SADAR

637 77 11
                                    

Dokter keluar setelah memeriksa Dziya, tiga lelaki juga satu perempuan itu menoleh, menegakkan badannya dan harap-harap cemas menunggu perkataan yang akan diucapkan sang dokter. Dokter tersenyum, memandang satu persatu wajah yang mengharapkan jawaban bahagia darinya.

"Saya sudah memeriksa Nyonya Dziya, saya ucapkan selamat untuk Tuan Nathan yang setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit sekali mengajak pasien berkomunikasi. Hasilnya bagus, karena anda berhasil memancing pasien untuk segera sadar. Sistim syarafnya bekerja dengan baik, dan kini nyonya Dziya sudah sadarkan diri. Kalian sudah boleh melihatnya, namun saya sarankan jangan terlalu sering mengajaknya berkomunikasi dan juga jangan memberikannya tekanan pikiran terlalu berat ya. Silahkan..." Dokter menyingkir dari depan pintu, mempersilahkan Nathan dan yang lainnya untuk masuk ke dalam. Semuanya sumringah, dengan semangat mereka memasuki ruangan Dziya dengan senyuman yang tak lepas dari bibir masingmasing. Nathan dan Jay berdiri disamping brankar Dziya masing-masing kiri dan kanan sedangkan Melinda dan Romeo berdiri didepan brankar. Semua orang tak kuasa menahan rasa harunya, masing-masing dari mereka sudah menitikan air mata. Nathan mendudukkan dirinya, meraih tangan Dziya untuk digenggam kemudian mengecupnya cukup lama hingga tangan Dziya basah oleh air matanya.

"Sayang.... Akhirnya kamu sadar" Nathan menangis, ia mengelus pipi Dziya dengan lembut. Mereka saling bertatapan, menyalurkan rindu yang beberapa hari ini tak tersampaikan.

Melihat sang suami menangis turut membuat hatinya pilu, jujur rindunya ini begitu besar. Air matanya turut mengalir, membalas genggaman Nathan meskipun lemas.

"M-mas..." Lirihnya. Mereka kembali bertatapan, menangis bersama dengan rindu yang perlahan tersalurkan.

"Syukurlah kamu sadar, Sayang" Nathan kembali mengecup tangan Dziya.

"M-mas, h-haus" ucap Dziya. Dengan sigap Nathan langsung mengambil air di belakangnya, membantu istrinya untuk minum hingga ia kembali menyimpan gelas tersebut.

"Terimakasih, Mas" Dziya memberikan senyuman. Senyuman yang beberapa hari ini tak nampak di wajahnya. Kini tatapannya beralih ke sisi kirinya, terlihat Jay yang wajahnya sudah basah dengan air mata. Kembali pelupuk matanya menampung air mata, sekali saja dia mengedip maka meluncurlah air yang menggenang itu. Entah kapan terakhir kali ia melihat sang Kakak menangis begini, seingatnya Kakaknya ini pantang sekali menangis didepannya. Bahkan ia selalu tegar dihadapannya. Kini ia melihat sisi rapuh sang Kakak, orang yang selalu menjadi penjaganya.

Tangannya diangkat, berusaha menggapai tangan sang Kakak. Jay yang melihat pergerakan sang adik langsung saja meraih tangannya, mengusapnya dengan halus dan lembut.

"Akhirnya kamu sadar, Dek. Adik kakak yang cantik ini, sudah kembali membuka matanya" Jay mencubit pelan pipi sang adik. Memberikannya senyuman yang menentramkan jiwa.

"Kakak, sakit...." Rengeknya manja pada sang Kakak. Dziya menunjuk perutnya yang terkena tusukan, nampaknya ia belum sadar bahwa kini perutnya sudah rata.

"Yang mana? Ini?" Jay mengelus pelan bagian yang ditunjuk oleh sang adik.

"Biar kakak tiup ya, agar lukanya cepat sembuh" ucapnya mengingatkan hal yang selalu ia lakukan saat kecil ketika adiknya itu terluka.

"Sudah?" Jay mengangkat kepalanya, memberikan senyuman kepada sang adik yang juga tersenyum kepadanya.

"Pelukkkk...." Kini Dziya merengek kembali dengan Jay yang langsung memeluknya, membuat Nathan yang melihat interaksi antara kakak dan adik itu menjadi gemas. Ia kini mengetahui sisi lain sang istri.

Jay memeluk Dziya, mengecup wajah sang adik dengan rakus membuat Dziya terkekeh geli. 

"Manja sekali kamu ini" Jay gemas, ia mencubit kedua pipi adiknya.

NATHAN TJOE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang