Nathan tidak kembali ke rumahnya dan Lisa, ia masih meratapi nasibnya sendiri kini. Tak pernah terpikirkan olehnya rahasia yang selama ini ia pendam akan terbongkar secepat ini. Jujur ia tak bisa kehilangan keduanya juga ia tak bisa memilih salah satunya, dengan Lisa ia memiliki Zayn sedangkan dengan Dziya ia mendapatkan perhatian, ketulusan juga restu keluarga. Ia bingung, ia tak bisa berpikir jernih.
"ARGHHHH.... Semua ini gara-gara si lelaki bajingan itu! Hanya dia yang tahu rahasiaku dan dia juga yang tadi mengantarkan Jay dan Dziya kemari. Arghhh bajingan!" Nathan memukul setir mobil, ia benar-benar kesal.
"Harry, kejadian lalu menjadikan mu membenci ku, dan kini aku pun membencimu lebih dari apapun! Lihat saja, tak akan kubiarkan kau menyentuh Dziya, karena aku tahu kau pasti mengincarnya!" Nathan memandang tajam jalanan didepannya. Nathan menghidupkan mesin mobil, ia injak gas dengan kuat, ia ngebut di jalanan.
Lisa masih menunggu Nathan pulang, sejak sore hingga larut malam ia masih menunggu Nathan di ruang TV. Ia terus mondar-mandir sembari menggigit kuku tangannya.
"Kemana kamu Nathan? Kenapa kamu belum pulang juga?" Lisa masih mondar-mandir, ia tak bisa menelpon Nathan karena handphone Nathan yang rusak.
"Apa jangan-jangan ia sudah berhasil mendapatkan maaf dari Dziya, lalu mereka kembali?" Praduga Lisa.
"Tapi itu tidak mungkin, apalagi melihat amarah Dziya dan Kakaknya tadi pada Nathan. Itu pasti tak akan terjadi" Lisa masih terus menduga-duga kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
"Semoga Dziya tak menerima kembali Nathan, dan nanti akulah yang akan menjadi istri satu-satunya Nathan." Harap Lisa, ia kemudian masuk ke kamar karena mulai mengantuk.
Dua hari berlalu, Dziya sudah diperbolehkan pulang dengan syarat harus bed rest total. Jay sudah membereskan barang-barang mereka, kini mereka akan pulang ke Rotterdam untuk mengambil beberapa barang penting milik Dziya juga mereka akan berpamitan pada keluarga Nathan.
"Sudah Dek?" Tanya Jay pada Dziya yang sedang membereskan tasnya.
"Sudah, kak." Jawab Dziya.
Mereka berdua keluar dari rumah sakit dan pergi menuju mobil mereka yang telah diambil Jay kemarin sekaligus membawa beberapa pasang baju untuk Dziya.
Mobil mulai berjalan di aspal Amsterdam yang mulus. Suasana hening menyelimuti mereka, Jay yang fokus menyetir serta Dziya yang sibuk memandang jalanan dengan lamunan yang menyertainya.
"Dek?"
"Kak?"
Ucap Jay dan Dziya bersamaan.
"Kakak duluan" ucap Dziya.
"Tidak, kamu saja" balas Jay.
"Baiklah, eum.. kita akan ke Rotterdam dulu?" Tanya Dziya memastikan.
"Iya, kita akan mengambil beberapa barang penting milikmu. Juga kita akan berpamitan pada keluarga Nathan, bagaimanapun mereka juga keluargamu." Jay berkata lirih saat menyebutkan 'keluargamu' di akhir kalimatnya.
"Kita tidak akan bertemu dengannya kan?" Tanya Dziya yang membuat Jay memandangnya.
"Aku harap tidak, selama dua hari ini saja dia tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi setelah pengusiran itu. Mungkin dia sibuk dengan....." Jay tak melanjutkan ucapannya setelah melihat Dziya yang menunduk.
"Jangan bersedih pada lelaki brengsek itu dek, kamu tak pantas" Jay mengusap punggung Dziya dengan satu tangannya.
"Tidak, aku tidak bersedih. Hanya tak habis pikir saja rupanya ia sudah memiliki istri dan anak tapi dia tetap menerima perjodohan ini. Terlebih lagi aku tak menyadari bahwa anak yang ku gendong saat di stadion adalah anaknya Lelaki itu." Dziya benar-benar tak menyangka Zayn adalah anaknya Nathan, ia sendiri bahkan sudah tak mau menyebut nama lelaki itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...