Dziya menangis di apartemennya. Dagunya sakit namun hatinya lebih sakit. Melihat amarah dan sikap Nathan tadi membuatnya semakin keras menangis.
"Hiksss, hikkss, Apakah tidak ada cinta dalam hatimu Nathan? Kenapa kau terus menyakitiku? Sejak awal kau mengacuhkan ku, sekarang saat keadaan kita mulai dekat kau kembali menyakitiku. Tidak adakah cinta untukku, Nathan?" Dziya menangis meratapi nasibnya.
"Di Belanda kau berani menampar ku, bahkan Kakak ku saja tidak pernah melakukannya. Dimana sikap lembut mu yang dulu? Dimana Nathan yang selalu sigap melindungi ku saat kecil? Hiksss."
"Jika memang sejak awal kau tidak menyetujui perjodohan ini, kenapa kau menerimanya? Kenapa kau membiarkanku mencintai secara sendirian?"
"Ta-tapi ini juga salahku, hikss. Kenapa aku bertemu dengan Harry. Kenapa aku menerima ajakannya tadi? Seharusnya aku tetap menolaknya. ARGHHH."
Dziya frustasi. Ia menjambak rambutnya. Kondisinya sudah kacau, ini terlalu sakit untuknya.
Nathan kembali ke hotel tempatnya menginap. Ia tinju tembok di depannya dengan keras hingga tangannya berdarah.
"A-apa yang aku lakukan! Kenapa aku bisa seperti ini. Apakah aku cemburu? Tidak mana mungkin aku cemburu sedangkan aku tidak mencintainya. Tidak! ini pasti karena aku tidak suka pada Harry, aku tidak cemburu. Tapi-tapi aku kembali menyakitinya. Arghhhh dasar brengsek kau Nathan." Nathan kembali meninju tembok di depannya.
"Ini semua gara-gara lelaki bajingan itu. Jika ia tak memunculkan wajahnya, ini semua tidak akan terjadi. Dan hubungan ku mungkin akan baik-baik saja dan rahasia ku tetap terjaga. ARGHHH." Sekali lagi ia tinju tembok di depannya. Kemudian membaringkan dirinya di lantai.
"Untuk kali ini rahasia ku masih aman. Dan semoga saja tetap aman" harap Nathan.
Lelah menangis semalaman, kini Dziya berdiri di balkon apartemennya. Dipandanginya foto ia dan keluarganya. Disana, nampak ia yang digendong kedua orangtuanya dengan Jay berada di tengah. Ahh, ia rindu. Rindu dekapan hangat ayahnya, rindu masakan ibunya, dan rindu keusilan kakaknya. Kini ia masih dapat merasakan keusilan Jay, namun untuk masakan serta dekapan orangtuanya, ia hanya bisa membayangkannya. Kini mereka sudah berbeda dunia, itulah alasannya.
Semalam, ingin rasanya ia mengadukan perbuatan Nathan pada kakaknya. Namun ia sadar itu bukan keputusan yang tepat. Bisa saja kakaknya murka kemudian lepas kendali membalas Nathan. Tidak itu bukan yang ia inginkan.
Diambilnya handphone, ia tekan ikon telepon.
"Hallo, Dziya. Ada apa menghubungi ku sepagi ini? Tanya seseorang di sebrang sana.
"Hallo, Harry maaf. Aku tidak bisa melanjutkan kerja sama kita. Aku sudah mendapatkan perusahaan lain yang lebih baik". Harry, orang yang dihubungi Dziya. Setelah berfikir semalaman, akhirnya ia memutuskan untuk menuruti permintaan suaminya.
"Apa? Tapi kenapa Dziya? Padahal nantinya perusahaan kita akan sama-sama untung. Kenapa tiba-tiba kau membatalkannya?"
"Sudah aku bilang, aku sudah mendapatkan perusahaan yang lebih baik. Jadi terimakasih dan maaf kerjasama kita hanya sampai di sini". Dziya meletakkan handphonenya di meja. Ia tidak ingin memperpanjang masalah dan untuk saat ini ia tidak ingin berbicara dengan siapapun. Diseruput nya teh herbal yang ia buat. Ia merasa sedikit tenang sekarang.
Kini, Nathan sudah berada di Belanda. Ia kini sedang berlatih bersama klubnya. Kemarin sore, setelah kejadian dengan Dziya ia langsung terbang ke Belanda karena urusan di Indonesia sudah selesai. Ia akan kembali saat Kualifikasi Piala Dunia.
Semalaman ia tidak dapat tidur, ia terus kepikiran kondisi Dziya. Kemarin saat ia akan menemui Dziya, ia harus kembali ke Belanda. Sehingga ia tidak jadi menemuinya.
"Hey, Nathan. Fokus fokus, jangan melamun terus". Bahunya ditepuk, sang pelatih kembali menegurnya. Sedari tadi ia tidak fokus latihan. Entah ke berapa kali ia salah melakukan passing, ia gagal melakukan blok, dan semua tendangannya melenceng.
"Maaf coach. Saya akan kembali berlatih."
Malamnya, Nathan pergi ke sebuah restoran di Amsterdam. Ia akan menemui Lisa dan Zayn. Ia memesan private room agar tidak ada orang yang melihatnya. Ditengah acara makan itu, ia pergi ke toilet untuk membuang hajat.
Saat keluar dari toilet, sebuah suara berhasil membuat darahnya mendidih.
"HAHA, dasar lelaki tidak cukup satu wanita."
Suara itu. Suara yang ia benci. Suara orang yang membuat hidupnya di masa lalu hancur, dan kini hubungannya dengan Dziya terancam gara-gara orang ini.
"Di Indonesia istrinya lelah bekerja sendirian sedangkan suaminya sibuk dengan istri rahasianya, Hahaha"
"Bahkan mungkin ia yang memaksa istrinya itu untuk membatalkan kerjasama kerjanya karena merasa terancam, atau takut rahasianya terbongkar" Lelaki itu melanjutkan ucapannya.
"Dasar pecundang! Beraninya main belakang. Cuihhh" ucap orang itu lagi.
"BRENGSEK!!!" Nathan membalikkan badannya. Kini ia menarik kerah baju sang pemilik suara, Harry. Ia hendak melesatkan pukulan pada wajah orang menyebalkan ini.
"Ayo pukul aku, pukul. Perlihatkan kelakuan aslimu itu pada semua orang" kini Harry menantang Nathan.
Tangan Nathan mengambang di udara, diliriknya ke sekitar. Sudah banyak orang yang telah memegang handphone masing-masing, siap memvideokan aksinya.
Ia urungkan niatnya, ia berbalik menuju luar restoran. Ia duduk di mobil kemudian menghubungi Lisa untuk pulang.
Di Indonesia, Keyna akan mengunjungi Dziya di apartemennya. Sejak kemarin sahabatnya itu sudah dihubungi, entah berapa kali ia menelponnya dan entah berapa puluh pesan yang dikirimkan namun tidak ada jawaban. Ia sudah bertanya pada Nathan, namun sama tidak ada jawaban. Ingin menanyakan pada Jay, ia segan karena tahu Jay sedang berlatih bersama Timnas Indonesia.
Keyna sampai di depan pintu apartemen Dziya. Ia tekan bel pintu itu, namun pintu tidak kunjung terbuka. Ia terus menekan bel dan diselingi dengan menelpon Dziya.
"Oh ayolah Dzi. Jawab teleponku. Kenapa kamu tidak kunjung membukakan pintu." Racau Keyna.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya pintu terbuka. Nampak Dziya yang kondisinya berantakan. Rambut tidak tersisir rapi, baju yang lusuh, juga mata yang sembab dengan bekas air mata di pipinya.
"Ada apa denganmu Dziya? Kenapa kondisimu parah begini? Apa ada yang menyakitimu? Atau ada pencuri di apartemen mu? Atau kamu di per... Oh tidak yang terakhir itu tidak akan terjadi. Jadi kenapa kamu seperti ini Dziya?" Cerocos Keyna yang tidak sabaran.
"Berhenti meracau! Ayo masuk. Aku akan menceritakannya di dalam" Dziya mempersilahkan Keyna masuk.
Kini mereka duduk di sofa, Keyna yang melihat Dziya akan ke dapur, ia tak tega sehingga menahannya.
"Dziya, biar aku saja" tawar Keyna.
"Tidak Key, biar aku saja."
"Tidak, kau duduk saja. Kondisimu tidak baik-baik saja. Jadi biar aku saja." Keyna menahan Dziya, ia dudukkan Dziya di sofa. Lalu ia pergi ke dapur untuk membawa minum dan camilan.
"Oke, sekarang ceritakan padaku. Apa yang terjadi denganmu?" Tanya Keyna setelah kembali dari dapur.
"A-aku...." Ragu Dziya.
"Ceritakan lah, percaya padaku aku tak akan memberitahukan pada siapapun. Termasuk pada Jay, kakak mu." Keyna berusaha untuk menyembunyikan Dziya.
"Na-Nathan memarahiku" hanya itu yang mampu ia ucapkan. Setelahnya ia kembali menangis.
"Apa? Tapi kenapa bisa? Apa yang kau lakukan hingga membuat Nathan marah?" Tanya Keyna yang semakin membuat Dziya menangis kencang.
Dipeluknya sahabatnya itu, ia tahu pasti ini amat menyakitkan bagi Dziya. Entah apa yang sahabatnya lakukan dan entah apa yang diperbuat Nathan sehingga sahabatnya ini menjadi begitu rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN TJOE
Fanfiction"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layaknya rindu hatiku, seandainya bisa kubuka maka akan ku dekap rindu itu. Rindu terhadap Dziya, keluarga...