Ch. 29 - Trauma Medusa

34 3 0
                                    

Bun, hidup berjalan
seperti bajingan
Seperti landak yang
tak punya teman
Ia menggonggong bak suara hujan

Bertaut—Nadin Amizah



2tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

2tahun yang lalu ....

Matahari mulai terbenam dengan indahnya. Warna jingga menghiasi langit senja. Ditemani dengan alunan nada-nada biola yang membuat hati siapapun akan merasa tenang.

Meta mengakhiri nada biola tersebut. Ia baru sadar, ternyata hanya ia seorang yang masih di dalam kelas. Meta terhanyut pada nada-nada biola yang ia mainkan. Ia terus berlatih sampai tak kenal waktu.

Bisa bersekolah di Akademi Linnet, merupakan sebuah anugerah baginya, yang hanya berasal dari keluarga sederhana. Ia akan melakukan yang terbaik agar bisa lulus dengan nilai yang sempurna dan menjadi violinist hebat yang mendunia!

Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan seorang bapak-bapak dengan perutnya yang buncit. Dia Pak Ganendra, guru yang mengajar biola di akademi Linnet.

"Lho? Meta belum pulang?" tanya Pak Ganendra.

Meta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Iya, Pak. Ini mau siap-siap pulang. Bapak sendiri? Kok, ke mari lagi?"

"Haha, iya. Ada barang yang tertinggal." Meta hanya mengangguk-anggukan kepalanya paham.

Kemudian Ganendra mendekat ke arah Meta yang tengah mengemasi biolanya. Pandangannya Ganendra, tidak luput dari Meta. "Kamu cantik juga, ya, Meta," puji Ganendra tiba-tiba.

Meta menatap gurunya itu sekilas, lalu kembali mengemasi barangnya cepat. "M-makasih, Pak," ujar Meta.

Entah kenapa, perasaan Meta tidak enak. Gerak-gerik Ganendra terasa berbeda. Sungguh, ia risih.

Ganendra memandangi Meta intens, menatap Meta dari atas sampai bawah, lalu ia tersenyum. "Kamu sudah panya pacar?" tanya Pak Ganendra.

Meta menggeleng cepat. "Saya mau fokus dengan cita-cita saya dulu, Pak. Udah sore, kalau gitu saya pamit," cetus Meta cepat.

Saat ia ingin beranjak pergi, tiba-tiba tangannya ditahan oleh Ganendra. "Jangan cepat-cepat gitu, dong. Saya kan, mau mengobrol lebih lama sama kamu. Raut wajah kamu ini kaya yang mau saya apakan saja," kekeh Ganendra menggelengkan kepalanya.

Meta langsung menepis tangan Pak Ganendra. "Maaf, Pak. Ayah nunggu saya di rumah." Kemudian Meta langsung melangkahkan kakinya, tapi lagi-lagi tangannya dicekal. Kali ini cekalannya lebih kuat, sampai ia terhuyung ke belakang.

"Ayah kamu enak, ya. Bisa memandangi tubuhmu setiap hari," celetuk Ganendra tanpa rasa malu.

"Pak! Bapak ini kan seorang guru, seharusnya Bapak nggak pantas berbicara seperti itu! Bapak bisa saya laporkan karena tudingan pelecehan!" seru Meta menggebu-gebu.

Pak Ganendra terkekeh, "Anak kecil kayak kamu tahu apa soal pelecehan?"

Tanpa aba-aba, Ganendra tiba-tiba mencondongkan badannya ke depan, berniat mencium Meta. Untungnya, Meta lebih dulu menampar keras pipi Ganendra. Saat Meta ingin berlari, ia dihempaskan dengan mudah oleh Ganendra. Tubuhnya terjatuh, menabrak kursi dan meja.

"Ini yang namanya pelecehan!" seru Ganendra kegirangan sambil membuka celananya.

Meta dengan cepat mengambil biola kesayangannya dari tasnya, lalu memukul keras Ganendra. Ganendra terlihat marah, kemudian membanting biola Meta sampai rusak. Meta yang melihat biola kesayangannya rusak, lantas membulatkan matanya. Itu adalah biola milik mendiang bundanya.

"Kenapa Bapak jadi seperti ini? Saya cuma mau pulang!" pekik Meta. Bulir air mata mulai tumpah membasahi pipinya.

"Kamu duluan yang menggoda saya, ya, Meta Serophina!" berang Ganendra, kemudian tersenyum mesum.

"Saya menggoda apa? S-saya cuma mau pulang ke rumah!" raung Meta.

Ganendra mulai memaksa membanting badan Meta ke meja, lalu ia mulai melancarkan aksinya. Melakukan hal bejat pada bocah di bawah umur. Meta terus menangis dan meraung meminta pertolongan, tapi tak ada yang mendengar.

Dan kejadian itu berlalu begitu saja. Meninggalkan luka yang tak dapat terobati. Rasa sakit itu, Meta tanggung sendirian. Bocah yang hanya ingin menggapai cita-citanya menjadi seorang violinist, seakan mimpinya hancur berkeping-keping. Masa depannya sudah direnggut paksa oleh manusia bejat yang memiliki nafsu iblis.

Rasanya hampir gila, sehingga ia memilih untuk berhenti bermain biola. Memendam cita-cita yang dari dulu ia impikan. Padahal, Meta sangat ingin menjadi violinist sama seperti bundanya. Tapi kini impian itu hanya angan.

Meta kira, keluarnya ia dari akademi Linnet, sudah akhir dari semua tragedi yang menimpanya sampai menimbulkan trauma. Rupanya, kejahatan Ganendra tidak berhenti sampai di situ. Meta difitnah telah menggoda Ganendra, sampai Meta dicap sebagai jalang. Sungguh, manusia berhati iblis.

Ada yang memiliki trauma medusa? Kalau iya, kalian sangat hebat bisa bertahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ada yang memiliki trauma medusa? Kalau iya, kalian sangat hebat bisa bertahan.

Oiya, aku bakal sering update nanti! Mau cepet² tamatin, hehehe. Ada ga sih, yg nunggu Kanvas Rusak update?(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

See u in the next chapter!

Kanvas RusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang