Penyesalan #4

1.3K 72 16
                                    

Suara khas dari monitor yang berada di sisi kanan brankar seorang wanita, terus saja menggema di ruangan seluas 10 x 8 meter persegi itu. Layar yang menampilkan garis naik turun secara stabil menggambarkan kondisi sang wanita yang sedang berbaring di atas brankar tersebut. Ia sedang tertidur pulas.

Aroma harum khas musim gugur  menyeruak dari Reed Diffuser  yang berada di atas nakas itu yang terus menemani sang wanita setelah ia kembali dari kota Phuket beberapa minggu lalu.

Disisi kirinya, ada seorang pria yang sedetikpun tak melepas genggamannya pada tangan yang terbujur lemah dari sang wanita yang ada di hadapannya.

Pria tersebut tiada henti memberikan elusan lembut pada jemari lentik yang terlihat lebih kurus itu. Tak lupa, kecupan hangat yang selalu mengiringi ketika pria tersebut selesai berdoa untuk belahan jiwanya ini.

Dalam doanya, sang pria meminta dengan lebih terperinci kepada sang Pencipta tentang wanitanya. Bukan lagi meminta agar wanita yang tengah berbaring lemah ini untuk ada disisinya selalu, melainkan lebih dari itu, ia ingin mereka berdua selamanya bersama, bahkan di kehidupan selanjutnya.

"Sayang.. Ayo bangun, aku rindu. Udah tiga hari kamu tidur" Ujar pria tersebut diiringi buliran air mata yang lolos begitu saja, ia tak kuasa melihat belahan jiwanya semakin lemah dengan bantuan alat pernafasan.

"Maafin aku, love.. Harusnya aku egois saja saat itu dan memilih pergi ke rumah sakit tanpa memberi kabar kamu. Dan semua ini pasti takkan terjadi" Sambungnya lagi.

"Aku sangat menyesal, sayang" Sedari kemarin ia mencoba menahan linangan air mata yang ingin turun itu. Namun akhirnya, kepala pria itu ambruk juga karena tak kuasa meratapi kondisi wanitanya yang tak kunjung sadar. Ia juga tak hentinya menciumi jemari tangan yang perlahan mulai menghangat.

Tanpa pria itu sadari, dari sisi sebelah kanan, jemari tangan kiri sang wanita sudah memberi sinyal bahwa dirinya sudah siuman. Jemari itu perlahan di gerakannya dengan susah payah.

"Reey-yihh.." Lirih suara itu terbatasi oleh alat yang menutupi hidung dan mulutnya, membuat sang pria tidak fokus mendengar.

Ya, pria dan wanita itu adalah Mondy dan Marsya, yang keduanya memiliki satu tekad yang sama yaitu, tidak ingin melepas satu sama lain atas apapun cobaan yang datang di kehidupan pernikahan mereka.

Sekuat tenaga, Marsya mencoba membawa tangannya untuk menggapai dan mengelus rambut pria yang ada disisinya itu. Pergerakan itu tentu saja berhasil membuat sang pria tersadar dan langsung mengangkat kepalanya, detik itu juga.

Ia terpaku sejenak melihat jemari itu bergerak menyentuhnya, dengan perasaan antara percaya dan tidak, Mondy meraihnya lembut.

"Sayang?" Ucap Mondy seraya bangkit dari duduknya.

"Sayang, kamu udah siuman?" Tanya Mondy yang mendekati wajah Marsya untuk memastikan bahwa sang istri memang sudah siuman. Pelupuk matanya langsung penuh seketika tak kala melihat bola mata indah itu terbuka.

"YaaAllah terimakasih, istriku telah kembali" Ucap syukur Mondy tiada henti diiringin kecupan pada kening Marsya dan kedua tangan Marsya berkali-kali.

Terlihat jelas mata yang berbinar sendu itu mulai meneteskan air matanya, ia sangat terharu.

"Hey.. Ko nangis?" Tanya Mondy yang juga tak kuasa menahan buliran air matanya, Ia pun membantu menyeka air mata Marsya dan tak menghiraukan air matanya.

"Ini aku sayang, Rajendramu. Istriku butuh sesuatu?" Pernyataan dan pertanyaan penuh kelembutan itu Mondy lontarkan seraya mengelus lembut pipi Marsya. Memberi kenyamanan untuk mereka berdua.

Soulmate (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang