Ini adalah hari terakhir mereka berada di Swiss. Pagi ini, setelah sarapan, Justin mengajak yang lainnya untuk naik kereta menuju ke sebuah taman bunga berbentuk jam, Jardin Anglais.
"Stasiunnya dimana Justin?" Tanya Rafael.
"Itu..!" Tunjuk Justin pada papan petunjuk arah.
"Oh iya haha".
Sampai di stasiun, mereka membeli tiket.
"Itu keretanya." Seru Justin
"Ayo naik!", Ajak Ivar.
"Nanti dulu, biarkan mereka turun dulu kemudian kita naik" sahut Nathan.
"Eh iya ding."
Tak lama kemudian, giliran mereka naik kereta. Dengan tertib mereka masuk satu-persatu dengan Nathan yang duduk berdampingan dengan Dziya, Ivar dengan Rafael, sementara Justin duduk sendiri dengan bibir yang maju 3 senti.
"Gini amat nasib jomblo..." Runtuknya dalam hati.
Kereta terus melaju menuju Jardin Anglais yang terkenal dengan bunganya yang indah. Sepanjang perjalanan mulut mereka tidak berhenti memuji dan mengagumi keindahan alam ciptaan Tuhan yang sungguh memukau.
Akhirnya mereka sampai di stasiun yang dekat dengan tempat yang mereka tuju.
Mereka kemudian turun dan keluar dari stasiun. Lalu berjalan menuju tempat di mana bunga bermekaran dan ada petunjuk waktu ditengahnya.
Sama seperti sebelumnya, mereka sibuk mengabadikan momen yang indah ini. Namun ada yang berbeda kali ini, Nathan kembali bersikap dingin sama seperti sebelumnya."Nathan, kapan kita kembali ke Belanda?" Dziya bertanya untuk memulai obrolan.
"Nanti malam, sengaja agar besok pagi kita sampai di Belanda" jawab Nathan datar.
"Baiklah."
"Nathan bisakah kita berdua..." Belum sempat Dziya menyelesaikan ucapannya, Nathan langsung memotongnya."Tidak!" Ketus Nathan
"Tapi aku belum menyelesaikan ucapan ku, kenapa kau langsung membalasnya."
"Kau ingin kita berdua lebih dekat kan? Haha itu tidak bisa. Sikapku yang kemarin itu adalah keterpaksaan karena teman-temanku yang memintanya. Juga karena Mama diam-diam menghubungi Justin dan memintanya mengawasi dan memberitahukan kegiatan kita pada Mama. So, jangan berharap lebih." Jelas Nathan panjang lebar.
"Ya" lirih Dziya. Dadanya sesak, seperti ada bongkahan batu yang menimpanya setelah mendengar penjelasan Nathan. Memang benar, tidak perlu berharap lebih pada perjodohan ini.
"Kita sudah menghabiskan waktu setengah hari di sini. Ayo kita kembali ke hotel." Nathan berteriak pada teman-temannya kemudian bangkit menuju keluar taman. Dziya hanya mengikuti Nathan dan yang lain tanpa berbicara sepatah katapun.
Menyadari ada yang tidak beres dengan sikap Dziya, Justin berusaha untuk bertanya.
"Hey, kenapa kau terlihat sedih? Apa kau tidak suka tempatnya?"
"Eh, tidak tidak. Aku tidak bersedih. Aku suka tempatnya. Indah sekali." Dziya berusaha mengontrol suaranya yang serak dan mukanya yang tertekuk.
"Aku tau ini pasti karena Nathan kan. Bersabarlah, ia hanya belum bisa menerima kenyataan bahwa ia memiliki bidadari secantik dirimu. Aku tau dia akan menerima mu suatu hari nanti." Hibur Justin yang tau akan kesedihan Dziya.
"Ya aku harap begitu, terimakasih Justin." Kini senyuman Dziya sudah kembali. Meski dalam hatinya ada perih yang belum hilang.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...