Sepulangnya dari pengadilan negeri, Nathan duduk termenung di apartemennya. Ia kini menyewa apartemen di tempat yang sama dengan apartemen Dziya, ini dimaksudkan untuk dirinya bisa lebih dekat dengan Dziya dan memudahkan mereka untuk bertemu.
Hari sudah sore, langit mulai berubah warna menjadi jingga. Sejak tadi Nathan belum melihat tanda-tanda Dziya kembali padahal dia yang lebih dulu pulang dari pengadilan.
"Kemana kamu, Dzi?" Nathan terus memandangi halaman apartemen dari kamarnya, ia terus menunggu kedatangan mobil Dziya.
"Aku harap saat mediasi nanti kamu berubah pikiran Dzi, aku harap kita bisa bersama lagi. Maafkan atas semua kesalahanku, Dziya." Nathan hendak membuka handphonenya, namun sebuah mobil hitam yang baru saja memasuki gerbang gedung apartemen mencuri perhatiannya.
"Dziya, akhirnya kamu kembali." Nathan segera berdiri dari kursi di balkon, ia menuju pintu keluar untuk menemui Dziya. Tangannya terulur memegang handle pintu, gerakannya terhenti saat pintu hendak terbuka.
"Tunggu! Mana mungkin aku menemuinya sekarang, tidak! Biar aku beri waktu dia untuk berpikir dan membuat hatinya tenang terlebih dahulu. Setelah itu baru aku akan menemuinya dan mencari maaf darinya dan Jay." Nathan tidak jadi menemui Dziya, ia kembali ke kamarnya dan mulai berbaring di atas tempat tidur.
Angannya berputar pada masa-masa kebersamaannya dengan Dziya. Masa-masa indah yang sebentar namun begitu membekas dalam hatinya. Segala perlakuan lembut yang Dziya berikan mampu membuai hati dingin Nathan, sikap sabar yang Dziya tunjukkan mampu meluluhkan pertahanan ego Nathan yang tinggi. Sikap-sikap manis yang ia berikan pada Dziya dibalas tak kalah manis oleh perempuan kesayangannya itu.
"Ahh kenapa aku menjadi lemah begini ketika mengingat mu, Dzi." Nathan mengusap air di sudut matanya, ia benar-benar terhanyut pada angan yang menguasai nya hingga akhirnya matanya mulai meredup dan nafasnya mulai teratur. Nathan tertidur.
Jay duduk di sofa sembari menyuapi Dziya sup ayam jamur sesuai keinginannya. Ia mengamati porsi makan Dziya yang mulai banyak meski sesekali makanan yang dimasak terbuang karena dimuntahkan namun ia bersyukur adiknya berserta kandungannya tetap sehat.
Sembari makan malam, Dziya fokus pada tontonan di televisi. Sesekali ia juga menimpali obrolan dari Jay.
"Dek, terkait mediasi nanti kamu harus ikuti kata hati kamu ya. Kakak akan dukung apapun keputusan kamu dan jika kalian memang akan kembali maka kakak akan berusaha untuk memaafkannya, meskipun berat." Dua kata terakhir yang diucapkan Jay hampir tidak terdengar di telinga Dziya. Entah kenapa ia tidak tega pada adiknya yang harus berjuang sendiri dikala kandungannya mulai tumbuh, ia tidak tega adiknya merasakan siksaan mengidam dan mual muntah setiap hari tanpa dampingan seseorang. Ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana reportnya Dziya saat membesarkan sendiri anaknya nanti. Ia sadar tidak akan selalu bisa mendampingi adiknya sampai akhir, bagaimanapun ia hanya seorang kakak yang sibuk dengan pekerjaannya juga suatu saat akan meninggalkan adiknya untuk membangun rumah tangga sendiri.
"Tuhan, berikan takdir terbaik untuk adikku" doanya dalam hati.
"Kakak tenang saja, aku akan meminta petunjuk kepada Tuhan agar diberikan takdir indah bagi kisah hidupku. Aku yakin keputusan akhir nanti adalah takdir terbaik yang telah Tuhan siapkan untukku, aku akan berusaha menerimanya meskipun tidak sesuai dengan keinginan ku nanti" jawab Dziya dengan senyuman manisnya yang membuat Jay gemas.
"Kakak sayang padamu, Dziya Idzes" peluknya erat.
"Aku lebih sayang padamu, Kakak" balas Dziya tak kalah eratnya.
Matahari mulai menunjukkan sinarnya, angin mulai berhembus halus, mata seorang lelaki mulai terbuka.
"Astaga, jam berapa ini?" Paniknya karena melihat ke arah jendela yang mulai terang.
Diraihnya handphone di atas nakas, terlihat waktu menunjukkan pukul 07.21 ia kesiangan.
"Astaga, kok bisa aku sekebo ini?" Tanya nya pada diri sendiri.
"Aku harus siap-siap, aku akan menemui Dziya dan Jay untuk menjelaskan semuanya.
Nathan buru-buru masuk ke dalam mandi, hanya membutuhkan waktu 5 menit, Nathan sudah keluar dengan badan yang tampak segar.
Nathan sudah siap, penampilannya cukup rapi untuk menemui Dziya. Celana kain hitam dengan kaos putih, rambutnya disisir rapi dan jambangnya dicukur tipis. Ini adalah penampilan sederhana tapi mempesona begitulah katanya.
Nathan mulai menuju
"Dek, jangan ngemil terus, kamu kamu belum sarapan kan? Mau makan apa? Biar kakak masakin" Jay bertanya pada Dziya yang sibuk ngemil di sofa sembari menonton TV.
"Aku mau makan nasi padang tapi langsung dari Padang nya kak" celetuk Dziya yang membuat Jay menganga.
"Yang benar saja, Dek. Padang itu jauh lho, kita cari nasi Padang di sini saja ya? Atau mau masakan lain yang bisa kakak masak?" Tawar Jay, mana mungkin ia pergi ke Padang hanya untuk membeli sebungkus nasi. Ah konyol.
"Tidak mau! Aku hanya ingin nasi Padang! Lihat saja oleh Kakak, mereka makan rendang empuk membuat air liur ku hendak menetes" tunjuk Dziya pada acara TV yang sedang ditontonnya.
"Alamak! Rupanya gara-gara acara ini adikku ingin makan nasi Padang! Boleh saja si kalo belinya dari sini, lah ini maunya dari Padang langsung! Ya mumet aku!" Runtuk Jay dalam hati.
"Dek, kita beli saja ya di daerah sini, rendang nya juga pasti empuk kok" Jay dengan senyuman manisnya berusaha membujuk Dziya agar mau beli makanan di Jakarta saja, namun jawaban dari Dziya membuat senyumnya hilang seketika.
"TIDAK MAU! AKU MAU DARI PADANG NYA LANGSUNG, KAKAK!" jawab Dziya tegas yang membuat Jay menghela nafasnya.
"Tapi Dek, ke Padang itu butuh waktu sekitar 2 jam dan kalo bolak-balik itu akan membutuhkan waktu 4 jam jadi nanti nasinya takut basi lho. Terus nanti kamu bakalan kecapean di jalan." Jay berusaha menjelaskan kepada Dziya berharap adiknya mengerti dan mengubah keinginannya.
"Biar saja! Aku tetap ingin mau makan nasi Padang dari Padang nya langsung dan aku tidak ikut ke Padang, kakak sendiri saja, aku di sini menunggu" jawab Dziya kekeuh.
"Baiklah, akan kakak usahakan. Kakak cari penerbangan terdekat, kamu sabar ya" pasrah Jay dengan suara lirih. Ia benar-benar tersiksa sekarang.
"Harusnya kau Nathan yang menanggung semua ini, kenapa jadi aku? Ah seandainya saja kau tidak menyakiti adikku, maka kaulah yang sekarang tersiksa disini. Ah maafkan aku Tuhan, ini semua demi adikku, aku harus ikhlas" meski berucap demikian, ia tetap mengumpat pada Nathan di dalam hatinya.
Jay mencari penerbangan terdekat dari handphonenya, untungnya ada penerbangan yang masih tersisa tiketnya di waktu 08.45 itupun di kelas bisnis. Dengan segera ia memesan tiket tersebut, ini masih pukul 07.48, ia bisa siap-siap dan berangkat menuju bandara.
Jay mengambil handphonenya di meja dekat Dziya, ia menatap adiknya itu.
"Kamu beneran mau nasi Padang dari Padang langsung dek?" Tanya Jay meyakinkan, ia berharap adiknya berubah pikiran.
"Iya, semangat ya Kakak. Aku mau nasi Padang pakai lauk rendang dan sambal ijo yang banyak ya". Membayangkannya membuat air liur Dziya hampir menetes, ia benar-benar tidak sabar akan memakannya.
"Baiklah kalau begitu kakak pergi dulu." Pamit Jay, ia mencium adiknya kemudian berlalu dari hadapannya.
Pintu terbuka, nampak seseorang yang hendak menekan bel terpaku dan terdiam seperti patung.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...