SIDANG PERTAMA

1.1K 138 24
                                    

Hari ini adalah hari dimana nasib hubungan Dziya dan Nathan ditentukan. Nathan dengan rasa percaya dirinya berdiri menunggu Dziya di depan ruang sidang, sedangkan Dziya yang didampingi Jay baru saja datang dan sudah melihat Nathan berdiri menunggunya.

"Dziya" lirih Nathan, entah kenapa hatinya menghangat melihat sang pujaan hati berada didepannya terlebih saat mengetahui calon anaknya masih bertahan di dalam kandungan.

"Sampai jumpa di persidangan" hanya kalimat itu yang diucapkan Dziya, kalimat yang amat menusuk kedalam hati Nathan. Dziya dengan langkah pasti memasuki ruang sidang meski dalam hatinya ia mulai menangis, bukan ini takdir yang ia inginkan. Sedangkan Nathan masih membeku di depan pintu, kalimat yang diucapkan Dziya seolah-olah memeluk otaknya, tak bisa dihilangkan. Dihembuskan nafasnya, ia dengan yakin memasuki ruang sidang.

"Semoga takdir baik berpihak pada kita, Dzi." Harap Nathan

"Tuhan, bantu aku" doanya sebelum duduk di kursi sidang.

Diliriknya Dziya yang menegakkan kepalanya menghadap hakim, ia tahu dalam hati pujaan hatinya ini terdapat harapan bahwa perpisahan ini tidak boleh terjadi. Terlihat dari sorot matanya yang memancarkan kesedihan.

"Aku harap kita tidak akan berpisah, Dziya." Harapan yang selama beberapa hari ini selalu ia ucapkan dalam hatinya.

Hakim mulai membacakan gugatan yang diajukan Dziya. Nathan menunduk, ia berdoa agar sidang ini diperlancar dan semoga hasilnya nanti akan berpihak kepadanya. Sedangkan Dziya, ia amat gugup sekarang. Entah kenapa hatinya mendadak ragu untuk berpisah, ia mengusap perutnya pelan agar Nathan tidak melihat.

"Semoga hasil baik akan berpihak pada Mama, Nak. Meskipun Mama sekarang mulai ragu untuk berpisah namun Mama akan tetap menerima hasil yang diputuskan hakim nanti." Dziya berbisik lirih pada kandungannya.

"Saudara pemohon, coba dipertimbangkan kembali keinginan saudara untuk bercerai, mengingat kehidupan rumah tangga yang selama ini sudah saudara jalani dan masih seumur jagung ini. Alangkah baiknya masalah rumah tangga saudara dapat diselesaikan secara kekeluargaan, karena perceraian itu sangat dibenci, Jadi mohon dipertimbangkan kembali. Apakah memang saudara sudah yakin ingin bercerai?" Hakim bertanya kepada Dziya sebagaimana prosedur cerai yang memang sidang pertama hakim harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

"Sudah yang mulia, saya tetap ingin bercerai" jawab Dziya dengan suara bergetar, entah kenapa hatinya bertolak belakang dengan mulutnya.

"Bagaimana dengan termohon?" Hakim berpindah kepada Nathan.

"Saya masih ingin mempertahankan rumah tangga saya yang mulia" jawab Nathan yakin sembari melirik kepada Dziya.

"Baiklah saudara pemohon dan termohon, sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan jika kedua belah pihak hadir maka harus melaksanakan mediasi. Saudara pemohon dan termohon akan memilih mediator sendiri atau Majelis Hakim yang menentukan? bagaimana dari pihak pemohon?" Tanya hakim kepada Dziya.

"Terimakasih yang mulia, kami percayakan kepada majelis hakim untuk menunjuk mediator" jawab Dziya langsung agar sidang ini cepat selesai.

Hakim ketua berdiskusi dengan hakim anggota, diskusi itu berjalan cukup alot hingga akhirnya semuanya mengangguk dengan sebuah keputusan.

"Baik, sidang hari ini ditunda sampai minggu depan, dengan agenda mendengarkan laporan hasil mediasi. Sidang perkara cerai talak No. xxxx resmi ditunda" ucap hakim sembari mengetuk palu satu kali.

"Sidang hari ini ditutup" hakim kemudian mengetuk palu tiga kali.

Nathan bernafas lega, itu artinya ia punya kesempatan untuk meyakinkan hati Dziya agar tidak berpisah. Setelah hakim meninggalkan ruang sidang, Nathan berdiri hendak mendekati Dziya namun Dziya dan Jay langsung berlalu dari hadapannya. Ia hembuskan nafasnya perlahan, mengucap sabar sembari mengelus dada.

"Tunggu aku, Dziya. Aku akan benar-benar berubah demi kamu dan calon anak kita." Tekadnya dalam hati.

Setelah itu, Nathan keluar bersama pengacaranya.

Pulang dari pengadilan negeri, Dziya sibuk dengan pikirannya. Entah kenapa hatinya gusar sejak sidang tadi, ia benar-benar ragu akan keputusannya kini. Hatinya begitu sensitif kini, ia ingin meminta pendapat pada Jay namun ia sadar ia selalu membebani pikiran sang kakak dengan masalahnya. Ia lirik lelaki tampan disampingnya, lelaki yang selalu ia repot kan sejak kecil, lelaki yang selalu mengalah demi nya, lelaki yang selalu berkorban untuknya, air matanya meluncur tak bisa ia tahan.

Jay yang sedang fokus menyetir mendengar suara isakan lirih dari sampingnya, ia tatap sang adik yang sudah menangis tanpa suara. Hatinya panik, ia pinggirkan mobil kemudian memeluk adiknya.

"Kamu kenapa, Dek?" Jay bertanya dengan nada lembut dengan tangan yang terus mengelus kepala sang adik.  Menerima perlakuan seperti itu membuat Dziya semakin menangis sesenggukan, begitu dalamnya kasih sayang sang kakak untuknya.

"Kak, maafkan aku" lirihnya benar-benar lirih.

"Kenapa kamu minta maaf, Dek?" Jay heran pada adiknya yang tiba-tiba menangis dan tiba-tiba meminta maaf.

"Maafkan aku karena selalu menyusahkan Kakak, aku selalu melibatkan Kakak dalam setiap masalah ku, Kak. Maafkan aku" Dziya menangis sesenggukan di dalam pelukan Jay.

Setetes air mata jatuh tepat di pucuk kepala Dziya, ternyata ini yang menyebabkan adiknya menangis. Dengan segera ia menyusut jejak air matanya, ia tidak ingin menunjukkannya di depan sang adik.

"Dek, dengarkan kakak!" Jay melepaskan pelukannya, ia tangkup kedua pipi sangat adik.

"Kakak tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu, kakak senang jika kamu terus melibatkan kakak dalam setiap masalah kamu karena itu artinya kakak dianggap dan kakak akan terus bersama kamu, Dek" Jay mengecup kening Dziya lama, ia kini tak tahan menahan tangisnya. Kakak beradik itu kini saling berpelukan dengan tangisan yang menyertai.

Setelah tenang, Dziya kembali menatap Jay. Ia ingin mengutarakan kegelisahan hatinya namun masih ragu.

"Kak" panggilnya lembut nan lirih

"Iya, Dek" jawab Jay tak kalah lembut

"Aku ingin membicarakan sesuatu" Dziya menggantung ucapannya

"Apa? Bicaralah" titah Jay

"A-aku mulai ragu untuk berpisah, Kak. Entah kenapa hatiku seolah berat untuk berpisah dengan Nathan, aku tahu ia pernah menyakiti ku namun setelah diingat-ingat ia pasti terpaksa melakukan hal ini, Kak. Jujur, aku masih mencintainya dan kakak tahu kan bahwa ada malaikat kecil di perutku dan saat berada di dekatnya entah kenapa aku begitu tenang, Kak." Dziya mengutarakan semua hal yang mengganjal di hatinya.

Jay menghela nafasnya, sejujurnya ia tidak tega jika adiknya akan menjadi janda di usia muda namun jika melihat kelakuan Nathan yang buruk maka ia tidak tega untuk kembali menitipkan adiknya pada pria itu.

"Lalu, apa mau mu Dek?" Jay mencoba memberikan kesempatan jawaban kepada Dziya.

Dziya nampak berpikir lama, ia benar-benar serius memikirkan hal ini

"Entahlah, satu sisi ku sakit saat mengingat perlakuannya namun satu sisi lagi hatiku masih menginginkan nya. Aku bingung kak" Dziya mulai menunduk

"Dek, kakak tahu ini berat untukmu. Pikirkanlah baik-baik, kakak sebenarnya tidak ingin kamu berada di posisi ini, ini semua tidak ada yang menyangka. Sekarang ada proses mediasi, kakak harap kamu benar-benar akan mengambil keputusan yang terbaik, Nathan memang lelaki baik tapi jangan lupakan kelakuan dia yang buruk!" Jay memeluk Dziya sekali lagi.

"Nathan, entah apa takdir yang digariskan untuk kita. Rasa sakit ku masih sama dan rasa sayangku masih ada, aku harap aku dapat lega menerimanya"

NATHAN TJOE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang