Ch. 17 - Hujan Kekecewaan

77 24 3
                                    

Do you do what you did
when you did with me?
Does she love you the way I can?
Did you forget all the plans that you made with me?
'Cause baby, I didn't

That Should Be Me-Justin Bieber



Nada biola terhenti, disambut tepukan tangan dari seseorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nada biola terhenti, disambut tepukan tangan dari seseorang. Fanny mengembuskan napasnya perlahan, lalu menaruh biola di atas meja. Ia mulai merenggangkan otot-otot tangannya dan mematahkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sejak tadi, ia terus berlatih untuk mengikuti perlombaan solo violin yang akan berlangsung dua minggu lagi. Pun, jari-jarinya tergesek oleh bow biola, meninggalkan bekasnya di jarinya itu. Ya, inilah risiko menjadi vionilist.

"Permainanmu sudah semakin bagus, Fan. Saran Ibu, kamu percepatkan lagi temponya. Dan ingat, hayati di setiap nadanya." Anggukan kepala menjadi jawaban atas semua penilaian dari guru seni Fanny.

Bu Yuna menepuk-nepuk punggung Fanny pelan seraya tersenyum. "Latihan hari ini cukup sampai di sini. Kamu hebat, Fan," katanya.

Senyuman tercetak di wajah Fanny. "Terima kasih sudah mempercayai saya, Bu." Tatapannya hangat ke arah Bu Yuna.

"Jangan hanya bercerita soal seni musik pada Ibu, kamu juga bisa bercerita yang lain. Ibu bisa diandalkan, tenang saja," cetusnya yang membuat Fanny sedikit gugup.

"Ada pacarmu di luar, tuh. Cepat kemasi biolanya dan temui dia." Perkataan Bu Yuna membuat kening Fanny berkerut. Pacar? Yang benar saja.

Bu Yuna meninggalkan Fanny yang sibuk mengemasi biolanya. Setelah rapi, baru ia keluar dari ruang seni. Di ambang pintu, ia terkejut akan kehadiran Farel yang tengah bersandar di dinding samping pintu.

Jadi maksud Bu Yuna ...

"Hai," sapa Farel.

Bukan mendapat sapaan balik dari Fanny, melainkan kerutan kening. "Kamu ngapain di sini?" tanya Fanny.

"Nunggu lo, lah," jawab Farel enteng.

Dengan tas yang masih bertengger di pundaknya, Farel mengembuskan napasnya. "Mau hujan, Fan. Liat, langitnya mendung. Mending lo balik sama gue," tukasnya.

Mata Fanny menatap langit yang berwarna abu-abu di balik jendela. Terdapat kilatan di sana, membuatnya bergidik ngeri. Benar juga. Jika ia menunggu angkot di halte, pasti akan lama datangnya.

Lantas Fanny mengangkat kedua sudut bibirnya. "Makasih, Rel."

Farel mengangguk seraya tersenyum. Sejak saat ia datang ke rumah Fanny, lalu mengajaknya keluar dari rumahnya berisik dan berakhir berjalan berdua, Farel rasa, ia semakin dekat dengan Fanny. Ini adalah peluang besar untuk menerobos hati Fanny yang isinya Ezra itu.

"Lo tunggu di halte, gue ambil motor dulu di parkiran. " Dengan cepat Fanny mengangguk.

Kemudian Fanny berjalan menyusuri koridor, membawa langkahnya ke gerbang sekolah.

Kanvas RusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang