D minor-Sibelius•
•
•
"Selamat datang di acara pertunjukan biola, pada lomba Perfect Tone Youth Music Festival Series 2024!" seru MC menggema.Para penonton bertepuk tangan dengan meriah. Balai resital seketika ramai dengan suara riuh penonton, menambah ketegangan para peserta yang akan tampil.
Sang pembawa acara lantas membacakan persyaratan lomba, kemudian dilanjut dengan perkenalan para juri. Di sini, terdapat tiga juri yang akan menjadi tolak ukur bagi para peserta lomba.
Sampailah, MC memperkenalkan juri yang terkahir.
"Yang terakhir, merupakan juri spesial dari akademi seni terbesar di Jakarta, akademi Linnet, kita sambut Ganendra Buana!"
Sorak-sorai dan tepukan dari penonton tampak ramai menggema di telinga Meta. Semua orang senang, ria dan bahagia. Kecuali Meta yang kini keringat dingin, badannya gemetar, pun wajahnya menatap tegang ke arah panggung. Netranya fokus ke arah salah satu juri yang kini menjadi pusat perhatian.
Meta menelan salivanya susah payah. Ia kemudian berdiri, berniat meninggalkan tempat duduknya. Ezra yang melihat Meta yang ingin pergi, lantas menahan tangannya.
"Mau ke mana?" tanya Ezra sedikit lantang.
"Pulang!" Dengan kasar Meta menepis tangan Ezra.
Ezra kembali meraih tangan Meta cepat. "Kenapa sih, lo? Tunggu sampai Fanny tampil!" kata Ezra.
Meta melempar pandangannya ke arah Ganendra, lalu kembali mengarah ke Ezra, ia menggeleng kuat. "Gue mau balik! Lepas!"
"Nggak! Please, tunggu sebentar sampai giliran Fanny tampil, Ta," mohon Ezra masih menggenggam tangan Meta.
Meta menggigit kuat bibirnya, lalu mengembuskan napasnya kasar. Dengan berat hati, Meta kembali duduk ke kursinya. Ezra pun mulai melepaskan genggamannya.
"Kalau ada apa-apa, bilang sama gue, Ta." Meta tampak tak acuh pada perkataan Ezra.
Di tengah ramainya sorak-sorai penonton, mungkin hanya Meta yang kini gundah gulana. Di saat semua orang terpukau pada penampilan setiap peserta, hanya Meta yang hanyut pada pikirannya sendiri. Hatinya tampak kacau, pikirannya kusut.
Sampai kemudian Fanny berjalan ke arah tengah panggung, bersiap untuk tampil. Dengan anggun, Fanny mulai menaruh biola ke pundaknya. Nada-nada dari alat musik gesek itu mulai terdengar indah. Temponya sedang, melodinya dikemas dengan amat baik. Tapi itu hanya bertahan sementara. Entah kenapa, nada yang dimainkan Fanny terlihat berantakan.
Fanny membawakan lagu D minor dari Sibelius. Karya yang diciptakan Sibelius itu merupakan salah satu karya yang tersulit, tapi dengan berani Fanny memainkannya.
"Chord G, Kak Fanny banyak salah kunci," gumam Meta, matanya memperhatikan Fanny.
Para penonton saling berbisik, begitu juga dengan juri yang tampak lebih serius memperhatikan peserta di depan. Ada salah satu juri yang pandangannya teralihkan ke kursi pengunjung di belakang, tepat saat itu mata Meta bertatapan dengannya.
Jantung Meta berdegup kencang. Sekaan darahnya berdesir dengan cepat. Meta menatap tegang orang itu. Sementara orang yang ditatap tegang, tampak tersenyum menyeringai.
Dengan segera Meta memutus kontak mata. Ia berdiri dari kursi, berniat untuk pergi. Tapi lagi-lagi Ezra menahannya. Ezra mencekal lengan Meta kuat.
"Tolong izinin gue pergi," kata Meta.
"Kenapa? Lo bisa cerita sama gue!" seru Ezra.
Meta menggeleng. "Lo nggak bakal ngerti!"
"Fanny lagi tampil, Meta! Seenggaknya lo bisa hargain dia dengan duduk dan dengerin sampai abis!"
Pandangan Meta ke arah Fanny. Nada-nada yang dimainkan Fanny mulai jauh membaik, sampai kemudian mata Fanny dan Meta saling beradu tatap.
Fanny melihat kursi yang diduduki teman-temannya. Melihat Ezra yang seperti menahan tangan Meta, membuatnya sedikit terusik. Tapi ia mencoba untuk tidak menghiraukannya. Sayangnya, kepingan memori saat Ezra dan Meta bermesraan di bawah derasnya hujan, terus terbayang di pikiran Fanny. Membuat permainan biolanya tampak kembali rancu.
Setelah beberapa menit berlalu, permainan biola Fanny usai. Para penonton bersorak memberikan apresiasi pada Fanny karena telah memainkan karya yang tersulit, walaupun permainannya pada lomba ini sedikit kacau. Tanpa eskpresi senang, Fanny kembali ke belakang panggung.
Meta kemudian berlari ke luar ruangan. Disusul dengan Ezra yang mengejar Fanny. Sementara Farel dan Numi tampak kebingungan.
Pembawa acara mengumumkan untuk beristirahat dahulu, perlombaan akan dilanjutkan setelah azan zuhur.
Langit menjadi kelabu dengan kilatan kecil menghiasi. Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan mengenai tubuh Meta. Namun, Meta tak peduli. Ia terus berjalan cepat meninggalkan balai resital.
Meta seketika berhenti saat ada seseorang yang tiba-tiba menghalangi jalannya. Seorang bapak-bapak berumur 48 tahunan dengan perawakan perut yang membuncit, kepalanya botak di bagian tengah dan senyuman mesumnya yang mengerikan. Meta terpaku.
"Saya tahu pasti kamu akan hadir di perlombaan ini, Meta Serophina," ucap Ganendra yang membuat Meta merinding.
"Bagaimana hari-harimu setelah melewati itu semua, hm?" Meta berjalan mundur, kala Ganendra berjalan maju ke arahnya.
"Jangan ganggu saya lagi ...," lirih Meta menatap Ganendra takut.
"Saya sudah mencarimu ke mana-mana, Meta."
Meta menelan salivanya susah payah. Percayalah, sekarang Meta sangat takut. Masa lalunya kembali singgah di pikirannya. Dengan cepat Meta membuang pikiran itu jauh-jauh. Meta sangat ingin melawan Genendra, tapi tubuhnya seakan kaku dan takut. Ia ... tidak tahu harus berbuat apa.
"Fitnah kamu seorang jalang telah tersebar luas, bahkan sampai keluar akademi." Ganendra menyeringai.
Tendang aja gasih, burung si Ganendra mesum ini?Ekhem, votmen, ya!
See u in the next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanvas Rusak
Teen Fiction[End] Bagi Ezra, melukis adalah napas. Tetapi karena masa lalu membuat Ratu-mamanya mulai merenggut napasnya itu. Di tengah asa yang mulai pupus, Ezra dipertemukan oleh seorang gadis dengan biola dipelukannya. Kisah mereka akan abadi di sebuah kanva...