Melihat situasi yang canggung, Justin berinisiatif untuk mengajak mereka mencoba wahana di danau ini.
"Daripada kita berdiam diri di sini. Lebih baik kita mencoba wahana disini, bagaimana?" Tawar Justin.
"Setuju, bagaimana kalau kita naik perahu saja?" Usul Ivar yang diangguki Rafael dan Justin.
"Wah boleh juga tuh, sepertinya seru naik perahu dikelilingi alam indah Jenewa" antusias Dziya mendengar usulan Ivar.
Nathan hanya mengikuti istri dan temannya itu. Mereka menyewa dua perahu, satu perahu berisi Justin, Ivar dan Rafael. Dan satu lagi berisi Nathan dan Dziya. Mereka menikmati pemandangan danau Jenewa yang indahnya melegenda. Apalagi berpadu dengan sinar matahari sore yang kilaunya memancarkan sinar jingga yang memanjakan mata.
"Indah sekali ya, Nathan."
"Ya, alam memang selalu indah." Sahut Nathan.
Ditengah danau, perahu mereka bergerak tidak seimbang. Dziya yang panik tidak sadar menggenggam tangan Nathan dengan eratnya. Nathan yang menyadari itu mengelus bahu Dziya dan menenangkannya.
"Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja."
Nathan berusaha menyeimbangkan kembali perahu mereka. Dziya masih memegang tangannya sehingga menyulitkan Nathan melakukan pekerjaannya.
"Bisakah kau lepaskan dulu tanganmu? Aku kesulitan untuk menyeimbangkan kembali perahu ini" ucap Nathan.
Menyadari itu, Dziya segera menguasai keadaan. Ia melepaskan genggamannya.
"Maaf."
Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut keduanya. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Apa yang ku lakukan tadi, kenapa aku menyentuhnya, kenapa aku mengelusnya" batin Nathan.
"Apa yang terjadi padaku, kenapa jantungku berdegup kencang. Dan kenapa aku tidak sadar menggenggam tangannya. Tapi genggaman tangan itu serasa pas di tanganku. Dan elusan tangannya di bahuku membuatku tenang. Ahhh ada apa denganku." Racau Dziya dalam hati.
Perhatian kecil yang diberikan Nathan berhasil membuat pipinya bersemu merah. Nyatanya kejadian itu berhasil melupakan kejadian menyakitkan yang terjadi sebelumnya.
Matahari mulai bergerak semu ke ufuk barat. Angin sepoi-sepoi semakin memanjakan para turis yang sedang berwisata.
Mereka kini sudah kembali ke darat lalu duduk sambil menikmati lambaian daun Cemara yang menari seiring nyanyian alam yang indah.
"Bagaimana kalau kita mencari wisata lain? Waktu kita tinggal satu hari lagi esok, itupun tidak lama." Tawar Justin pada lainnya.
"Setuju, aku belum puas menikmati keindahan alam Swiss ini" sambung Ivar yang diangguki yang lainnya.
"Baiklah, aku mendapat referensi tempat wisata malam yang indah di dekat sini. Ayo ikut aku" ajak Nathan.
Semuanya masuk ke dalam limusin itu, kemudian Nathan mulai menyalakan mesinnya.
"Kita akan pergi kemana bro?" Tanya Justin
"Kita akan melihat icon air terjun di dekat danau Jenewa."
"Wow, sepertinya akan indah. Apalagi di malam hari. Betul tidak? Tanya Dziya pada yang lainnya.
"Betulll" jawab mereka bertiga serentak, kecuali Nathan. Ia diam, namun bibirnya tersenyum tipis. Sangat tipis.
Lalu sampailah mereka di dekat air mancur yang tingginya sekitar 140 meter itu. Apalagi malam hari. Saat lampu kota menjadi latar belakang air mancur berwarna nan indah itu.
Mereka turun dari mobil, lalu menikmati pemandangan indah yang tak ada habisnya. Tak lupa mereka berfoto bersama.
Justin, Ivar, Rafael dan Dziya sudah banyak mengabadikan momen mereka di air mancur.
Kini, Justin memaksa Nathan untuk berfoto bersama Dziya. Nathan yang semula menolak kini berada di samping Dziya.
"Hey Nathan, jangan seperti manekin begitu. Kau berdiri dengan muka datar. Oh jeleknya" Ivar gemas dengan Nathan yang difoto begitu begitu saja.
"Betul, mukamu itu udah kayak kanebo kering tau gak? Udahmah Keras, Gak bisa diatur. Ayolah senyum dikit hiiiii gitu" sambung Rafael sambil memperlihatkan giginya agar Nathan mengikuti gayanya.
"Beraninya kalian menyebut ku manekin dan kanebo kering! Awas saja kalian Upin Ipin" Nathan hendak mengejar Ivar dan Rafael. Namun diurungkan saat Dziya menahannya.
"Sudah, jangan kejar mereka. Ayo kita berfoto. Lagipula kita belum memiliki foto berdua bukan?"
Nathan menurut, ia kini tidak berpose layaknya manekin dan kanebo kering lagi. Namun gaya andalan bapak-bapak di seluruh dunia. Gaya Jempol.
"Hey biar aku arahkan ya." Justin maju mendekati Rafael. Sedangkan Ivar diam memegang kamera.
"Lihat aku Nathan. Kau geser sedikit badanmu mendekati Dziya, lalu tanganmu pegang pinggang Dziya, seperti ini. Lalu lihat pada kamera dan tersenyumlah." Justin memperagakan gerakan tersebut pada Rafael.
"Iiihhhh, apa-apaan kau. Geli co" Rafael menghindar. Ia bergidik saat dipeluk pinggangnya oleh Justin.
Dziya dan Nathan tertawa begitupun Justin dan Ivar.
"Hey, berhenti tertawa. Cepat lakukan apa yang aku peragakan tadi" titah Justin.
Dengan terpaksa Nathan melakukan apa yang Justin minta. Pipi Dziya bersemu merah.
Di tengah pose itu, Nathan tidak sengaja memandang Dziya, begitupun sebaliknya Dziya menatap Nathan. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ivar sang fotografer dadakan. Ia mengabadikan momen tersebut yang membuat ia dan 2 temannya tersenyum.
Puas berfoto dan menikmati pemandangan indah itu. Mereka kini duduk sambil memakan camilan.
"Kamu suka?", tanya Nathan pada istrinya.
Mendengar itu, pipi Dziya bersemu merah. Rafael, Ivar dan Justin terkejut mendengar pertanyaan Nathan.
"Kenapa kalian tampak terkejut, apa ada yang salah dengan pertanyaan ku?" Tanya Nathan datar.
Ketiga temannya hanya cengengesan tidak jelas, kemudian ia melirik pada istrinya.
"Kau suka?". Dziya tersentak,
"Ya, aku suka. Terimakasih Nathan".
Ada kupu-kupu yang terbang dalam perutnya, ada air yang menyejukkan hatinya, dan ada pompa yang membuat jantungnya berdegup kencang. Itulah yang Dziya rasakan kini.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...