52. Pencarian

3.1K 107 5
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

..........

Keheningan mencekam menyelimuti istana Duke Avalon, kontras dengan kemegahan dan kemewahan yang biasanya menghiasi setiap sudutnya. Adrian, sang Duke, duduk di singgasananya yang megah, namun tak ada secercah kebahagiaan di wajahnya. Berita kematian Clarissa, istrinya, telah menghancurkan dunianya.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" gumamnya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. "Kenapa aku begitu bodoh?"

Dia meremas surat kabar yang memberitakan kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Clarissa. Foto Clarissa yang tersenyum manis terpampang di halaman depan, mengingatkan Adrian pada semua kenangan indah yang mereka bagi bersama.

"Clarissa..." panggilnya pelan, air mata mengalir di pipinya. "Maafkan aku. Aku terlalu terlambat menyadari betapa berharganya dirimu."

Kenangan-kenangan masa lalu berputar di benaknya seperti film bisu yang menyakitkan. Dia teringat akan sikapnya yang dingin, kata-katanya yang kasar, dan pengkhianatannya dengan Helena. Dia merasa seperti monster yang telah menghancurkan wanita yang paling dia cintai.

"Aku seharusnya lebih memperhatikanmu," isaknya, suaranya tercekat oleh rasa bersalah. "Aku seharusnya lebih mencintaimu."

Adrian mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengusir air mata yang terus mengalir. Dia merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Dia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk bahagia bersama Clarissa, dan sekarang dia harus menanggung akibatnya.

"Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri," bisiknya lirih, hatinya terasa seperti tercabik-cabik. "Aku telah kehilanganmu untuk selamanya."

Adrian bangkit dari singgasananya, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman istana. Dia menatap bunga-bunga yang dulu sering Clarissa rawat dengan penuh kasih sayang. Bunga-bunga itu kini tampak layu dan tak bernyawa, seperti hatinya sendiri.

"Clarissa, aku sangat merindukanmu," bisik Adrian, suaranya terbawa angin. "Aku akan melakukan apa saja untuk bisa kembali padamu."

Adrian mengerahkan seluruh sumber daya untuk mencari Clarissa. Dia mengirim pasukannya ke seluruh penjuru kerajaan, menyebarkan pengumuman tentang hilangnya Clarissa, dan bahkan menawarkan hadiah besar bagi siapa pun yang bisa menemukannya.

Namun, hari demi hari berlalu, pencarian Adrian tidak membuahkan hasil. Dia mulai putus asa dan merasa bahwa dia tidak akan pernah menemukan Clarissa lagi.

Adrian memacu kudanya melintasi hutan belantara, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Clarissa. Dia telah mencari Clarissa ke setiap sudut kerajaan, namun tak ada satu pun jejak yang ditemukan. Rasa putus asa mulai menggerogoti hatinya.

"Clarissa, di mana kau?" gumamnya lirih, suaranya terbawa angin yang berhembus kencang. "Aku mohon, kembalilah padaku."

Dia tiba di sebuah jembatan kayu tua yang melintasi sungai yang deras. Jembatan itu terlihat rapuh, namun Adrian tidak peduli. Dia terlalu fokus pada pencariannya untuk memperhatikan bahaya yang mengintainya.

Saat Adrian memacu kudanya melintasi jembatan, kayu-kayu tua itu berderit protes. Tiba-tiba, suara retakan keras terdengar, diikuti oleh runtuhnya sebagian jembatan. Kuda Adrian meringkik ketakutan, lalu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke dalam sungai yang deras di bawahnya.

"Argh!" teriak Adrian, tubuhnya terhempas ke air yang dingin. Dia berusaha berenang ke permukaan, tapi arus sungai terlalu kuat. Dia terbawa arus, kepalanya terbentur batu, dan pandangannya mulai kabur.

"Tolong!" teriak Adrian, tapi suaranya tenggelam oleh gemuruh air sungai. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, dan kesadarannya mulai memudar.

Clarissa sedang berjalan-jalan di tepi sungai, menikmati udara segar dan pemandangan alam yang indah. Tiba-tiba, Clarissa mendengar suara teriakan minta tolong. Dia menoleh dan melihat seorang pria sedang berjuang melawan arus sungai yang deras. Clarissa segera mengenali pria itu. Dia adalah Adrian.

Tanpa berpikir panjang, Clarissa berlari ke arah sungai dan terjun ke dalam air yang dingin. Dia berenang sekuat tenaga menuju Adrian yang sudah hampir tenggelam.

"Adrian!" teriak Clarissa, berusaha meraih tangan Adrian.

Adrian membuka matanya perlahan, melihat sosok Clarissa yang berenang ke arahnya. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Clarissa?" gumam Adrian dengan suara lemah, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Clarissa berhasil meraih tangan Adrian dan menariknya ke permukaan. Dia kemudian membawanya ke tepi sungai.

Adrian terbatuk-batuk, memuntahkan air yang masuk ke paru-parunya. Dia menatap Clarissa dengan tatapan penuh syukur.

"Clarissa, kau... kau menyelamatkanku," ucapnya dengan suara serak.

Clarissa mengangguk. "Aku tidak bisa membiarkanmu tenggelam, Adrian," jawabnya lirih.

Adrian memeluk Clarissa erat-erat, tidak ingin melepaskannya. "Clarissa, maafkan aku," isaknya. "Aku sangat menyesal atas semua yang telah kulakukan padamu."

Clarissa tidak membalas pelukan Adrian, hatinya dipenuhi emosi yang campur aduk. Dia senang Adrian selamat, tapi dia juga masih marah dan kecewa padanya.

"Aku memaafkanmu, Adrian," ucap Clarissa akhirnya. "Tapi aku tidak bisa kembali padamu."

Adrian melepaskan pelukannya dari Clarissa, menatapnya dengan tatapan sedih. "Kenapa, Clarissa?" tanyanya dengan suara lirih. "Apakah kau tidak mencintaiku lagi?"

Clarissa menggelengkan kepalanya. "Iya," jawabnya jujur. "Dan aku tidak bisa kembali padamu. Kau telah menyakitiku terlalu dalam. Aku tidak bisa lagi mempercayaimu."

Adrian terdiam, tidak bisa berkata-kata. Dia tahu Clarissa benar. Dia telah menghancurkan kepercayaan Clarissa, dan dia tidak pantas mendapatkan cinta Clarissa lagi.

"Clarissa, kumohon," pinta Adrian dengan putus asa. "Beri aku kesempatan kedua. Aku berjanji akan berubah. Aku akan membuktikan bahwa aku mencintaimu."

Clarissa menggelengkan kepalanya lagi. "Tidak, Adrian. Aku tidak bisa. Aku sudah memulai hidup baru, dan aku bahagia dengan hidupku sekarang."

Adrian tidak bisa membiarkan Clarissa pergi begitu saja. Dia harus mendapatkan kesempatan kedua, harus membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal dan ingin berubah. 

Dengan tekad yang membara, dia mengikuti Clarissa dari kejauhan, menunggangi kuda hitamnya melintasi hutan lebat yang mengelilingi desa Willow Creek.

Setelah beberapa jam perjalanan, Adrian melihat Clarissa memasuki sebuah rumah kayu sederhana di pinggiran hutan. Dia turun dari kudanya dan mendekati rumah itu dengan hati-hati. Dia mengintip dari jendela, melihat Clarissa sedang bermain dengan anak-anak kecil di ruang tamu.

Senyum lembut terukir di bibir Adrian. Dia tidak pernah melihat Clarissa terlihat begitu bahagia dan lepas. Dia menyadari bahwa Clarissa telah menemukan kedamaian dan kebahagiaan di tempat ini, jauh dari hiruk-pikuk istana dan intrik politik.

Adrian ragu-ragu sejenak, lalu akhirnya mengetuk pintu rumah itu. Clarissa membuka pintu, terkejut melihat Adrian berdiri di hadapannya.

"Adrian?" tanya Clarissa dengan nada tidak percaya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Adrian menatap Clarissa dengan tatapan penuh penyesalan. "Clarissa, aku harus bicara denganmu," ucapnya dengan suara serak.

Clarissa mengerutkan kening. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Adrian," jawabnya dingin. "Kau sudah membuat keputusanmu."

Adrian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Clarissa. Aku salah. Aku telah membuat kesalahan besar. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang