, luka yang ditorehkan Nathan masih menganga lebar.

"Nathan, mengapa kamu seperti ini? Dimana Nathan ku yang dulu, yang perhatian, tutur katanya lembut, tak pernah menyakiti wanita. Tapi kenapa kamu sekarang berubah? Apa karena kamu terpaksa menikahi ku?" Dziya berbicara sendiri.

Ia pandangi langit di atasnya. Isi pikirannya membuatnya kembali menangis.

"Jika benar kamu terpaksa menikahi ku, kenapa kamu tidak menolaknya. Hikksss. Kenapa kamu terima jika kamu hanya bisa menyakiti ku saja, Nathan. Kenapa? Hiksss"

Hatinya terlampau sakit, ia tak mampu untuk sekedar memaafkan kembali suaminya. Entah sudah berapa kesempatan yang ia berikan, namun lagi-lagi luka yang Nathan berikan.

"Permintaan maaf mu tadi, aku harap bukan hanya sekedar formalitas saja. Aku harap kamu benar-benar serius Nathan."

Dziya masuk ke dalam kamarnya. Ia mulai berbaring. Namun saat matanya akan terpejam, seseorang memencet bel apartemennya.

"Siapa yang bertamu malam-malam begini." Dziya bangkit, ia rapikan penampilannya sebelum membukakan pintu.

"Hallo, menantuku" seseorang di depannya memeluk Dziya dengan erat. Dziya yang belum siap sampai terhuyung ke belakang.

"Mama" Dziya hanya mampu mengucapkan itu. Ia syok, kenapa mertuanya ini tiba-tiba datang? Apakah keluarga Nathan sudah tahu permasalahan antara ia dan anaknya itu?. Jika benar entah apa yang ia harus lakukan.

"Iya sayang, ini Mama. Mama datang bersama Papa. Kamu tahu kan besok lusa Nathan akan melakukan debutnya bersama Timnas Indonesia. Dan kita semua akan menontonnya." Melinda berbicara sambil memeluk Dziya.

"Ah, iya. Mama datang ke sini sendiri? Dimana Papa?" Dziya melongok ke belakang, namun tidak ada siapa-siapa.

"Papa tidur di hotel, Sayang. Mama datang sendiri ke sini untuk tinggal bersama mu selama di Indonesia." Melinda menjelaskan sembari melepaskan pelukannya pada Dziya.

"Ah, ya. Baiklah, mama ayo masuk" Dziya mempersilahkan mertuanya itu masuk.

"Mama mau minum?" Dziya bertanya begitu mereka sampai di ruang tengah.

"Tidak usah sayang, mama ingin langsung beristirahat saja." Melinda menolak.

"Baiklah, Mama. Kamar Mama ada di sebelah sana, atau jika Mama mau tidur bersama ku, aku tidak masalah " Dziya menunjuk sebuah kamar di depannya.

"Mama tidur sendiri saja, Nak. Baiklah Mama akan ke kamar sekarang. Selamat malam" Melinda bangkit. Namun baru dua langkah ia kembali membalikan badannya.

"Nathan datang ke sini? Apakah kalian baik-baik saja? Mama lihat muka mu seperti sendu begitu "

Deg! Dziya kaget. Ia tak menyangka mertuanya itu akan berbicara seperti itu.

"Iya, Nathan mengunjungi ku ke sini, kami baik-baik saja, Mama. Dan muka ku ini mungkin efek karena aku mengantuk." Tentu saja Dziya jawab dengan kebohongan. Mana mungkin ia berbicara jujur, bisa-bisa membuat mertuanya ini sakit. Tidak, ia tak tega.

"Ya sudah, Mama bersyukur jika kalian baik-baik saja. Mama ke kamar ya sayang, kamu juga istirahat sekarang. Dadah, selamat malam."

Melinda sudah masuk ke kamarnya, begitupun dengan Dziya. Ia masih terjaga, matanya enggan terpejam. Ia masih memikirkan hal yang akan terjadi esok dan seterusnya.

Apakah hubungannya dengan Nathan akan membaik? Apakah hubungannya akan lanjut? Atau ia akan menyerah dan lepas dari Nathan karena rasa sakitnya? Entahlah ia tak tahu.

Setelah lelah berfikir, ia akhirnya terlelap dengan tenang.

NATHAN TJOE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang