Dengan nafas ngos-ngosan Dziya sampai dirumahnya. Dengan segera ia mengeluarkan seluruh belanjaannya dan mengunci pintu setelah ia masuk ke dalam rumah. Jantungnya berdetak kencang, keringat bercucuran sebesar biji jagung, rambutnya berantakan, dan perutnya mendadak sakit.
"Awww" rintihnya dengan tangan memegangi perut. Dengan susah payah Dziya sampai di sofa, disana ia benar-benar merasakan sakit pada perutnya.
"Kenapa dengan perutku ini? Aww sakit sekali, sayang bertahan ya" Dziya terus merintih dan mengusap perutnya yang nampaknya kram itu.
"Mas....aku membutuhkanmu.... Mas... Aku takut..." Dziya mulai menitikkan air mata, ia amat takut saat mengingat kembali kejadian tadi. Kejadian dimana nyawanya hampir terenggut jika ia tidak sigap mendorong sang pelaku.
"Siapa orang itu? Dan kenapa orang itu ingin mencelakai ku?" Dziya menduga-duga siapa orang dengan pakaian serba hitam tadi sambil sesekali meringis karena perutnya masih saja kram.
Dziya meraih handphonenya hendak mengabari Nathan tentang kejadian ini, ia sudah siap hendak menekan tombol gagang telepon namun ia urungkan setelah dipikir-pikir nanti Nathan akan khawatir dan penampilannya menjadi tidak maksimal. Biarkanlah, untuk sementara sampai Nathan pulang Dziya tidak akan keluar rumah sama sekali dan ia akan terus mengunci pintu dan jendelanya.
--
"ARGH SIALAN! BISA-BISANYA IA LOLOS. AWAS SAJA KAU WANITA PEREBUT, TAK AKAN KUBIARKAN KAU HIDUP DENGAN TENANG! NASIBMU HARUS SAMA DENGANKU! KAU HARUS MENDERITA!" Teriaknya dengan nada amarah sambil melemparkan barang yang ada didekatnya.
"TIDAK! AKU KELIRU, BUKAN KAU HARUS MENDERITA TAPI KAU HARUS MATI DZIYA! KAU HARUS MATI!!!!" Teriakannya menggema hingga seluruh penjuru ruangan, ia mulai menangis dengan sesekali tertawa.
Seseorang itu berdiri didepan cermin, mulai membuka penutup wajahnya secara perlahan yang mulai menampakkan bekas luka sayatan di pipinya. Senyuman yang terlihat seram memantul di cermin, ia mengusap lukanya dari ujung ke ujung.
"Luka ini tidak seberapa, tapi luka pada bagian ini.." tunjuk nya pada dada sebelah kirinya.
"...amat menyakitkan" sambungnya.
"TUNGGULAH AKU, SANG AJAL PENJEMPUT BAGIMU! HAHAHAHAHA" Tawa yang didalamnya terdengar amat frustasi, luka, dan kebencian menjadi satu. Ia berlalu dan membuka sebuah peti dengan bahan pengawet didalamnya. Diambilnya sebuah benda kotak kecil dan membukanya, disana terdapat sebuah potongan daging panjang yang nampaknya diawetkan.
"Alat inilah yang menjadi akhir dari kisah cintaku! Aku memang terbuai dalam permainannya namun gara-gara alat ini, hubunganku hancur dan aku ditinggalkan!" Geramnya dengan tangan kanan yang memegang potongan alat kelamin pria. Ya, alat kelamin pria.
Dirinya masuk ke dalam kamar kemudian melucuti semua pakaian yang dipakainya menjadikan dirinya bertelanjang bulat. Membaringkan tubuhnya di ranjang kemudian mulai memainkan potongan alat kelamin itu di inti tubuhnya. Nampaknya ia benar-benar psikopat yang memiliki fantasi seksual yang liar.
Suara desahan menggema akibat permainannya sendiri, ia menyerukan sebuah nama yang nampaknya amat ia rindukan, dengan air mata yang mengalir setiap penyebutan itu.
"Eungh... Ah terus Babe, a-aku menikmatinya..." Racaunya tak jelas.
"A-aku merindukan permainanmu ini. Uuhhh" sosok itu benar-benar sakit! Dalam benaknya ia membayangkan hubungan dengan orang terkasihnya dengan memanfaatkan alat kelamin pria lain. Sakit!.
--
Hari sudah malam, Dziya mulai merasa tenang setelah seharian ini ia hanya berdiam diri di kamarnya. Ia hanya keluar untuk mengambil makanan yang bisa dimasak cepat karena ia benar-benar takut untuk keluar. Namun setelah memastikan bahwa dirinya aman, Dziya sudah duduk tenang di ruang keluarga menyaksikan Nathan bermain. Suaminya kembali dipercaya bermain sejak awal dan kini pertandingan mulai memasuki babak kedua. Dengan semangat Dziya kembali menatap layar televisi dengan sesekali seruan tertahan karena dirinya tidak ingin berteriak kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...