32. Pantang Menyerah

2.5K 97 2
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

"Tunggu sebentar!" teriak Helena, suaranya menggema di seluruh aula, memotong musik yang mengiringi langkah Clarissa.

Semua mata tertuju pada Helena yang berdiri di samping Clarissa, mengenakan gaun yang sama persis dengan yang dikenakan Clarissa, hanya saja berwarna hitam. Senyum sinis tersungging di bibirnya, kontras dengan ekspresi terkejut Clarissa.

"Para hadirin yang terhormat," kata Helena dengan suara lantang, 

"saya harus mengungkapkan kebenaran yang mengejutkan. Gaun yang dikenakan oleh Duchess Clarissa bukanlah desain aslinya. Gaun itu adalah hasil curian dari saya!"

Bisikan-bisikan kaget dan tak percaya langsung memenuhi ruangan. Clarissa merasa darahnya membeku. Dia menatap Helena dengan mata membelalak, tidak percaya dengan tuduhan yang dilontarkannya.

"Apa maksudmu, Helena?" tanya Clarissa dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kepanikannya.

"Kau tahu persis apa maksudku, Clarissa," jawab Helena dengan senyum licik. "Kau mencuri desainku dan mengakuinya sebagai milikmu sendiri! Kau penipu!"

Clarissa menelan ludah, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri. Namun, sebelum dia sempat berbicara, Helena melanjutkan serangannya.

"Kau pikir kau bisa membodohi semua orang, Clarissa?" ejek Helena. "Kau pikir kau bisa mencuri karyaku dan lolos begitu saja?"

Clarissa mencondongkan tubuhnya ke arah Helena, berbisik dengan suara rendah, "Apa ini rencanamu, Helena?"

Helena hanya tersenyum licik, tidak menjawab pertanyaan Clarissa. Dia merasa puas melihat Clarissa yang terpojok dan tidak berdaya.

Namun, Clarissa tidak menyerah begitu saja. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya, lalu berkata dengan suara lantang, "Helena, kau salah besar! Gaun ini adalah karyaku sendiri, dan aku punya bukti untuk membuktikannya!"

Helena tertawa mengejek, "Bukti? Bukti apa? Kau pasti sudah memalsukannya!"

Clarissa tidak terpengaruh oleh ejekan Helena. Dia mengeluarkan sebuah map dari tas kecil yang dibawanya, lalu membukanya dan menunjukkan isinya kepada Helena dan para tamu undangan.

"Ini sketsa asliku, Helena," kata Clarissa dengan suara tegas. "Kau bisa melihatnya sendiri. Ada tanggal dan tanda tanganku di sana."

Helena terdiam, wajahnya memucat. Dia tidak menyangka Clarissa memiliki bukti yang begitu kuat.

Clarissa melanjutkan, "Aku juga punya kesaksian dari para penjahitku yang bisa membenarkan bahwa gaun ini adalah karyaku. Jadi, jangan coba-coba memfitnahku, Helena!"

Helena gemetar, tidak bisa berkata-kata. Dia merasa terpojok dan tidak berdaya. Dia tidak menyangka Clarissa akan melawan balik dengan begitu berani.

Helena, meskipun terpojok dengan bukti-bukti yang ditunjukkan Clarissa, tetap mempertahankan pendiriannya. Dia menggelengkan kepalanya dengan keras, menolak untuk mengakui kesalahannya.

"Kau pikir aku akan mudah menyerah, Clarissa?" serunya dengan suara bergetar, "Sketsa itu bisa saja kau palsukan! Kau pasti telah menyuap para penjahitmu untuk berbohong!"

Suasana di aula semakin memanas. Para bangsawan yang hadir mulai berbisik-bisik, menikmati drama yang sedang berlangsung. Beberapa dari mereka bahkan memasang taruhan, menebak siapa yang sebenarnya berbohong.

Di tengah ketegangan itu, seorang wanita paruh baya dengan rambut perak yang disanggul rapi melangkah maju. Dia adalah Madame Genevieve, seorang desainer terkenal yang dihormati di seluruh kerajaan.

"Maafkan saya, Yang Mulia," kata Madame Genevieve, membungkuk hormat pada Raja dan Ratu, "tapi saya rasa saya bisa membantu menyelesaikan masalah ini."

Semua mata tertuju pada Madame Genevieve. Clarissa dan Helena menatapnya dengan penuh harap dan cemas.

"Saya adalah seorang ahli dalam bidang desain busana," lanjut Madame Genevieve. "Saya bisa memeriksa kedua gaun ini dan menentukan siapa yang sebenarnya merancangnya."

Clarissa dan Helena mengangguk setuju. Madame Genevieve kemudian meminta kedua gaun tersebut dibawa ke atas panggung. Dia memeriksa setiap detail gaun dengan teliti, mulai dari jahitan, bahan, hingga pola.

Para tamu undangan menahan napas, menantikan keputusan Madame Genevieve. Setelah beberapa saat, Madame Genevieve akhirnya mengangkat kepalanya.

"Setelah memeriksa kedua gaun ini dengan saksama," kata Madame Genevieve dengan suara lantang, "saya dapat menyimpulkan bahwa gaun yang dikenakan oleh Duchess Clarissa adalah desain asli. Gaun yang dikenakan oleh Lady Helena adalah tiruan yang buruk."

Helena terkesiap, wajahnya memucat. Dia tidak menyangka Madame Genevieve akan mengatakan hal seperti itu.

"Tidak mungkin!" teriak Helena, suaranya penuh keputusasaan. "Ini tidak adil!"

Madame Genevieve menatap Helena dengan tatapan dingin. "Keadilan ada di pihak kebenaran, Lady Helena," ujarnya tegas. "Dan kebenarannya adalah, kau telah mencuri desain Duchess Clarissa."

Helena terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi. Dia merasa dunianya runtuh. Dia telah dipermalukan di depan semua orang, dan reputasinya hancur.

Helena terhuyung keluar dari aula istana, diikuti oleh bisikan-bisikan para bangsawan yang kini berbalik menghinanya. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas bara api, setiap langkahnya terasa menyakitkan.

"Dasar pencuri!"

"Dia seharusnya malu pada dirinya sendiri!"

"Aku tidak percaya dia berani mencuri desain Duchess Clarissa!"

Helena mengabaikan semua hinaan itu, kepalanya tertunduk, air mata mengalir deras di pipinya. Dia tidak pernah merasa sehancur ini sebelumnya.

Di luar aula, Clarissa menunggu Helena. Dia ingin menyelesaikan masalah ini sekali dan untuk selamanya.

"Helena," panggil Clarissa dengan suara tenang, "aku tahu kau sedang terluka, tapi aku mohon, akui saja kesalahanmu. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini jika kau mau mengaku."

Helena mendongak, menatap Clarissa dengan mata penuh kebencian. "Aku tidak akan pernah mengaku, Clarissa!" teriaknya. "Kau yang mencuri desainku! Kau yang harusnya malu!"

"Helena, hentikan kebohonganmu!" Clarissa berkata dengan tegas. "Semua orang sudah tahu kebenarannya. Kau tidak bisa lagi membodohi mereka."

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka. Clarissa dan Helena menoleh dan melihat Duke Adrian berjalan cepat ke arah mereka. Wajahnya tampak marah dan khawatir.

Melihat Adrian, Helena langsung berpura-pura jatuh ke tanah, menangis tersedu-sedu. Adrian bergegas menghampiri Helena dan membantunya berdiri.

"Helena, ada apa?" tanya Adrian dengan nada khawatir. "Siapa yang menyakitimu?"

Helena menunjuk Clarissa dengan jari gemetar. "Dia... dia baru saja merendahkanku dengan kata-kata buruk, Adrian," isaknya. "Dia juga mendorongku hingga aku terjatuh."

Adrian menatap Clarissa dengan tatapan penuh kemarahan. "Clarissa!" bentaknya, "Apa yang telah kau lakukan pada Lady Helena?!"

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang