Ch. 25 - Masa Lalu yang Terungkap

56 21 0
                                    

Soon i hope
Or a soon as i'm old enough
Old enough to understand
Old enough to understand ....

Pluto Projector—Rex Orange Country



"Bapak siapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Bapak siapa?"

Baru saja sampai di pekarangan Galaksi Studio, Ezra dikejutkan oleh kehadiran seorang bapak-bapak yang tampak antusias menatap studio. Bapak itu terlihat seperti umur 40 tahunan. Dan jika dilihat dengan saksama, sepertinya beliau seorang seniman. Lantas Ezra turun dari motor dan menyambut kedatangannya.

"Maaf, ini studiomu?" Ezra mengangguk.

"Sudah dari lama saya melihatnya, baru kali ini pemiliknya datang," katanya.

"Ah, iya, Pak. Saya emang jarang berkunjung ke sini. Hanya sesekali saja," ujar Ezra.

Bapak itu menganggukkan kepalanya paham. "Bapak ingin masuk?" tawar Ezra, lalu mempersilakan bapak itu masuk ke dalam studio.

"Saya Didit," ucap Pak Didit sambil mengulurkan tangannya.

"Saya Ezra." Membalas uluran tangan dari Pak Didit.

Ezra mulai memperkenalkan karya-karya miliknya pada Pak Didit. Seperti yang ia tebak dari awal, Pak Didit benar seorang seniman. Pengetahuan akan dunia seni khususnya seni lukis begitu luas. Ezra sangat terbuka dan senang ketika mendengarkan Pak Didit bercerita.

Setelah berbincang mengenai hal berbau seni, tampaknya kini beralih topik ke hal pribadi. Ezra memberitahu Pak Didit bahwa ibunya melarang keras melukis, dan teman-temannya berbaik hati membangun studio kecil ini untuknya melukis agar tidak diketahui ibunya.

Ezra juga curhat tentangnya yang selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Contohnya dalam hal prestasi akademik. Ezra harus menjadi nomer satu bagaimanapun caranya. Jika tidak, maka tidak ada kasih sayang untuknya.

"Jadi kamu bolos les sekarang?"

Ezra menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari cengengesan. "Ya ... begitulah, saya sedang ada masalah, jadi saya ingin merenung dulu di sini," terang Ezra.

Pak Didit memberi semangat lewat tepukan pelan pada punggung Ezra. "Mau bagaimanapun, jangan sampai kamu membenci ibumu sendiri," nasihatnya.

Dengan anggukan kepala Ezra tersenyum. "Sudah pasti. Karena mama adalah satu-satunya keluarga yang saya punya."

Pak Didit mengernyit heran. "Ayahmu?"

Ezra menggelengkan kepalanya. Pak Didit yang paham, ia langsung mengganti topik pembicaraan. "Bapak juga memiliki cinta pertama yang selalu Bapak lukis wajah cantiknya di kanvas," celetuk Pak Didit.

Kanvas RusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang