KOMA DAN KENANGAN

614 81 9
                                    

Matanya terus menatap pada seseorang yang terbaring lemah di dalam sana. Tangannya meraba kaca penghalang, mengusapnya seolah-seolah sedang membelai pipi sang pujaan. Setetes air meluncur dari sudut matanya, tenggorokannya tercekat susah untuk mengatakan isi hatinya.

"Sayang, bangunlah. Lihat, putri cantik kita sudah lahir. Dia cantik sepertimu, bulu mata yang lentik, kulit putih dengan sedikit lesung pipi di kedua pipinya. Sadarlah sayang, tidak ingin kah kamu melihat anak kita? Kamu selalu bilang kepada Mas bahwa kamu ingin segera bertemu dengannya. Lihat, sekarang ia sudah lahir dan kamu malah tidak membuka matamu? Ayolah sayang, Bangun." Suara hatinya berhenti, ia tak kuasa menahan tangisnya. Bahunya bergetar, isakan mulai terdengar, Nathan menjadi pria lemah sekarang.

"Sayang bangunlah, lihat lah putri cantik kita sudah lahir. Dia persis sepertimu, bulu mata yang lentik dan kulit yang putih serta lesung di kedua pipinya menjadikannya ia anak manis, kamu tahu? Dia tersenyum saat Mas menyebut nama kamu, Sayang. Sadarlah sayang, ayo kita lihat anak kita bersama-sama. Kamu tidak ingin bertemu Navya? Ah iya, mas menamainya Navya Angeline Tjoe A On, sayang. Nama yang telah kita sepakati sebelumnya, dimana kamu menertawakan Mas karena menyebutkan kepanjangan dari Navya. Navya -Nathan love Dziya hahaha. Mas juga menamainya Angeline karena disana terdapat doa agar semoga anak kita nanti benar-benar menjadi malaikat penolong bagi sesama, tidak memandang kasta dan harta, berhati baik dan berakhlak mulia. Untuk Tjoe A On, kamu tahu kan itu marga Mas? Nama itu menjadi bukti bahwa ia benar-benar anak Mas, sayang. Bangunlah, sayang Navya ingin bertemu dengan Mamanya, ia ingin segera mendapatkan ASI darimu, ia ingin berdekatan denganmu, bangunlah Sayang." Nathan tak kuasa melanjutkan ucapannya, ia menangis tergugu di depan pintu ruangan Dziya. Hatinya sakit melihat sang istri terbaring lemah dengan segala alat memenuhi tubuhnya, hatinya perih mendapatkan kenyataan bahwa istrinya koma dan anaknya di inkubator untuk bertahan hidup. Hatinya teriris begitu sadar bahwa anaknya tak akan mendapatkan sumber kekuatan pertama dari sang istri karena ia masih koma. Tuhan, tolonglah.

Sebuah tangan menepuk pundaknya, Nathan berbalik dengan air mata yang membanjiri pipinya apalagi ketika melihat orang yang tadi menepuknya maka tak kuasa ia menahan air matanya. Dipeluknya sang ibu dan mulai menangis di sana. Tak dipedulikannya jika ada orang ataupun media yang tahu bahwa ia menangis sekarang. Ia rapuh. Melinda  mengusap rambut anaknya lembut, berusaha menyalurkan kekuatan untuk pria rapuh didepannya. Begitupun dengan Romeo, ia maju dan memeluk anaknya dari belakang. Memberikan kekuatan dan nasihat-nasihat agar anaknya tetap tegar dan kuat agar ketika Dziya sadar nanti dirinya tak menampakkan diri sebagai lelaki lemah.

"Sudah dua hari, Ma. Sudah dua hari Dziya tidak sadarkan diri. Kapan ia akan sadar? Aku merindukannya? Navya membutuhkannya" Nathan tergugu membuat Romeo dan Melinda yang mendengarnya menjadi ikut sakit.

"Sabar, Mama yakin Dziya akan sadar. Ia hanya beristirahat sebentar dari rasa sakitnya, tenang ya?" Melinda berusaha menenangkan Nathan, ia tidak tega melihat anaknya serapuh  ini.

"Hey, dimana Nathan yang selalu ngedumel? Dimana Nathan yang kesabarannya setipis tisu? Dimana Nathan yang kuat? Dimana Nathan yang tegas? Papa tidak melihatnya sekarang, kenapa ia bisa serapuh ini? Nak, dengarlah.. Tuhan menyuruh istrimu untuk beristirahat sejenak, ia memberikan waktu tidur untuk mengganti waktu tidurnya yang tidak teratur selama masa kehamilan. Dan kamu tahu? Papa yakin Dziya akan kembali dengan senyuman saat melihat suami dan anaknya setia berada di sisinya. Kuat ya?" Romeo mengecup kepala belakang Nathan.

Nathan melepaskan pelukannya, kembali menatap Dziya dengan penuh cinta dan kerinduan. Air mata yang hendak menetes ia hapus, tidak ingin menunjukkan kerapuhan nya kepada sang istri meskipun ia tahu istrinya itu tidak akan melihatnya.

"Mas menunggu mu Sayang" lirihnya sendu.

---

Urusan dengan Lisa telah selesai, kini Jay tengah berada di taman rumah sakit dengan sebuah foto ditangannya. Diusapnya setiap wajah yang berada di dalam foto tersebut, matanya mengembun, kerinduan menyeruak masuk ke dalam hatinya, setetes air mata berhasil jatuh tepat mengenai wajah seorang anak berumur 3 tahun di dalam foto. Buru-buru ia mengusapnya, mengecupnya cukup lama yang membuat tangisnya tak terbendung.

"Dziya, sadarlah....." Gumamnya sendu.

Dilepaskan kecupannya dari foto, kembali memandangi setiap wajah yang tercetak disana. Dia berada ditengah diapit oleh kedua orang tuannya dengan Dziya yang berada di pangkuannya. Angannya kembali ke masa-masa dimana orang tuanya masih ada, dengan ia yang selalu mengusili Dziya dan berujung dimarahi oleh sang Papa.

"Papa.... Lihat, kak Jay mengambil coklat ku" Dziya mengadu pada seorang pria yang kini tengah berkutat dengan laptopnya. Pandangannya ia alihkan, nampak anak perempuannya yang berumur 5 tahun itu mengadu dengan air mata yang berlinang.

"Sayang, tidak apa-apa. Berbagi dengan kakak itu baik, nanti Papa belikan lagi ya?" Jery mengusap air mata di kedua pipi sang anak. Merapikan kembali rambutnya yang berantakan dan berusaha memberikan pengertian.

"Ta-tapi Kakak mengambil semua coklatnya, Papa. Dzi hanya disisakan dua biji saja" matanya kembali mengembun membuat gemas pada Jery.

"Benarkah? Biar Papa panggilkan Kakak ya? Dzi-dzi tenang okey?" Jery bangkit, menuju sang anak lelaki yang kini tengah bermain bola.

"Kak, kemari!" Panggilnya. Jay kecil melirik, menatap sang Papa yang raut wajahnya serius. Dia tahu kesalahannya, dan dia tidak akan mengelak. Dengan keberaniannya, Jay berjalan menuju sang Papa yang menunggunya di depan pintu belakang. Mengusap sedikit peluh di keningnya kemudian masuk dan menghadap sang Papa.

"Kakak tahu kesalahan apa yang dibuat?" Jery langsung memberikan pertanyaan kepada sang anak lelaki. Sementara Dziya kecil kini duduk di samping sang Papa dengan menyembunyikan wajahnya di ketek Jery.

"Kakak tahu, Pa." Jawab Jay lirih. Jay melirik Dziya yang tersenyum dibalik ketiak sang Papa, ia tahu adiknya itu mengadu.

"Apa kesalahannya?" Jery kembali bertanya untuk melihat kejujuran pada diri anaknya.

"Kakak mengambil coklat milik adik, maaf Pa" Jay dengan tegas menjawab dan meminta maaf. Jery tersenyum, sebenarnya ia tidak masalah pada anaknya ini namun ia ingin menanamkan sikap tanggung jawab dan kejujuran pada diri kedua anaknya.

"Baiklah, kakak tahu apa yang harus kakak lakukan?" Kini Jery mengangkat Dziya ke pangkuannya, menatapnya sebentar lalu kembali beralih kepada sang anak lelaki. Jay berlari ke kamarnya, membuat Jery keheranan.

"Mau kemana anak itu?" Gumamnya.

Tak sampai dua menit, Jay sudah kembali dengan menyembunyikan tangan dibelakang tubuhnya. Senyuman ia berikan kepada sang Papa dan adiknya yang ternyata masih menunggunya.

"Maafkan Kakak karena sudah lari tanpa minta izin dulu, Pa." Jay menunduk. Ia kemudian menuju sang Papa, berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan sang adik kemudian menyodorkan sebuah kotak yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya.

"Ini untuk Adik, Maafkan Kakak ya, karena kakak sudah menghabiskan coklat milik kamu" Jay tersenyum menampilkan kedua lesung di kedua pipinya.

"Apa ini?" Tanya Dziya sumringah

"Coklat" Jay menjawab.

"Terimakasih, Kakak. Dzi-dzi sayang Kakak" Dziya turun dari pangkuan sang Papa, kemudian memeluk Jay dengan eratnya.

"Ini baru anak-anak Papa" Jery memeluk kedua anaknya. Seseorang melihat interaksi itu dari jauh, air mata menggenang di pelupuk matanya. Mendekati tiga orang kesayangannya, dan berdiri tepat dibelakang mereka.

"Peluk pelukan tapi Mama tidak diajak" ucap Lany yang berhasil membuat ketiga orang itu mengalihkan pandangannya.

"Mama..." Seru kedua anaknya, mereka kini beralih memeluk Lany disusul oleh Jery yang memeluk ketiga orang kesayangannya.

--

Jay mengusap air matanya, itu adalah salah satu momen yang paling ia suka. Sebenernya banyak sekali momen yang ia dapatkan bersama kedua orang tuanya dan juga adiknya. Kini ia berdoa, berharap adiknya selamat dan dapat bertemu anaknya.

"Pa, Ma. Anak perempuan kalian kini sudah menjadi Ibu, dia memiliki anak perempuan sama cantiknya seperti wajahnya. Kini ia sedang berjuang, mempertaruhkan nyawa, doakan semoga ia segera sadar dan bertemu dengan anaknya, Navya." Jay memeluk foto tersebut, memejamkan matanya membayangkan kedua orang tuanya memeluk dirinya

NATHAN TJOE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang