8. Masa Lalu

5.4K 258 5
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

..........

Mentari pagi menyelinap melalui celah-celah tirai kamar Clarissa. Namun, cahaya itu tak mampu menembus kegelapan yang menyelimuti hatinya. 

Setelah berhari-hari menyelidiki Helena, Clarissa semakin yakin bahwa wanita itulah dalang di balik kematian Adrian di kehidupan sebelumnya. Tapi, bagaimana cara membuktikannya?

Dengan langkah gontai, Clarissa menuju ruang kerja Adrian. Ruangan itu selalu membuatnya bergidik ngeri. 

Di sanalah Adrian menghembuskan napas terakhirnya, racun mengalir deras dalam tubuhnya. Namun, kali ini, Clarissa memasuki ruangan itu dengan tekad bulat. Dia harus menemukan petunjuk, sekecil apa pun itu.

Mata Clarissa menjelajahi setiap sudut ruangan, mencari sesuatu yang terlewatkan. Tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding. 

Lukisan itu menggambarkan seorang wanita cantik dengan rambut pirang dan mata biru yang tajam. Clarissa terkesiap. Wanita itu sangat mirip dengan Helena!

"Siapa wanita ini?" gumam Clarissa, merasakan jantungnya berdebar kencang.

Dia mendekati lukisan itu, mengamati setiap detailnya dengan seksama. Di sudut bawah lukisan, terdapat sebuah tulisan kecil: "Untuk Adrian, cinta pertama dan terakhirku, Helena."

Clarissa terpaku. Jadi, Helena dan Adrian pernah menjalin hubungan? Apakah ini motif Helena untuk membunuh Adrian? Apakah Adrian benar benar mencintai Helena?

Pikiran-pikiran itu berputar-putar di kepala Clarissa, membuatnya pusing dan mual. Dia harus mencari tahu lebih banyak.

Dengan tangan gemetar, Clarissa mulai mencari-cari di meja kerja Adrian. Dia membuka laci demi laci, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan hubungan Adrian dan Helena.

Akhirnya, dia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang terkunci. Clarissa mencoba membukanya, tapi tidak berhasil. Dia mencari kunci di sekitar meja, tapi tidak menemukannya.

Dengan putus asa, Clarissa mengambil jepit rambutnya dan mencoba membuka kunci kotak itu dengan paksa. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya kunci itu terbuka.

Di dalam kotak, terdapat sebuah surat yang sudah menguning. Clarissa mengambil surat itu dengan tangan gemetar, lalu membukanya.

Surat itu ditulis oleh Adrian untuk Helena, beberapa tahun sebelum pernikahan mereka. Isi surat itu membuat Clarissa tercengang, air mata langsung mengalir deras di pipinya.

*Helena,

Aku tak bisa hidup tanpamu. Kaulah cinta pertama dan terakhirku. Aku berjanji akan selalu mencintaimu, meski kita tak bisa bersama. Aku akan selalu menunggumu, Helena. Selamanya.*

Pintu kayu berukir itu terbuka dengan bunyi derit yang memekakkan telinga, membuyarkan lamunan Clarissa. 

Adrian berdiri di ambang pintu, wajah tampannya mengeras bagai batu. Matanya yang biasanya sehangat madu kini berubah menjadi es, menatap Clarissa dengan tatapan dingin yang menusuk.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Adrian dengan suara tajam, setiap kata bagaikan cambuk yang menyayat hati Clarissa.

Clarissa tergagap, tangannya yang memegang surat Adrian gemetar hebat. "Aku... aku hanya mencari sesuatu," jawabnya terbata-bata, suaranya nyaris tak terdengar.

Adrian melangkah masuk, langkahnya tegas dan penuh kuasa. Dia merebut surat itu dari tangan Clarissa dengan gerakan kasar, lalu membacanya dengan cepat. Raut wajahnya semakin mengeras, urat-urat di lehernya menegang.

Dengan gerakan tiba-tiba, Adrian merobek surat itu menjadi serpihan-serpihan kecil, lalu melemparkannya ke wajah Clarissa. 

"Jangan pernah menyentuh barang-barangku lagi!" bentaknya, suaranya menggelegar di ruangan yang sunyi.

Adrian menatap Clarissa dengan tatapan penuh kebencian, seolah-olah dia adalah makhluk paling menjijikkan di dunia. 

"Kau memang sama seperti yang kukira," desisnya, suaranya berbisa. 

"Kau hanya seorang wanita licik yang ingin menghancurkan hidupku."

Clarissa mengangkat kepalanya "Tidak, Yang Mulia,"

"Aku tidak seperti itu. Aku hanya ingin tahu kebenaran."

"Kebenaran?" Adrian tertawa sinis, suaranya penuh ejekan. "Kebenaran apa yang kau cari, Clarissa? Kebenaran bahwa aku tidak pernah mencintaimu? Kebenaran bahwa aku hanya menikahimu karena terpaksa? Kebenaran bahwa hatiku hanya milik Helena?"

Flashback Kehidupan Dulu

Dia melihat Adrian terbaring di ranjang mereka, wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Clarissa berteriak memanggil nama Adrian, tapi Adrian tidak menjawab. Dia berusaha membangunkan Adrian, tapi tubuh Adrian sudah dingin dan kaku.

"Mary," panggil Clarissa lagi, suaranya bergetar. "Apa... apa kata terakhir Adrian?"

Mary terdiam sejenak, ragu-ragu untuk menjawab. Dia tahu jawabannya akan menyakiti Lady Clarissa, tapi dia juga tahu Lady berhak untuk mengetahuinya.

"Lady Helena," jawab Mary akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia... dia mencintai Helena."

Clarissa terkesiap, tubuhnya menegang. Dia tidak menyangka kata terakhir Adrian adalah nama Helena. Dia merasa hatinya hancur berkeping-keping.

"Helena..." gumam Clarissa lirih, air matanya kembali mengalir deras. "Dia mencintai Helena..."

Kata-kata Adrian seperti pisau yang menusuk jantung Clarissa. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menangis, meratapi nasibnya yang malang.

Adrian berbalik dan meninggalkan Clarissa sendirian di ruangan itu. Clarissa terduduk lemas di lantai. 

"Apa tidak adakah sedikitpun sisa cinta di hatimu untukku, Adrian?" Clarissa terisak, suaranya penuh keputusasaan. "Setelah semua yang kulakukan untukmu, setelah semua yang ku korbankan?"

"Aku pergi berperang untuknya, Mary," ucapnya dengan suara getir. "Aku mengotori tanganku dengan darah, aku mempertaruhkan nyawaku demi melindungi kerajaan ini, demi melindunginya. Tapi apa yang kudapat? Dia bahkan tidak pernah melirikku sekalipun."

Clarissa mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah yang meluap-luap. "Dia hanya peduli pada Helena, Mary. Dia hanya mencintaiku. Aku hanya bayangan Helena di matanya."

Clarissa terduduk di kursi, air matanya kembali mengalir deras. Dia merasa seperti orang bodoh yang telah memberikan segalanya untuk seseorang yang tidak pernah menghargai pengorbanannya.

"Aku lelah, Mary," isaknya.

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang