Matahari malu-malu untuk menampakkan sinarnya, embun-embun seakan enggan untuk menyentuh bumi, burung-burung hendak keluar dari sarangnya menyambut pagi yang masih temaram ini. Nathan tersenyum memandang pemandangan indah didepannya, tangannya sibuk mengelus pipi yang mulai tampak chubby itu, memandangi wajah sang istri memang menjadi candu untuknya kini.
Merasakan elusan di pipinya, mata itu perlahan terbuka, nampak wajah tampan seorang pria tersenyum kearahnya. Senyuman terbit dari bibirnya, rupanya mahluk ciptaan Tuhan yang sekarang menjadi miliknya sedang memandangnya. Tangannya terulur untuk mengelus jambang sang suami, kepalanya mendekati wajah sang suami, tanpa aba-aba bibirnya sudah menempel di bibir Nathan. Entah apa yang merasukinya hingga ia bisa mengecup suaminya terlebih dulu.
"Maaf, Mas" Dziya tersadar ia begitu agresif, tapi inilah yang ia inginkan. Malu menguasai dirinya, ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Nathan.
Sedangkan Nathan hanya terkekeh melihat wajah malu-malu istrinya, ia juga tidak menyangka Dziya akan mengecupnya terlebih dahulu. Dipeluknya tubuh sang istri, menghibur dia agar tidak malu lagi.
Day off setelah pertandingan dimanfaatkan Nathan untuk menghabiskan waktu bersama Dziya. Kalian ini mereka akan memeriksa kandungan Dziya yang rutin setiap bulan mereka lakukan. Sudah hampir 30 menit Nathan menunggu Dziya yang masih bersiap-siap namun belum juga keluar, kenapa lama sekali? Akhirnya ia memutuskan untuk menemui istrinya di kamar, terlihat Dziya yang masih memilih pakaian yang hendak dipakainya.
"Lalu sejak tadi dia ngapain?" Nathan menghembuskan nafasnya kesal karena sudah menunggu begitu lama.
"Sayang, kenapa lama sekali hm?" Nathan mengambil inisiatif untuk bertanya kepada Dziya dengan nada lembut meski hatinya kesal.
"Mas, bagusan yang mana? Warna biru dengan gradasi putih atau biru tanpa gradasi?" Dziya mengangkat pakaiannya tepat di depan muka Nathan.
"Waduh, perasaanku tidak enak" ucapnya dalam hati. Ia tahu wanita hamil saat bertanya seperti ini maka tidak akan pernah benar, kita menunjuk yang satu namun ia menginginkan yang satunya lagi sehingga bisa memicu pertengkaran juga rasa merajuk dan Nathan terjebak dalam situasi itu sekarang.
"Eumm...." Nathan berpikir keras jawaban yang menurutnya tidak akan membuat Dziya marah, ia berpikir cukup lama hingga membuat Dziya kesal.
"Mas, kenapa lama mikirnya, ayo yang mana?" Dziya kembali mengangkat pakaian ditangannya.
"Yang gradasi bagus, sayang. Itu cocok untuk kamu dan kulit kamu akan nampak cerah" jawab Nathan. Ia berharap apa yang ia ucapkan tadi tidak membuat Dziya tersinggung. Namun hadapannya sia-sia, ia melihat Dziya mulai menunduk.
"Jadi kalo aku pake warna lain kulitku aku kusam gitu?" Matanya mulai berkaca-kaca, Nathan panik melihat reaksi Dziya.
"Eh tidak sayang, kamu cantik memakai semua baju apapun. Jangan menangis ya, sekarang pakai pakaian yang kamu suka saja okay?" Nathan mengecup pipi Dziya kemudian meninggalkannya karena takut akan disuruh memilih lagi.
"Huftttth, memang perempuan itu ribet apalagi kalo moodnya lagi gak bagus" ucapnya pelan, ia kembali menunggu.
Sepuluh menit kemudian Dziya keluar dengan penampilannya yang sederhana, dress selutut berwarna putih. Tunggu? Putih? Memang susah ditebak perempuan ini. Nathan memandang istrinya dengan senyuman, ia begitu terpesona dengan kecantikan sang pujaan, rambut yang digerai menjadikan kecantikannya semakin terpancar.
"Kamu cantik sekali, Sayang" ucapnya tulus.
Pipi Dziya bersemu kemerahan, ia tersipu. Setelah godaan yang dilontarkan suaminya, mereka akhirnya pergi menuju dokter kandungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...