9. Pilihan Duke Adrian

6K 264 5
                                    

Hai semuanya! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa untuk mengikuti akun saya dan vote cerita ini jika kalian menikmatinya.

Love you all!

HAPPY READING

..........

Mentari pagi menyelimuti lapangan berkuda kerajaan dengan cahaya keemasannya. Clarissa, dalam balutan pakaian berkuda yang elegan namun sederhana, berdiri di samping kuda kesayangannya, Orion. 

Angin sepoi-sepoi membelai rambut pirangnya yang diikat ekor kuda, sementara matanya yang biru jernih menatap lurus ke depan, mencerminkan tekad yang membara.

"Nyonya, Anda terlihat sedikit tegang," ujar Mary, pelayan setianya, sambil membetulkan kerah baju Clarissa dengan lembut. 

"Apakah Anda yakin tidak ingin saya membatalkan latihan hari ini?"

Clarissa tersenyum tipis, berusaha menenangkan Mary. "Tidak perlu, Mary. Aku baik-baik saja. Lagipula, aku sudah berlatih keras selama beberapa minggu terakhir. Aku tidak ingin menyia-nyiakan usahaku."

Mary mengangguk, namun raut wajahnya tetap diliputi kekhawatiran. Dia tahu betapa kerasnya Duke Adrian pada Clarissa, dan dia takut nyonyanya akan terluka lagi, baik secara fisik maupun emosional.

Tak lama kemudian, derap kaki kuda memecah keheningan pagi. Clarissa menoleh, jantungnya berdebar tak karuan. Sosok Duke Adrian muncul di ujung lapangan, menunggangi kuda jantan hitam legam yang tampak angkuh dan berwibawa. Di belakangnya, Helena, mantan kekasih Adrian yang terkenal akan kecantikannya, menyusul dengan kuda putihnya yang elegan.

"Nyonya, jangan khawatir," bisik Mary, seolah membaca pikiran Clarissa. "Anda juga bisa melakukannya. Anda sudah berlatih keras."

Clarissa berusaha tersenyum, namun senyum itu terasa kaku dan dipaksakan. "Aku tahu, Mary," jawabnya lirih. "Tapi aku merasa... tidak mampu."

Mary menggenggam tangan Clarissa dengan erat. "Nyonya, Anda lebih kuat dari yang Anda kira. Jangan biarkan rasa takut menghalangi Anda."

Duke Adrian mendekati Clarissa dengan kuda hitamnya yang gagah. Dia menghentikan kudanya tepat di depan Clarissa, lalu menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan dingin dan menilai.

"Clarissa," katanya dengan nada dingin, "apakah kau yakin bisa menunggang kuda? Jangan sampai kau mempermalukan dirimu sendiri dan keluargaku di depan para tamu."

Clarissa menelan ludah, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Aku akan berusaha sebaik mungkin, Yang Mulia," jawabnya dengan suara bergetar.

Duke Adrian tertawa sinis, suaranya menusuk seperti duri. "Usaha saja tidak cukup, Clarissa. Kau seharusnya berlatih lebih keras daripada berdandan di depan cermin."

Kata-kata Adrian bagaikan tamparan keras di wajah Clarissa. Dia merasa malu dan direndahkan di depan umum. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun dia berusaha keras untuk menahannya agar tidak jatuh.

"Maafkan aku, Yang Mulia," ucapnya dengan suara tercekik, berusaha mempertahankan harga dirinya yang tersisa. "Aku akan berusaha lebih keras."

Adrian hanya mendengus, lalu memacu kudanya meninggalkan Clarissa yang terpaku di tempatnya. Clarissa merasa seperti pecundang, tidak berdaya, dan tidak berguna. Dia ingin berteriak, ingin menangis, ingin melampiaskan semua rasa sakit dan frustrasinya.

Lapangan berkuda kerajaan dipenuhi riuh tepuk tangan meriah. Helena, mantan kekasih Duke Adrian, baru saja menyelesaikan pertunjukan berkuda yang memukau. Dengan anggun, ia menunggangi kuda jantan hitam legam, melompati rintangan dengan mudah, dan bermanuver dengan presisi yang mengagumkan. Para bangsawan yang hadir bersorak kagum, termasuk Duke Adrian sendiri.

Mata Clarissa terpaku pada Adrian. Ia melihat kekaguman yang terpancar dari wajah suaminya, kekaguman yang tak pernah ia lihat saat menatapnya. Hatinya terasa tertusuk.

Adrian mendekati Clarissa, senyum tipis tersungging di bibirnya. Namun, senyum itu tak mencapai matanya. "Kau lihat itu, Clarissa?" tanyanya dengan nada meremehkan. "Itulah yang kumaksud dengan kemampuan berkuda yang baik. Kau harus banyak belajar dari Helena."

Kata-kata Adrian bagai cambuk yang menyengat hati Clarissa. Ia merasa dibandingkan dan direndahkan. Helena, wanita yang pernah merebut hati Adrian, kini juga tampak lebih unggul darinya dalam hal berkuda. Clarissa hanya bisa mengangguk lemah, menyembunyikan luka yang menganga di hatinya.

"Ya, Yang Mulia," jawabnya lirih.

Adrian berlalu, meninggalkan Clarissa yang terpaku di tempatnya. Rasa tidak aman dan keraguan mulai menggerogoti dirinya. Ia merasa tidak mampu bersaing dengan Helena, wanita yang tampaknya sempurna di mata Adrian.

 Clarissa dan Helena, dua wanita yang paling sering dibicarakan di kalangan istana, akan tampil bersama. Clarissa merasa muak dengan ide ini, ingin menolak, tetapi penolakannya akan dianggap sebagai penghinaan terhadap keluarga kerajaan dan para tamu yang hadir.

Dengan enggan, Clarissa naik ke atas kuda putihnya, sementara Helena dengan angkuh menaiki kuda hitam legamnya. Mereka berdua memulai perjalanan mereka melewati serangkaian rintangan yang menantang. Clarissa berusaha fokus pada tugasnya, tetapi bisikan-bisikan Helena terus mengganggu konsentrasinya.

"Kau tahu, Clarissa," Helena memulai, suaranya manis namun penuh racun, "Adrian tidak pernah benar-benar mencintaimu. Dia hanya menikahimu karena terpaksa. Dia sebenarnya masih mencintaiku."

Clarissa mengepalkan tangannya di atas kendali kuda. "Helena, aku tidak tertarik dengan omong kosongmu."

"Oh, benarkah?" Helena tertawa sinis. "Kau hanya berpura-pura. Kau tahu kau tidak pantas untuk Adrian. Dia pantas mendapatkan wanita yang lebih baik, wanita seperti aku."

Amarah Clarissa mulai memuncak. Dia tidak akan membiarkan Helena terus menghinanya. "Helena, kau salah besar. Akulah yang pantas untuk Adrian. Aku mencintainya, dan aku akan membuktikannya."

Helena terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Clarissa. Kemudian, senyum licik muncul di wajahnya. "Kita lihat saja nanti, Clarissa."

Saat mereka mendekati rintangan terakhir, Helena tiba-tiba memacu kudanya ke arah Clarissa. Clarissa berusaha menghindar, tetapi sudah terlambat. Kuda mereka bertabrakan, membuat kedua wanita itu terlempar dari pelana.

"Clarissa!" teriak Duke Adrian dari tribun penonton. Dia berlari ke arah lapangan, jantungnya berdebar kencang.

Semua mata tertuju pada Adrian, menantikan siapa yang akan dia tolong terlebih dahulu. Clarissa, istrinya yang terluka, atau Helena, mantan kekasihnya yang licik.

Namun, yang terjadi selanjutnya membuat semua orang terkejut. Adrian berlari melewati Clarissa yang terbaring kesakitan, dan langsung menuju ke arah Helena. Dia mengangkat Helena ke dalam pelukannya, memeriksa apakah dia terluka.

Helena, dengan air mata berlinang dan suara tercekat, menatap Adrian dengan tatapan penuh kepedihan. "Adrian... sakit sekali...," rintihnya, memegangi lengannya yang sebenarnya hanya tergores kecil.

Matanya yang berkaca-kaca mencari tatapan Adrian, memohon perhatian dan kasih sayangnya. "Aku... aku takut sekali," bisiknya, seolah-olah dia adalah korban yang paling menderita.

Helena menyandarkan kepalanya di bahu Adrian, menyembunyikan seringai liciknya saat dia melirik ke arah Clarissa yang terbaring di tanah. Dia tahu persis apa yang dia lakukan – memanipulasi situasi untuk mendapatkan simpati Adrian dan menjauhkannya dari Clarissa.

Second Life  Villain's |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang