RENCANA PINDAH

1.4K 82 20
                                    

Hubungannya dengan Dziya semakin membaik, bukan berarti Nathan melupakan Lisa. Ia masih sering menghubungi istri rahasianya itu. Apalagi melihat perkembangan Zayn yang sekarang mulai belajar berjalan membuat rindu ingin bertemu semakin menggebu.

Seperti hari ini, tidak ada jadwal latihan. Dziya yang sibuk dengan pekerjaannya membuat Nathan tidak jadi mengajaknya keluar.

"Kamu benar-benar tidak ingin keluar bersamaku, Dzi?" Nathan kembali bertanya. Entah berapa kali pertanyaan ini ia ucapkan.

"Aku sudah jawab dari tadi, Nathan. Aku ingin pergi tapi pekerjaan ku tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku titip makanan saja ya" balas Dziya.

"Baiklah, kau ingin menitip apa?"

"Martabak manis rasa coklat 1 ya"
Canda Dziya.

"Ahh kamu ini, bagaimana mungkin di Belanda ada martabak" Nathan memelas.

"Tapi aku ingin" balas Dziya dengan sendu. Ia senang sekali mengerjai Nathan. Apalagi melihat wajahnya yang memelas itu, uhh gemasnya.

"Baiklah, akan aku usahakan." Nathan berbalik. Namun baru dua langkah ia kembali memandang Dziya.

"Kamu benar-benar ingin martabak?" Nathan memastikan. Ia harap Dziya hanya bercanda, susah sekali mencari penjual martabak di Belanda. Dan apakah ada yang berjualan. Dia bingung.

"Hahaha, tidak Nathan. Aku bercanda. Mana mungkin di Belanda ada martabak, kalau pun ada itu entah dimana. Dziya tertawa melihat wajah Nathan yang memelas.

"Ahh kamu ini, aku tadi panik dan bingung harus mencari orang yang berjualan martabak di sini." Nathan mendekati Dziya dan memeluknya.

"Hehe, maafkan aku. Sudah sana pergi katanya tadi mau keluar."

"Baiklah, jadi makanan apa yang kamu titip? Jangan yang susah ya" mukanya kembali memelas.

"Bawakan pizza saja oke" Dziya mengedipkan matanya.

"Baiklah" Nathan melepaskan pelukannya dan mengecup kening Dziya.

Nathan pergi sendirian ke salah satu restoran. Ia memilih private room agar ia lebih leluasa.

Ia kini menghubungi kontak "LIM WI" dan menekan ikon telepon. Itu bukan nama kontak lelaki, melainkan adalah kontak Lisa. LIM WI adalah singkatan dari Lisa My Wife. Haha lebay memang, tapi ia melakukan itu untuk menjaga rahasianya.

Panggilan terhubung, yang semula panggilan telepon kini beralih menjadi panggilan video.

"Hallo, Nath. Bagaimana kabarmu? Tanya Lisa di sebrang sana.

"Aku baik, Babe. Dimana Zayn?"

"Ada, lihat dia sedang berpegangan pada sofa. Kini ia sudah bisa berdiri sendiri dan belajar berjalan dengan berpegangan pada benda yang ada" Lisa mengarahkan kamera pada anaknya.

Bibir Nathan melengkung, ia tersenyum. Ahhh begitu menggemaskan anaknya itu.

"Lalu bagaimana hubunganmu dengan Dziya? Apakah kalian semakin dekat?" Tanya Lisa tiba-tiba yang membuat senyum di bibir Nathan menghilang.

"Kenapa kamu menanyakan hal itu?"

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja" balas Lisa cepat.

"Ya. Hubungan kami mulai membaik, dan kami mulai dekat sekarang. Namun, jangan khawatir aku tetap mencintaimu dan aku belum menemukan cinta padanya. Entahlah. Mungkin" jawab Nathan.

"Baguslah, eum Nathan... Aku ingin bilang padamu, aku..." Ragu Lisa

"Bilang apa, kenapa kamu ragu?" Nathan penasaran.

"Aku... Aku ingin pindah ke Belanda. Aku.., aku.., aku.., aku ingin lebih dekat denganmu" Lisa mengungkapkan keinginannya.

"APA? Tapi bagaimana bisa? Kau tau kan keluargaku ada di sini, bahkan ada Dziya juga. Bagaimana kalau rahasia kita terbongkar?" Nathan terkejut mendengar permintaan Lisa. Ia memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti bila Lisa dan Zayn benar-benar pindah.

"Ayolah Nathan, Belanda itu luas. Aku tidak akan tinggal di Rotterdam. Aku tinggal saja di Amsterdam, mereka pasti tidak akan mengetahuinya. Percayalah padaku." Lisa berusaha membujuk dan meyakinkan Nathan.

"Baiklah, aku akan memikirkannya" putus Nathan kemudian mematikan panggilan.

Nathan pulang ke rumah dengan wajah lesu. Seharian menghabiskan waktu di luar telah menghabiskan banyak energinya. Bukan habis karena jalan-jalan melainkan karena memikirkan perkataan Lisa. Ia lihat Dziya yang sedang memasak di dapur. Ia letakkan pizza pesanan sang istri di atas meja. Ia peluk Dziya dari belakang dan meletakkan wajahnya di dagu sang istri.

"Hey, kau mengagetkanku Nathan,", Dziya terlonjak dengan pelukan Nathan yang tiba-tiba.

"Eumm, biarkan seperti ini beberapa saat" Nathan semakin erat memeluk Dziya dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Dziya.

Setelah beberapa saat, Dziya mematikan kompor dan membalikkan tubuhnya menghadap Nathan.

"Hey, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat lesu seperti itu? Ceritakan padaku." Dziya menangkup pipi Nathan

"Tidak apa-apa" Nathan membalas seadanya.

"Apa ini gara-gara aku? Karena aku tidak bisa keluar denganmu tadi?" Dziya bertanya sembari menunduk.

"Hey, tidak. Ini bukan karena mu. Aku hanya sedikit lelah saja setelah keluar tadi. Maafkan aku, kamu jadi khawatir." Nathan memeluk Dziya.

"Syukurlah. Sebaiknya kamu mandi kemudian kita akan makan malam bersama, aku akan menyelesaikan masakan ku sekarang."

"Baiklah, oh iya, pizza pesanan mu aku letakkan di meja. Makanlah" Nathan menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri.

"Iya, terimakasih. Aku akan memakannya nanti setelah kita makan malam." Balas Dziya cepat.

Makanan sudah tersaji, Nathan dan Dziya duduk saling berhadapan. Kini mereka memulai makan malam.

"Aku akan pergi ke Indonesia 3 hari lagi". Dziya berucap di sela-sela makannya.

"Indonesia? Untuk apa?" Tanya Nathan.

"Ada pertemuan penting dengan rekan bisnis ku. Mereka ingin melihat pertambangan yang berada di Indonesia. Jadi aku harus menemui dan menemani mereka", Jelas Dziya panjang lebar.

"Baiklah, tapi tidak akan ada Harry kan di sana?"

"Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan Harry?" Heran Dziya atas pertanyaan yang dilontarkan Nathan.

"Euh, tidak apa-apa. Hanya saja aku tidak suka bila melihat mu bersama dia. Dia sepertinya bukan orang baik-baik." Ada nada tidak suka dalam ucapannya.

"Kenapa kamu dapat mengatakan itu? Sedangkan kalian saja baru bertemu pertama kali saat di Swiss. Apakah kalian sebelumnya pernah bertemu satu sama lain? Atau kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" Dziya penasaran pada ucapan suaminya.

"Euh.., euhh.., bu-bukan seperti itu. Maksudku, euh.. aku hanya tidak suka saja saat kau bersamanya. Itu saja. Dan kami memang tidak saling mengenal." Jawab Nathan panik.

"Baiklah, kau boleh pergi. Hati-hati saat perjalanan. Dan ya, tunggu aku. Karena satu Minggu lagi aku akan menjalani sumpah WNI ku bersama kedua temanku, Thom dan Ragnar".

"Baiklah, terimakasih. Aku akan menunggumu. Dan pastinya menantikan debut mu untuk Timnas bersama Kakak ku pastinya." Dziya tersenyum. Kemudian membereskan bekas makan malam mereka.

Kini mereka sudah berada di kamarnya. Dziya sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Sedangkan Nathan, matanya masih terbuka sembari keningnya berkerut.

"Dziya akan pergi ke Indonesia 3 hari lagi. Keluargaku pun akan berlibur ke Maldives dalam beberapa hari. Itu artinya kesempatan ku untuk mengurus kepindahan Lisa ke Belanda. Jarak yang dekat semakin membuatku lebih leluasa untuk menuntaskan rinduku pada Zayn.
Aku harap keputusan ku ini tepat, semoga rahasia ini tidak terbongkar. Dan aku harap, aku dapat berlaku adil pada mereka. Semoga" batin Nathan.

Setelah lelah memikirkan rencana dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila Lisa dan Zayn pindah ke Belanda. Akhirnya Nathan menyusul Dziya ke alam mimpi.

NATHAN TJOE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang