Ch. 39 - Abadi

16 1 2
                                    

Will we event learn?
We've been here before
It's just what we know
Stop your crying
Baby, it's a sign of the times
We gotta get away

Sign Of The Times—Harry Styles



Angin berembus dengan kencang, dinginnya menusuk tulang, dan tak ada tempat untuk pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Angin berembus dengan kencang, dinginnya menusuk tulang, dan tak ada tempat untuk pulang. Dia Ezra. Lelaki yang dipaksa untuk menjadi sempurna. Mamanya yang tak pernah mendukung hobinya—melukis—membuat Ezra semakin terasa sesak. Ia hanya ingin bebas. Ia hanya ingin Mamanya—Ratu mendukung apa yang anaknya cita-citakan, layaknya para Ibu di luaran sana.

Mendapatkan nilai sempurna adalah suatu keharusan. Jika tidak sempurna, maka tidak ada kasih sayang. Ratu selalu protektif dengan nilai. Bahkan, nilai 80 pun, tidak dapat menyenangi Ratu.

Kepingan memori bersama dengan Ratu, terus berputar di kepala Ezra.

"PADAHAL SUDAH MAMA BUANG SEMUANYA! KAMU MAU MENGIKUTI JEJAK LELAKI ITU, HAH? ANAK DAN BAPAK SAMA-SAMA BERENGSEK!"

"ANAK SIALAN KAMU!"

"TIDAK ADA LAGI MELUKIS! TIDAK ADA LAGI CAT! TIDAK ADA LAGI KUAS! SEMUANYA YANG BERHUBUNGAN DENGAN MELUKIS, MAMA BAKAR!"

"SUDAH MAMA BILANG BERAPA KALI, MAMA NGGAK SUKA KAMU MELUKIS! MELUKIS NGGAK BAKAL BIKIN KAMU SUKSES, EZRA!"

Plak!

"Itu adalah hukuman, karena kamu mendapatkan nilai jelek dan bolos les!"

Ingatan yang menyakitkan. Ezra sudah bertahan atas semua yang terjadi pada kehidupannya, tapi kini ia sudah mencapai batasannya. Ia lebih memilih menyerah. Toh, jika ia mati, dunia akan tetap berjalan seperti biasanya, bukan?

Padahal mamanya sudah berjanji untuk tidak lagi melarangnya melukis. Tetapi kini mamanya malah membakar studio miliknya yang sangat ia jaga. Ratu telah melanggar janji itu, membuat luka yang mendalam di hati Ezra. Sekarang sudah tidak ada lagi tujuan hidupnya. Napasnya sudah direnggut. Ya, melukis adalah napasnya.

Selangkah demi selangkah Ezra arungi. Netranya menatap kosong ke depan. Malam yang begitu dingin disertai angin yang membuat rambut Ezra tak beraturan. Penampilannya sudah kacau, sama seperti kehidupannya.

"Ezra sayang sama Mama ...."

Tubuhnya sudah kehilangan keseimbangan, dan pandangannya mulai mengabur karena air matanya. Ezra tersenyum seraya menutup matanya sayu.

Suara derap langkah berlari, lalu menahan tangan Ezra dengan derain air mata. "Dasar bodoh!" makinya.

Ezra menatap Meta yang kini menangis sembari menahan lengannya. Tubuhnya sudah bergelantungan di atas gedung, membuat Meta mati-matian menahan beban tubuh Ezra. Air mata Meta terjun bebas mengenai pipi Ezra.

Kanvas RusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang