Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.
Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.
Love you all!
HAPPY READING
Cahaya rembulan yang lembut menerobos jendela kamar, menciptakan siluet sendu di wajah Clarissa. Di tangannya yang gemetar, tergenggam sebuah surat yang ditemukannya tak sengaja di saku mantel Adrian. Tinta hitam di atas kertas putih itu seolah-olah berubah menjadi racun yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Adrian..." lirih Clarissa, air mata mulai membasahi pipinya. "Bagaimana bisa?"
"Yang Mulia, Aku merindukanmu," Clarissa membaca sepenggal kalimat dalam surat itu, suaranya tercekat. "Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu lagi..."
Clarissa menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang mendesak keluar. Rasanya seperti seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Dia telah berusaha keras untuk menjadi istri yang baik bagi Adrian, namun ternyata semua itu sia-sia.
"Cukup," bisik Clarissa, suaranya bergetar karena menahan amarah dan kesedihan. "Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi."
Dia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju meja rias, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat pasi, matanya sembab dan merah.
"Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan hidupku," tekadnya bulat. "Aku Clarissa Avalon, Duchess of Avalon. Aku bukan wanita lemah yang bisa dipermainkan."
Clarissa mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Dia membuang surat itu ke perapian, menyaksikan api melahapnya dengan rakus.
"Mulai sekarang, aku akan fokus pada diriku sendiri," janjinya pada diri sendiri. "Aku akan menunjukkan pada mereka siapa Clarissa yang sebenarnya."
Clarissa berjalan menuju meja riasnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang dulu pucat kini tampak cerah, berkat tidur nyenyak yang ia dapatkan setelah sekian lama.
"Mary," panggil Clarissa dengan suara yang lebih bersemangat. "Tolong ambilkan gaun pagi warna lavender. Hari ini aku ingin tampil berbeda."
Mary, sang pelayan setia, tersenyum melihat perubahan sikap majikannya. "Baik, Nyonya. Gaun lavender akan sangat cocok dengan warna mata Anda yang indah."
Clarissa mengangguk, lalu mulai merias wajahnya dengan sedikit polesan bedak dan lipstik berwarna lembut. Dia tidak ingin terlihat mencolok, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia telah berubah. Dia menyisir rambut pirangnya dengan rapi, membiarkannya tergerai alami hingga ke pinggang.
"Mary, apakah kereta kuda sudah siap?" tanya Clarissa setelah selesai berdandan.
"Sudah, Nyonya. Apakah Anda ingin sarapan dulu?"
"Tidak perlu, Mary. Aku akan sarapan di butik," jawab Clarissa sambil meraih tas tangannya. "Aku harus segera pergi."
Clarissa melangkah keluar dari kamarnya dengan kepala tegak dan langkah mantap. Dia tidak lagi merasa seperti wanita lemah yang terpuruk karena pengkhianatan suaminya.
Setibanya di La Maison de Clarissa, Clarissa disambut oleh para pegawainya yang tersenyum ramah. Dia membalas senyuman mereka dengan tulus, lalu segera menuju ruang kerjanya. Di atas meja, sudah menumpuk berbagai dokumen dan laporan yang harus dia periksa.
Clarissa duduk di kursinya, mengambil pena bulu, dan mulai bekerja. Dia membaca setiap dokumen dengan teliti, memberikan catatan dan instruksi yang jelas kepada para pegawainya. Dia tidak membiarkan satu pun detail terlewatkan.
"Nyonya, ada kiriman kain baru dari Kerajaan Timur," lapor manajer butik, Tuan Henri, dengan penuh semangat. "Kain-kain ini sangat indah dan berkualitas tinggi. Saya yakin para pelanggan akan menyukainya."
Clarissa tersenyum puas. "Bagus sekali, Tuan Henri. Segera pajang kain-kain itu di etalase depan. Saya yakin mereka akan laris manis."
Clarissa bekerja tanpa kenal lelah sepanjang hari. Dia memeriksa setiap detail operasional butik, mulai dari desain pakaian, pemilihan bahan, hingga pelayanan pelanggan. Dia ingin memastikan bahwa La Maison de Clarissa menjadi butik terbaik di seluruh kerajaan.
Saat matahari mulai terbenam, Clarissa akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Dia merasa lelah, tapi juga puas. Dia telah melakukan sesuatu yang berharga hari ini, sesuatu yang membuatnya merasa hidup kembali.
"Mary," panggil Clarissa saat dia hendak meninggalkan butik, "tolong siapkan kereta kuda. Aku ingin pulang."
"Baik, Nyonya," jawab Mary, sambil membantu Clarissa mengenakan mantelnya.
Kediaman Duke terasa begitu sunyi saat Adrian melangkah masuk. Biasanya, Clarissa akan menyambutnya dengan senyuman hangat dan pelukan lembut, aroma teh melati kesukaannya menguar dari ruang makan. Namun, hari ini, hanya kehampaan yang menyambutnya.
"Clarissa?" panggil Adrian, suaranya bergema di lorong yang sepi. Tidak ada jawaban. Dia melangkah menuju ruang makan, berharap menemukan istrinya di sana.
Meja makan telah dibersihkan, hanya menyisakan beberapa remah roti dan cangkir teh yang sudah dingin. Adrian mengerutkan kening. Ini bukan pertama kalinya Clarissa menghindari makan malam bersamanya, tapi kali ini terasa berbeda. Ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka, tembok es yang semakin tinggi setiap harinya.
"Mary," panggil Adrian pada kepala pelayan, "di mana Nyonya?"
Mary muncul dari dapur, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Nyonya sedang berada di butiknya, Yang Mulia. Beliau sudah makan malam lebih awal dan meminta untuk tidak diganggu."
"Tidak diganggu?" Adrian mengulang kata-kata Mary, nada suaranya meninggi. "Apa maksudmu?"
Mary menunduk, "Nyonya bilang beliau sangat sibuk dan perlu fokus pada pekerjaannya, Yang Mulia."
"Sibuk?" Adrian mendengus sinis. "Sibuk apa? Menghabiskan uangku untuk kain-kain tak berguna itu?"
Mary tidak berani menjawab. Dia tahu kemarahan Duke sedang memuncak.
Adrian berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Mary yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan hubungan Duke dan Duchess.
Adrian berjalan menuju ruang kerjanya, pikirannya berkecamuk. Dia tidak bisa memahami mengapa Clarissa tiba-tiba berubah menjadi begitu dingin dan jauh. Apakah ini semua karena kejadian di pesta topeng? Apakah Clarissa mengetahui tentang perselingkuhannya dengan Helena?
Adrian duduk di kursi kebesarannya, berpura-pura sibuk menandatangani dokumen-dokumen yang menumpuk di meja kerjanya. Namun, pena bulu angsa di tangannya berhenti bergerak, sementara matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit malam yang gelap.
"Dasar!" desisnya pelan, melempar pena itu ke atas meja dengan kasar. "Kenapa aku harus memikirkan wanita itu?"
Adrian bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Dia merasa gelisah dan tidak tenang. Dia tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya.
"Tenanglah, Adrian," katanya pada dirinya sendiri. "Kau adalah Duke of Avalon. Kau tidak boleh menunjukkan kelemahanmu di depan siapa pun."
"Clarissa, apa yang sebenarnya kau rencanakan?" gumam Adrian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life Villain's |END|
RomanceClarissa, Duchess of Avalon, terbangun dari mimpi buruk eksekusinya, hanya untuk menemukan dirinya kembali ke hari pernikahannya dengan Duke Adrian. Dulu, dia sangat mencintainya, meski Adrian pria yang dingin dan membencinya. Namun, dengan kesempat...