Ini adalah hari keempat dimana Dziya tidak sadarkan diri. Nathan dengan setia menunggu sang kekasih hati. Tak pernah ia pulang ke rumah barang seharipun, ia selalu berada disisi Dziya yang terbaring lemah. Nafasnya teratur dengan bantuan selang oksigen yang menutupi hidung juga mulutnya. Setiap hari ia elus tangan Dziya dengan lembut, menciumnya setiap kali ia selesai mengajaknya mengobrol. Dokter menyarankan untuk selalu mengajaknya berkomunikasi agar Dziya terpancing dan sistim alam bawah sadarnya menyuruh otak untuk segera sadar.
Kembali ia pandangi wajah teduh sang istri, wajah yang belum pernah sama sekali melihat sang buah hati yang telah ia lahir kan. Hatinya kembali berdenyut, sakit. Pikirannya berkecamuk takut-takut istrinya ini akan selamanya menutup mata. Nathan menggelengkan kepalanya berusaha menampik apa yang dipikirkan olehnya. Istrinya akan bangun, istrinya akan kembali sehat dan istrinya akan kembali bersamanya mengurus si kecil hingga ia beranjak dewasa. Dihapusnya air yang menggenang di pelupuk matanya, tersenyum getir memandang Dziya.
"Sayang, sadarlah. Aku tidak sanggup hidup tanpamu. Bukalah matamu, lihat betapa cantiknya anak kita. Kamu pasti akan terpesona padanya, kamu akan gemas sekalipun badannya sangat kecil. Sayang, bangunlah, jangan biarkan anak kita berjuang sendirian. Bantulah ia tumbuh dengan kasih sayang kamu, ia butuh ASI mu, ia butuh pelukanmu, ia butuh senyuman mu. Bangunlah sayang...." Nathan tak kuasa, ia kembali menangis.
"Dziya.... Bangun.... Bangun sayang....." Ucapnya disela-sela tangisnya. Dipeluknya tubuh Dziya, di telungkup kan nya wajah pada celuruk leher sang istri. Nathan benar-benar rapuh.
Di alam bawah sadarnya Dziya menangis, ia mendengar semua perkataan Nathan. Sejak beberapa hari yang lalu ia mendengarnya, ingin sekali ia bangun memeluk suaminya dan melihat wajah sang anak. Namun apa daya, matanya seolah enggan terbuka, perutnya sakit dan ia hanya bisa menangis. Menangis di alam bawah sadarnya.
"Mas, andaikan kamu tahu, aku mendengar semua perkataan mu. Aku mendengar suara tangis mu beberapa hari ini, aku mendengar semua keluh kesah mu, aku mendengar semua pujian mu terhadap anak kita. Aku ingin sadar, aku ingin memelukmu, ingin mengatakan bahwa luka ini sakit, ingin menangis di pelukanmu, ingin mengadu kepadamu, aku ingin menghiburmu juga, dan aku ingin melihat, memeluk dan memberikan ASI untuk anak kita, Mas... Bantu aku... Tuhan, sadarkan aku, berikan aku kesempatan untuk melihat anakku, berikan aku kesempatan untuk memberikan kabar bahwa aku baik-baik saja pada suami dan keluarga ku... Tuhan, dengarkan doaku..." Dziya kembali menangis di alam bawah sadarnya.
Nathan merasakan hangatnya air yang menetes di dekat telinganya. Ia heran dan bingung, air apa ini?. Diangkatnya wajah yang tadi ia sembunyikan di leher sang istri, ia terkejut begitu melihat air mata yang mengalir dari mata sang istri yang terpejam. Ia bingung sekaligus panik, harus melakukan apa dia?
"Sayang? Kamu sadar? Kamu mendengar suara Mas? Sayang?" Nathan menggenggam tangan Dziya, diciumnya tangan itu, air mata kembali menetes dari matanya.
Dirasakannya pergerakan dari dalam genggaman tangannya, mengerjap sebentar kemudian mengalihkan pandangannya pada tangan dia sendiri. Matanya berbinar begitu melihat gerakan samar dari jari sang istri, Nathan tak kuasa menahan senyuman.
"Sayang kamu sadar?" Nathan menatap tak percaya pada apa yang ia lihat. Dia kembali memastikan dan benar saja jari sang istri kembali bergerak samar. Buru-buru ia menekan tombol di belakang brankar sang istri, menekannya secara berulang-ulang agar dokter segera datang.
Tak butuh waktu lama, seorang dokter wanita bernama Jasmine sudah memasuki ruangan tempat istrinya dirawat. Nathan membalikkan badannya, dengan segera menarik tangan sang dokter untuk segera mendekati istrinya.
"Kenapa Tuan? Apa yang terjadi?" Dokter ikut panik saat Nathan menarik tangannya.
"Dokter lihat, tangan istri saya bergerak tadi. Dan dokter lihat? Istri saya mengeluarkan air matanya, apa dia akan sadar, Dokter?" Nathan menjelaskan dan menunjukkan dengan antusias. Dokter dengan segera mengecek apa yang Nathan katakan, menyuruhnya untuk keluar sebentar agar ia fokus pada pekerjaannya.
"Kenapa aku disuruh keluar sih? Timbang ngecek doang" Nathan justru menjadi tidak sabaran, ia mondar-mandir dengan sesekali melongok ke arah jendela. Jay dan kedua orang tua Nathan yang baru tiba dari kantin rumah sakit menjadi heran, ada apa dengan Nathan? Mereka buru-buru mendekat, bertanya apa yang terjadi.
"Apa yang terjadi, Nathan?" Jay ikutan panik, ia menepuk pundak Nathan cukup keras.
"Aww" Nathan mendesis, pasalnya di pundaknya ada bekas luka saat berkelahi dengan Lisa tempo hari.
"Ah maaf, Kakak kekencangan menepuk mu" sesal Jay.
"Kakak tahu?.."
"Tidak" balas Jay cepat
"Aku belum selesai berbicara, kakak...." Nathan kesal, ia mendengus.
"Haha, Maaf-maaf." Jay sedikit tertawa.
"Kakak tahu? Tadi aku mengajak Dziya mengobrol dan setelah itu aku merasakan ada cairan hangat yang mengenai kulitku lalu saat aku melihatnya, rupanya itu air mata Dziya kak. Dziya menangis dalam ketidaksadaran nya." Cerita Nathan antusias. Jay, Romeo juga Melinda tak percaya, mereka kembali memastikan dan dibenarkan oleh Nathan.
"Benar, aku tidak berbohong. Bahkan tadi jari Dziya juga bergerak, aku beberapa kali memastikannya dan benar saja Dziya menggerakkan jarinya. Lalu aku memanggil dokter dan sekarang Dziya sedang diperiksa." Nathan kembali melanjutkan ceritanya, ia melirik ke arah jendela dimana terlihat dokter masih memeriksa istrinya.
"Jika benar ia sadar, maka syukurlah. Mama bahagia mendengarnya" Melinda turut melihat ke arah dimana Nathan memandang.
"Begitupun Papa, Dziya harus melihat anaknya yang cantik itu" Romeo melanjutkan.
Jay? Dia tidak berbicara apa-apa, hanya memandangi sang adik yang kini sedang diperiksa. Ia memegang dadanya, tepat di area jantungnya. Setitik air bening jatuh tepat mengenai tangannya.
"Jika perkataan suami mu itu benar, maka syukurlah. Cepatlah sadar Dek, jangan biarkan orang-orang tersayang mu ini khawatir. Ingatlah Dek, ada suami yang menunggu mu, ada anak yang membutuhkan kasih sayang mu dan ada kami yang merindukan senyuman mu" Jay mengusap air matanya, mengecup tangannya seolah ia sedang menggenggam tangan sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...