Ch. 34 - Kasih Sayang Mama

32 3 0
                                    

The feeling that
i'm losing her forever
And without really
entering her world
I'm glad whenever
I can share her laughter

Slipping Through My Fingers—ABBA



•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seusai sekolah, Ezra tidak langsung pulang ke rumah. Mengingat hubungannya dengan mamanya kian merenggang, membuanya lebih dulu menepi dan merenung di studio lukisnya seorang diri. Ah, tidak. Sampai sebelum Pak Didit datang.

Pak Didit kembali datang menemani Ezra. Kembali bercakap ria seperti biasa, dengan diselipi candaan juga tawaan di antara mereka. Mereka tidak tahu, bahwa mereka tengah diawasi oleh seseorang. Seseorang yang memandang bengis ke arah mereka. Mengepalkan tangannya, pun giginya bergemeletuk karena emosi.

"Lihat aja nanti," katanya dengan seringai tipis, kemudian melenggang pergi.

"Ya, jadi gitu ceritanya, Pak," kata Ezra sehabis bercerita tentang video gempar Meta yang ternyata hoax.

"Kamu bercerita tentang dia semangat sekali. Kamu ... suka, ya?" goda Pak Didit memandang jahil ke arah Ezra.

"A-ah, nggak, Pak. Mana mungkin?" Ezra terkekeh tapi jantungnya terasa berdetak lebih cepat.

"Sudahlah, hati memang tidak bisa berbohong. Dasar anak muda, lain di hati, lain di mulut." Pak Didit menggelengkan kepalanya sementara Ezra hanya menggaruk tengkukknya tak gatal karena kikuk, tidak tahu harus menjawab apa.

"Studionya bagus, jangan sampai ditinggalkan, ya? Dirawat terus, kalau bisa sampai ada pengunjung selain Bapak." Pak Didit terkekeh.

"Nggak akan saya tinggalkan, Pak. Studio ini sudah saya anggap seperti rumah kedua," ujar Ezra sambil menatap studionya.

Pak Didit mengangguk-anggukan kepalanya paham. Kemudian ia memberikan sebuah lukisan hasil karyanya pada Ezra. Karena tadi ia meminjam kanvas juga alat lukis Ezra. Sembari mengobrol santai, Pak Didit juga sembari melukis.

"Pajang di studio kamu," kata Pak Didit sambil menyerahkan lukisan itu.

"Keren banget, Pak! Jarang ada yang melukis saya, hahaha!" Ezra menatap kanvas yang melukiskan dirinya dengan Pak Didit sedang duduk di bangku dengan latar belakang studio galaksi. Ezra terpukau.

Pak Didit terkekeh, kemudian berdiri dari duduknya. "Sudah sore, saya pamit kalau begitu," pamitnya.

"Oh, iya, silakan, Pak. Saya juga mau pulang," balas Ezra dengan senyuman.

Setelahnya, Pak Didit pulang dengan kendaraan motornya dan Ezra memasuki studionya untuk menaruh hasil karya lukis dari Pak Didit. Memandang sejenak, lalu tersenyum.
Jika ayahnya tidak berengsek, maka hidupnya pasti tidak semenyakitkan ini.

Kanvas RusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang