Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.
Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.
Love you all!
HAPPY READING
Helena meraba perutnya yang terasa mual, sensasi tidak nyaman yang sudah beberapa hari ini mengganggunya. Dia mencoba mengabaikannya. Namun, mual itu semakin menjadi-jadi, bahkan membuatnya muntah beberapa kali.
"Ugh," keluhnya, memegangi perutnya yang terasa melilit. "Ada apa denganku? Apa aku keracunan makanan?"
Dia mencoba mengingat-ingat apa yang dia makan beberapa hari terakhir, tapi tidak ada yang mencurigakan. Dia selalu makan makanan yang sehat dan bersih.
"Mungkin aku hanya kelelahan," gumamnya, berusaha meyakinkan diri sendiri. "Aku harus istirahat."
Helena berbaring di tempat tidurnya, berharap rasa mualnya akan segera hilang. Namun, semakin dia berbaring, semakin mual dia rasakan. Dia bahkan tidak bisa menahan makanan yang dia makan tadi pagi.
"Ini tidak normal," pikir Helena dengan cemas. "Aku harus memanggil tabib."
Helena menekan bel di samping tempat tidurnya, memanggil pelayannya.
"Lily," panggil Helena saat pelayannya masuk ke kamar, "tolong panggilkan Tabib Wilson untukku."
Lily mengangguk, lalu bergegas keluar kamar. Helena kembali berbaring, tubuhnya terasa lemah dan lemas. Dia merasa takut dan bingung. Dia tidak tahu apa yang terjadi padanya.
Ruang periksa pribadi di kediaman Helena dipenuhi aroma herbal yang menenangkan. Helena berbaring di dipan, wajahnya pucat dan dipenuhi keringat dingin. Tabib istana, Tuan Wu, dengan telaten memeriksa denyut nadi Helena, mengamati lidahnya, dan menanyakan beberapa pertanyaan tentang kondisinya.
"Nona Helena," Tuan Wu memulai dengan hati-hati, "saya telah memeriksa kondisi Anda dengan teliti."
Helena menatap Tuan Wu dengan cemas, "Apa yang terjadi padaku, Tabib? Apakah aku sakit parah?"
Tuan Wu menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, "Selamat, Nyonya. Anda sedang mengandung."
Helena terbelalak, tangannya yang gemetar menutupi mulutnya. "A-apa? Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil!"
"Nona, saya mengerti ini mungkin mengejutkan," Tuan Wu berusaha menenangkan Helena, "tetapi hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Anda memang sedang mengandung."
Helena menggelengkan kepalanya dengan panik, "Tapi... tapi bagaimana bisa? Aku selalu berhati-hati..."
Tuan Wu menatap Helena dengan tatapan iba. "Nona, saya hanya seorang tabib. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana Anda bisa hamil. Mungkin Anda bisa bertanya pada ayah dari bayi ini."
"Tidak mungkin! Kau pasti salah!" Helena berteriak histeris, wajahnya sepucat kertas. Dia mencengkeram erat selimut sutra yang menutupi tubuhnya, seolah-olah itu adalah satu-satunya pegangan yang tersisa di dunia.
Tabib istana, seorang pria tua dengan rambut putih dan mata yang bijaksana, menatap Helena dengan tatapan prihatin. "Nyonya, saya mengerti ini mungkin sulit untuk diterima. Tapi hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Anda memang sedang mengandung."
Helena menggelengkan kepalanya dengan panik, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tidak, tidak mungkin! Ini pasti mimpi buruk!"
Dia melompat dari tempat tidur dan berlari ke arah cermin besar di sudut ruangan. Dia menatap pantulan dirinya sendiri, mencari tanda-tanda kehamilan di tubuhnya. Namun, yang dia lihat hanyalah sosok wanita yang rapuh dan ketakutan.
"Siapa ayah dari bayi ini?" tanya tabib dengan hati-hati.
Helena berbalik, menatap tabib dengan tatapan penuh amarah. "Kau! Kau yang telah menyebarkan aibku!" teriaknya. "Kau pasti sudah memberitahu semua orang tentang ini!"
Tabib itu menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Nyonya, saya bersumpah demi kehormatan saya bahwa saya tidak akan pernah membocorkan rahasia pasien saya. Tapi saya harus jujur pada Anda. Anda sedang mengandung, dan Anda harus memberi tahu ayah dari bayi ini."
Helena mencengkeram lengan tabib dengan kuat, kukunya menancap di kulit tabib yang keriput. "Kau tidak mengerti apa-apa!" desisnya. "Kau tidak tahu apa yang akan terjadi jika orang-orang tahu tentang ini!"
Tabib itu meringis kesakitan, tapi dia tidak melawan. Dia tahu Helena sedang kalut dan tidak bisa berpikir jernih.
"Nyonya, saya mohon tenanglah," bujuk tabib itu dengan suara lembut. "Anda harus memikirkan masa depan Anda dan bayi Anda."
Helena melepaskan cengkeramannya pada lengan tabib, lalu terduduk lemas di lantai. Dia menangis tersedu-sedu, merasa dunianya runtuh.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa," isaknya. "Aku tidak bisa membiarkan siapa pun tahu tentang ini."
Tabib itu berlutut di samping Helena dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Nyonya, Anda tidak sendirian. Saya akan membantu Anda. Tapi Anda harus jujur pada diri sendiri dan pada orang yang Anda cintai."
Helena menatap tabib dengan tatapan kosong. Dia tidak tahu siapa yang bisa dia percaya. Dia merasa sendirian dan terjebak dalam situasi yang tidak mungkin.
"Aku tidak punya siapa-siapa," bisik Helena lirih. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Baron Frederick berdiri terpaku di ambang pintu kamar Helena, hatinya hancur berkeping-keping. Dia tidak menyangka Helena akan menyangkalnya begitu saja, bahkan menuduhnya bercanda.
"Helena, bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" tanya Baron Frederick dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang mendesak untuk keluar. "Aku tahu aku bukan pria yang sempurna, tapi aku benar-benar mencintaimu. Aku akan melakukan apa saja untukmu dan anak kita."
Helena mendongak, menatap Baron Frederick dengan tatapan dingin. "Jangan berpura-pura peduli padaku, Frederick," desisnya. "Kau hanya menginginkan anak ini untuk keuntunganmu sendiri."
Baron Frederick menggelengkan kepalanya, "Tidak, Helena. Aku benar-benar mencintai anak ini. Dia adalah darah dagingku."
Helena tertawa sinis. "Darah dagingmu? Kau pikir aku bodoh? Kau tahu betul bahwa aku tidak mungkin mengandung anakmu."
Baron Frederick tercengang. "Apa maksudmu, Helena?"
Helena berdiri dari tempat tidurnya, berjalan mendekati Baron Frederick. "Aku ini wanita bebas, Frederick."
Baron Frederick merasa seperti ditampar oleh kata-kata Helena. Dia tidak percaya Helena bisa sekejam ini padanya.
"Helena, bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" tanya Baron Frederick dengan suara lirih. "Apa kau tidak punya perasaan sama sekali?"
Helena mengangkat bahu acuh tak acuh. "Perasaan? Untuk apa? Perasaan hanya akan membuatku lemah. Aku tidak butuh perasaan, Frederick. Aku hanya butuh kesenangan."
Baron Frederick terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia merasa seperti orang bodoh yang telah dipermainkan oleh Helena.
Helena melihat kelemahan di mata Baron Frederick. Dia tersenyum sinis, lalu mendorong Baron Frederick dengan kasar.
"Pergilah dari sini!" teriak Helena. "Dan jangan pernah kembali!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life Villain's |END|
عاطفيةClarissa, Duchess of Avalon, terbangun dari mimpi buruk eksekusinya, hanya untuk menemukan dirinya kembali ke hari pernikahannya dengan Duke Adrian. Dulu, dia sangat mencintainya, meski Adrian pria yang dingin dan membencinya. Namun, dengan kesempat...